Blogger Widgets

Minggu, 07 September 2014

SKRIPS MAHASISWA TEOLOGI STT AGAPES JAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN


Hamba Tuhan berarti berbicara tentang kepemimpianan yang merupakan suatu kapitalisasi terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan yang menyangkut waktu, tempat, dan situasi khusus yang mana di dalamnya ada campur tangan Allah.

Sebagai pelayan firman yang terpanggil dan sudah terdidik secara teologis, hamba Tuhan atau gembala bahkan rekan kerjanya melakukan banyak tugas yang diketahui sebagai fungsi-fungsi pastoral. Fungsi-fingsi ini salah satunya adalah memimpin kebaktian atau berkhotbah. Mungkin ada orang lain dalam jemaat yang mempunyai pengetahuan yang sama atau bahkan lebih mengenai pelayanan dibandingkan pendeta, tetapi ia sendiri karena terpanggil, mempunyai wewenang melaksanakan fungsi-fungsi pastoral dalam gereja tersebut.
Hamba Tuhan adalah pemimpin rohani. Pemimpin rohani berarti pemimpin yang mengenal Allah secara pribadi dalam Kristus dan memimpin secara kristiani. Pemimpin rohani adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas yang benar dan tertinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah. Sedangkan sifat-sifat spiritualitas kristianinya menyebabkan ia sanggup mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Sebab daya pengaruhnya bukan dari kepribadian dan ketrampilan dirinya sendiri, tetapi dari kepribadian yang diperbaharui Roh Kudus dan karunia yang dianugerahkan Roh Kudus.[1]
Sebagai seorang hamba Tuhan juga mengawasi berbagai aktivitas orang lain yang juga melakukan sebagian fungsi pastoral, terkadang sebagian anggota yang diawasinya telah terlatih secara profesional dalam bidang keahliannya, tetapi sebagian lainnya secara sukarela tanpa pernah menerima pelatihan. Bila pelatihan sebelumnya masih minim, maka hamba Tuhan sebagai pengawas yang harus memberikan instruksi selain bertindak sebagai konsultan dan membantu mereka merencanakan kegiatan, mengamati serta mengawasi kinerja mereka.
Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin rohani ketika bekerja sama dengan orang-orang lain dalam pelayanan. Hamba Tuhan menjadi pembimbing dan pelatih bagi orang-orang yang membantunya termasuk pada sukarelawan. Tentu saja, fungsi pengawasan pastoral ini merupakan kombinasi antara kepemimpinan rohani  dan manejerial. Kesatuan antara satu dengan yang lainnya tergantung pada minat serta kemampuan hamba Tuhan maupun kemampuan orang-orang yang bekerja sama dengannya.[2]
Sikap sebagai seorang hamba. Sebagaian orang kesulitan menghubungkan kepemimpinan dengan sikap sebagai seorang hamba, tetapi hal itu menjadi lebih muda ketika seseorang mempelajari teladan Tuhan dalam Yohanes 13 dan pengajaran-Nya dalam Matius 20:28. Melihat pelayanan dan teladan tersebut bahwa yang paling Dia pentungkan adalah kebutuhan-kebutuhan mereka yang dilayani-Nya, dan komitmen total-Nya adalah kesejahteraan mereka. Dan seorang hamba Tuhan takkan pernah melakukan hal itu dengan kekuatannya sendiri, tetapi ketika hamba Tuhan tersebut menerima salib Kristus sebagai prinsip, hal itu menjadi kunci bagi gaya hidup mereka.
Hamba Tuhan bukan untuk mencari keuntungan materi maupun non-materi, melainkan untuk pelayanan yang menempatkan posisinya di bawah kontrol Kristus dan bukan menjadi orang nomor satu dalam gereja, sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia memimpin namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, yang berdasarkan karakter yang baik dan teruji. Otentisitas hamba Tuhan bergantung pada ketaatannya terhadap Kristus dan meneladani Kristus, dengan otentisitas tersebut maka hamba Tuhan memiliki legitimasi dan otoritas untuk memimpin.[3]
Berbicara mengenai karakteristik hamba Tuhan merupakan pokok penting dalam pelayanan. Salah satu karakternya ialah memiliki teladan atau menjadi model yang merupakan cara paling ampuh untk memerangi sesama. Hamba Tuhan dengan kapasitas untuk meniru, dan teladan merupakan salah satu bentuk pengajaran yang paling sederhana. Para hamba Tuhan akan menemukan dirinya lebih diterima jika mereka dapat menunjukkan bahwa mereka menguasai prinsip-prinsip rohani dan dapat menerapkannya secara efektif terhadap kehidupan serta situasi. Dan seorang hamba Tuhan juga perlu menerima tanggungjawab atas pelatihan lebih lanjut bagi mereka yang menjadi tanggung jawabnya.
Ketika seorang hamba Tuhan tidak mempunyai karunia dan tidak mengunjungi para anggota tim, mereka yang berada di bawa merasa ditelantarkan dan mungkin mengembangkan sikap yang negatif, mengeritik, dan mungkin menuntut kepada konflik. Penyebab sesungguhnya mungkin saja komunikasi yang kurang, hal itu bisa terjadi ketika seorang pemimpin tidak mempunyai keterampilan sehingga menuntun kepada beban kerja yang tidak merata, moral yang rendah dan sebagainya.[4]
Gowett berkata, “Tidak perlu terlalu lama seorang hamba Tuhan menghadapi sesuatu kenyataan yang menakutkan.” Mereka sering kali sibuk dengan perkara rohani tetapi mereka sendiri tidak rohani. Mereka seperti rambu-rambu lalulintas yang bisa menunjukkan jalan tetapi tidak bergerak untuk melakukannya. Hamba Tuhan yang berpegang pada paham ini atau bersikap demikian, akan terlihat akibatnya sewaktu ia mengunjungi salah satu jemaatnya. Seorang hamba Tuhan adalah wakil Allah maka karakternya harus menjadi teladan.
Semua hal disadari atau tidak, lambat laun akan menjurus kepada lemahnya keadaan gereja dan jemaat. Dan menjadikan pembaharuan serta perkembangan jemaat berjalan di tempat bahkan ironisnya akan menjadikan iman jemaat mati. Untuk itu diperlukan sebuah langkah yang benar-benar baik untuk perkembangan jemaat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah pembaharuan diri hamba Tuhan secara holistik (menyeluruh) yang nantinya diharapkan bermuara pada pembaharuan gereja dan jemaat serta masyarakat itu sendiri.
Arti kepemimpinan rohani, ada beragam definisi mengenai kepemimpinan rohani atau Kristen. Menurut Sanders, “Kepemimpinan adalah pengaruh, ”Sedangkan menurut Clinton, “Tugas utama pemimpin adalah mempengaruhi umat Allah untuk melaksanakan rencana Allah.” George Barna mengatakan bahwa, “Seorang pemimpin Kristen yaitu seorang yang dipanggil oleh Allah untuk memimpin, dia memimpin dengan dan melalui karakter seperti Kristus dan menunjukkan kemampuan fungsional yang memungkinkan kepemimpinan efektif terjadi.” Henry dan Blackaby mengatakan bahwa, “Kepemimpinan rohani adalah menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah.”
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa kepemimpinan rohani memiliki persamaan dengan kepemimpinan umum dalam hal mempengaruhi atau menggerakkan orang lain, mensyaratkan kemampuan fungsional dan membimbing kepada tujuan tertentu. Sedangkan perbedaannya, kepemimpinan rohani berdasarkan panggilan Allah, bukan dari manusia atau organisasi; melaksanakan tugas dalam lingkup agenda atau rencana Allah, dengan berdasarkan karakter Kristus, dan menuntun kepada tujuan yang Allah kehendaki, bukan tujuan organisasi atau manusiawi dan yang memiliki sifat khas kepemimpinan rohani berdasarkan prinsip Alkitab yang menghambakan diri. Identitas pemimpin Kristen adalah sebagai “hamba.”[5]
Pentingnya pelayanan seorang hamba Tuhan adalah menjadi dokter rohani dan merupakan pembimbing yang dalam pelayanannya harus mengetahui kebutuhan anggota jemaatnya, sehingga hal-hal buruk yang sering terjadi dapat dihindari dan dapat terselesaikan. Seorang hamba Tuhan juga harus memiliki prinsip dalam pelayanan yakni, menghargai dan menghormati setiap orang yang datang kepadanya, memiliki iman yang teguh, senantiasa bersimpati dan memiliki pengertian bagi semua orang, serta dengan segenap hati menganalisis secara obyektif dari setiap keluhan dari warga jemaat.[6]
Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut para pelayan Tuhan (pelayan gereja) antara lain: pelayan, hamba, pekerja, suruhan Tuhan, utusan Tuhan, abdi Allah, pendeta, evanggelis, gembala sidang, guru Injil, pengajar dan pemberita Injil, dll. Kata “pelayan” menunjuk kepada pekerjaan yang melayani “tuan” (Tuhan), yang melayani semua kebutuhan tuannya. Sementara kata “hamba” atau “abdi” menunjuk kepada adanya kerendahan status di hadapan tuan dan majikannya. Pekerjaannya pun hampir tidak mengenal batas-batas tertentu karena tergantung sepenuhnya kepada tuan atau majikannya.

Latar Belakang Permasalahan

Pemimpin rohani muncul bukan menurut kemauan atau ambisi pribadi, melainkan karena tindakan Allah yang mempersiapkan, memanggil, menetapkan dan membimbingnya dalam mencapai tujuan-tujuan dari Allah. Berbicara mengenai karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor merupakan pokok penting yang harus ada pada setiap hamba Tuhan. Diera dewasa ini banyak orang yang ingin menjadi pekerja atau hamba Tuhan yang berguna dalam jemaat, namun sifat dan karakter terkadang tidak  memberi teladan.
Eksistensi dan tujuan gereja Tuhan ditengah dunia ini sungguh baik, keunikannya adalah Tuhanlah yang membangunnya dan jelas pula tujuannya, yaitu agar menjadi saksi-Nya, yang mana di atas pengakuan rasul Petrus tentang  kemesiasan Yesus, maka Tuhan meneguhkan perkataan tersebut dengan menyatakan: “Engkau Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Dan diatas pengakuan atau kepercayaan yang kokoh inilah jemaat atau gereja Tuhan berdiri, itu sebabnya pengertian gereja bermakna persekutuan orang-orang percaya.[7]
Bila sebuah bangunan berdiri kokoh dan tidaknya sangat ditentukan oleh fondasinya, maka dalam batas tertentu keberadaan jemaat yang bergerak akan sangat ditentukan oleh para pelayannya atau pemimpin jemaat. Warren, didalam lingkup persekutuan orang-orang percaya yang lebih kecil pun memerlukan sosok orang yang mengaturnya. Bila pemimpin persekutuannya rajin dan bersemangat, akan dengan sendirinya persekutuan itu akan hidup dan bersemangat pula, dan sebaliknya jikalau pemimpinnya kurang ada perhatian maka dengan sendirinya persekutuan itu akan suam-suam saja.
Kualitas pelayanan adalah segmen penting bagai seorang hamba Tuhan yang mana adalah konselor dalam pertumbuhan kerohanian iman jemaatnya. Bertumbuh dan tidaknya pelayanan seorang hamba Tuhan, ditentukan oleh motiv atau motivasi yang berarti berbicara tentang kualitas rohani, yang bukan semata-mata persoalan kecakapan menyangkut potensi-potensi kemanusiaan, tetapi persoalan ketulusan, kemurnian hati nurani. Jika seorang hamba Tuhan memiliki motivasi yang benar, mempunyai kecakapan dalam pengajaran, peka dan jeli memperhatikan kehidupan jemaatnya, maka kadar kehidupan rohani serta pertumbuhan iman jemaatnya tidak akan pudar.[8]
Ledakan pertumbuhan gereja di abad ke-21 hingga memasuki milenium ke-3 ini sungguh dasyat. Multiplikasi orang percaya selama abad ini melebihi jumlah orang Kristen abad sebelumnya. Dimulai dari 12 murid, kini mencapai 2,1 miliyar lebih. Fenomena spektakuler ini jelas melegitimasi karya Roh Kudus yang telah memberikan kuasa (dunamos) kepada orang percaya dan secara khusus kepada hamba-hamba Tuhan yang telah dipilih-Nya sebagai pengajar dan pemberita Injil masa kini. Fakta menggembirakan itu semakin mengokohkan keyakinan orang percaya seluruh dunia bahwa Allah sedang terus bekerja.
Namun berbarengan dengan itu ada fakta lain yang patut diperhatikan. Pertumbuhan iman jemaat di dalam gereja terus-menerus dihadang ancaman. Kehancuran moral dan penyesatan doktrinal (ajaran). Dewasa ini banyak hamba Tuhan dalam gereja yang telah kehilangan ciri khasnya, sebagai seorang konselor jemaat. Para pemimpin gereja yang seharusnya menjadi gembala bagi jemaatnya telah banyak mengalami perubahan yang signifikan. Banyak hamba Tuhan yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan mulai melupakan panggilannya sebagai hamba Tuhan.[9]
Adapun latar belakang permasalahannya yaitu:
Pertama, para gembala dan pejabat gereja kurang memahami Alkitab.
Kedua, pertumbuhan iman jemaat di gereja terus-menerus mengalami ancaman yaitu kehancuran moral, penyesatan doktrinal, dan banyak para hamba Tuhan yang tidak peduli dengan pertumbuhan iman jemaatnya, serta hanya terpaku pada pertumbuhan jumlah jemaat.
Ketiga, banyak hamba Tuhan yang hanya mementingkan diri dan keluarganya, sehingga melupakan panggilannya.
Keempat, gembala dan pejabat gereja lebih terfokus pada kegiatan rutinitas yang bersifat jasmani, yaitu kegiatan-kegiatan organisasi.
Kelima, peran lingkungan dan budaya juga merupakan salah satu faktor yang menjadi penghambat akan pertumbuhan kerohanian jemaat.
Keenam, para pejabat gerejawi tidak lagi memperluaskan pelayanan rohani dan masa bodoh terhadap pertumbuhan iman jemaat.
Realitas inilah yang menjadi faktor permasalahan. Dari uraian di atas membuktikan bahwa karakter seorang hamba Tuhan menentukan pertumbuh iman jemaatnya, yang mana mereka adalah pelayan jemaat. Oleh karen itu, skripsi ini diberi judul: “Karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat berdasarkan 1 Timotius 3:1-7 dan implementasinya bagi para gembala sidang GKI Maranata Argapura 1-3 Jayapura.
Banyak indikasi bahwa rasul Paulus bukan orang yang senang berleha-leha dan berpuas diri karena memiliki banyak kemampuan alamia, kecerdasan yang hebat, atau bakat kepemimpinan. Dengan demikian Paulus menggarisbawahi bahwa, yang sangat penting, menentukan, tidak tergantikan, dan tidak dapat ditawar, agar seseorang layak dipertahankan sebagai pemimpin atau pelayan, orang tersebut harus memiliki disiplin diri.[10]
Karakter Allah yang kekal dan tidak berkompromi adalah standar yang tidak berubah yang memberikan arti tertinggi kepada kasih, kesetiaan, dan panjang sabar. Dan panggilan yang luar biasa dari Injil ialah bahwa semua makluk harus mengapresiasikan karakter Bapa dalam hidup ini, karena pribadi yang hakekat-Nya kebaikan, Dia yang berjanji memberikan kuasa kepada orang percaya untuk hidup menurut kehendak-Nya. Orang tidak terkesan dari tampang luar atau manipulasi karena karakter bukan hanya masalah teknik disisi luar saja, melainkan realitas yang ada di dalam diri seseorang. Allah memperhatikan seperti apa manusia sesungguhnya ketika tidak ada orang yang memperhatikan.[11]

Alasan Pemilihan Judul

Berdasarkan analisis yang terjadi sekarang ini, telah terjadi krisis identitas dan integritas sebagai seorang hamba Tuhan (pendeta, penetua dan diaken), serta dapat disebutkan sudah berada pada tahap emergency dalam pelayanan di tengah-tengah warga masyarakat dan terlebih lagi warga jemaat. Hal ini telah berdampak negatif pada sebagian warga jemaat yang tidak lagi menjadikan pendetanya sebagai seorang gembala, pembimbing spiritual, dan tempat curhat kerohaniannya. Dampak ini juga berakibat fatal pada jemaat, yang menjadikan sebagian besar warga jemaat pindah  tempat (gereja) dan hamba Tuhan yang menurut mereka jauh lebih profesional, serta dapat menjawab sekaligus memberikan solusi atas pergumulan hidup yang mereka hadapi.
Setiap pemerintahan mempunyai kepala, tanpa kepala, pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik. Kristus adalah kepala gereja. Kepemimpinan Kristus adalah otoritas-Nya, keTuhanan-Nya, kepemerintahan-Nya, dan kerajaan-Nya. Kristus adalah kepala gereja lokal, namun Ia memerintah melalui para pemimpin yang dipilih-Nya dan memenuhi syarat atau koridor yang telah Ia tetapkan untuk melakukan tugas. Sangatlah penting bagi para pelayan gereja untuk membangun dengan ketetapan yang alkitabiah dan kebijaksanaan yang saleh. Para penatua, khususnya orang yang ditetapkan harus memiliki pemahaman yang jelas, mantap dan alkitabiah mengenai pemerintahan gereja, baik secara rohani maupun secara praktis.
Adapun alasan pemilihan judul ialah:
Pertama, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang karakteristik seorang hamba Tuhan berdasarkan Alkitab.
Kedua, untuk menyadarkan para hamba Tuhan sebagai konselor yang memelihara kesucian hidup, serta pentingnya kerjasama antara pemimpin dan para pengerja gereja, demi mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan.
 Ketiga, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang betapa pentingnya pastoral konseling, sehingga jemaat tidak terpecah belah atau pindah gereja melainkan sebaliknya semakin bertumbuh dalam iman dan pengharapan kepada Kristus.[12]
Keempat, melalui penulisan ini, diharapakan kepada para hamba Tuhan, jemaat serta para pembaca agar menjadi seorang hamba Tuhan, maka kenalilah diri sendiri dan siap melayani yang bukan sekedar teori tetapi mengaplikasikan teorinya dalam praktek hidup berdasarkan firman Tuhan.

Problem Statement

Adapun problem statement karya ilmia ini adalah banyaknya hamba Tuhan yang tidak memperlihatkan karakteristiknya sebagai seorang konselor berdasarkan firman Tuhan, sehingga berdampak pada pertumbuhan iman jemaat atau kerohanian jemaat.

Perumusan Masalah

Sesuai dengan permasalah yang sudah penulis paparkan sebelumnya tentang karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor bagi pertumbuhan iman jemaat berdasarkan 1 Timotius 3:1-7 dan implementasinya bagi hamba Tuhan di gereja kristen Injili (GKI) Maranatha argapura 1-3 Jayapura maka penulis akan merumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
Pertama, seperti apakah karakter seorang hamba Tuhan berdasarkan Alkitab?
Kedua, mengapa kepribadian seorang hamba Tuhan merupakan salah satu pokok penting dalam pelayanan?
Ketiga, apa dampak karakter seorang hamba Tuhan terhadap pertumbuhan dan pelayanan gereja?
Keempat, apa yang menjadi tolak ukur seorang hamba Tuhan?

Tujuan Penelitian

Untuk melihat seberapa jauh dampak dari tulisan ini, diharapkan akan terungkap melalui pentingnya penelitian yang di adakan oleh penulis dengan beberapa fakta positif, data yang akurat, aktual, valid dan jawaban yang komprehensif dari tulisan ini sehingga mencapai kebenaran yang tepat, tentang karakter hamba Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat.
Penelitian ini diadakan untuk menjawab setiap permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.
Pertama, penulis ingin mengungkapkan kebenaran bahwa, hamba Tuhan berperan sangat penting untuk pertumbuhan iman jemaat.
Kedua, untuk menggali dan memaparkan berbagai data dan bukti-bukti berdasarkan Alkitab terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan karakter seorang hamba Tuhan yang mutlak harus menjadi teladan bagi jemaat.
Ketiga, untuk menyadarkan setiap hamba Tuhan agar dapat mengaplikasikan karakter yang benar dalam pelayanan.
Keempat, melalui penulisan ini diharapkan kepada para hamba Tuhan, agar menjadi konselor yang konservator terhadap warga jemaat agar iman jemaat tersebut tidak mati melainkan bertumbuh dengan sehat.
Proposisi
Sebagai acuan dalam penulisan ini, maka penulis menetapkan beberapa keyakinan sementara sebagai berikut:
Pertama, dalam 1 Timotius 3:1-7 jelas bahwa seorang hamba Tuhan harus memiliki kualitas rohani yang baik.
Kedua, dari kesaksian Alkitab memberikan pandangan bahwa seorang hamba Tuhan harus memiliki intensitas dan komitmen menjadi pelayan.
Ketiga, untuk merumuskan konsep yang benar tentang karakter seorang hamba Tuhan yang adalah dokter rohani dalam perumbuhan iman jemaat.
Keempat, pentingnya kerja sama antara gembala, para pengerja gereja dan jemaat, demi mencapai visi dan misi.
Kelima, di dalam pelayanan, seorang hamba Tuhan harus memelihara kesucian hidup.

Ruang Lingkup Penelitian

Dari berbagai penjelasan yang telah diuraikan terlebih dahulu maka penulis akan beroreantasi pada teks 1 Timotius 3:1-7, dimana penulis akan berusaha untuk membatasi penulisan supaya tujuan yang dibahas dalam skripsi ini dapat dicapai, dalam penelitian yang pertama bagaimana karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat. Dalam skripsi ini penulis akan membuktikan dan memberikan argumentasi yang sesuai dengan kebenaran Alkitab dalam 1 Timotius 3:1-7 yang mana Tuhan menghendaki agar hamba Tuhan menjadi pelayan yang berkualitas, sesuai syarat-syarat yang diajukan Paulus. Persyaratan ini menginspirasi para hamba Tuhan bahwa, sebagai pelayan jemaat dituntut agar benar-benar memiliki kepribadian yang baik dan kecakapan untuk melaksanakan tugas yang sangat mulia dan berharga itu. Lebih dari itu seorang pelayan juga dituntut memiliki reputasi yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Jika diperhatikan paling sedikit ada empat belas (14) syarat yang dituntut dari seorang pelayan yaitu; tidak bercacat, memiliki satu istri atau suami, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya, bukan baru bertobat, mempunyai nama baik di luar jemaat. Dengan demikian, penulis akan memberikan pengartian dari beberapa kata kunci yakni:
Pertama, “penilik jemaat” dalam bahasa Yunani evpi,skopoj (episkopos)  yaitu seorang yang mempunyai kewajiban pastoral; gembala, pengawas yang bertanggungjawab mengawasi pekerjaan jemaat.[13] Penilik jemaat sekaligus menjadi gembala bagi saudara-saudaranya dalam Yesus Kristus dan akan membimbing, menyokong, dan menolongnya, sebagaimana Yesus adalah gembala yang baik akan membimbingnya.[14]
Kedua, “haruslah”, dalam bahasa Yunani dei (dei), yang berarti harus, patut. Dalam Kamus Bahasa Indonsia “haruslah” artinya wajib, mesti (tidak boleh tidak).
Ketiga, “tak bercacat” dalam bahasa Yunani avnepi,lhptoj (anepileptos) yang artinya tak bercela; tak bercacat.[15] Tak bercacat artinya tidak ada kekurangannya, tidak ada cacatnya, lengkap dan sempurna.
Keempat, “dapat menehan diri” dalam bahasa Yunani nhfa,leoj (nephaleos), yang berarti yang dapat menahan diri, yang jiwanya atau pikirannya tenang.[16]
 Kelima, “bijaksana” dalam bahasa Yunani sw,frwn (sophron), yang berarti bijaksana, hati-hati, menjaga diri; sederhana, murni.
Keenam, “sopan” dalam bahasa Yunani, ko,smioj (kosmios), yang berarti sopan. Beradap tentang tingkalaku, tutur kata dan pakaian.
Ketujuh, “cakap mengajar” dalam bahasa Yunani didaktiko,j (didaktikos), yang berarti yang pandai mengajar. Memiliki kemampuan dan kepandaian dalam pengajaran.
Kedelapan,  “bukan peminum” dalam bahasa Yunani mh pa,roinoj (me paroinos), yang berarti jangan, bukan peminum. Orang yang bukan penggemar minum minuman keras.
Kesembilan, “bukan pemarah”, dalam bahasa Yunani mh plh,kthj (me plektes), yang berarti bukan pemarah, kasar atau tukang berkelahi.
Kesepuluh, mempunyai “nama baik” dalam bahasa Yunani marturi,a (marturia), yang berarti kesaksian nama baik, tidak jahat tentang kelakukan budipekerti dan keturunan.

Metode dan Prosedur Peneltian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Maksudnya bahwa penelitian-penelitian melalui buku-buku yang berkaitan dengan karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat.
Pertama, penulis akan menggunakan literatur atau pustaka yang beroreantasi seputar karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat.
Kedua, penulis tidak hanya menggunakan metode study literatur tetapi tetapi juga menggali pemahaman yang baru melalui penggalian Alkitab yang baik dan utuh.
Ketiga, penulis akan menggunakan buku-buku pegangan yang membahas tentang karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat.
Keempat, Penulis akan menggunakan komunikasi dan konsultasi dengan dosen pembimbing untuk memperoleh sejumlah informasi, baik berupa pikiran, koreksi, arahan, untuk melengkapi dan memperbaiki tulisan ini menjadi lebih baik.


Definisi Istilah

Agar keseluruhan pokok dalam skripsi ini dapat dimengerti dengan baik, maka penulis perlu mendefinisikan beberapa istilah yang dipakai dalam penulisan skripsi ini.
Pertama, kata “Karakteristik”. Karakteristik dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata dasar karakter yang artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain; tabiat; watak. Jadi karakteristik adalah ciri-ciri khusus.[17] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti: Sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.  Saunders, menjelaskan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Gulo, menjabarkan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau  dari titik  tolak etis  atau  moral,  misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. Kamisa, mengungkapkan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak.
Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Wyne, mengungkapkan bahwa kata karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to mark” yaitu menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang.
Alwisol, menjelaskan pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian kerena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan sosial, keduanya relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas individu.[18]
Kedua, kata “hamba Tuhan” budak, seorang budak. Artinya, orang yang memberikan dirinya untuk orang lain atau bekerja untuk orang lain. Hamba Tuhan berarti orang yang menjadi milik Allah, berbakti kepada Allah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai panggilan hidupnya serta mengabaikan kepentingan sendiri.[19]
Ketiga, kata “konselor” ialah anggota (staf) perwakilan di luar negeri, kedudukannya di bawah duta besar dan bertindak sebagi pembantu utama (pemangku) kepala perwakilan; orang yang melayani konseling; penasihat; penyuluh.[20]
Keempat, kata “Pertumbuhan”. Pertumbuahan adalah dari kata tumbuh (hidup) dan bertambah besar atau sempurna. Jadi pertumbuhan adalah hal (keadaan) tumbuh; perkembangan (kemajuan).[21]
Kelima, kata “iman” dalam kamus bahasa Indonesia berarti kepercayaan, berkenan, ketetapan hati, keteguhan hati.[22] Brill dalam buku “dasar yang teguh” Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat, dan yang menjadi dasar keyakinan adalah Firman Tuhan. Dalam terjemahani Ibrani “iman” berarti” menyokong atau meneguhkan, sedangkan dalam terjemahan Yunani “iman” atau “percaya” berarti berharap kepadanya atau bersandar kepadanya.[23] Kalau melihat kata “iman” dan kata kerjanya “percaya” keduanya sering muncul dalam Alkitab, yang merupakan istilah penting yang menggambarkan hubungan antara umat atau seseorang dengan Allah. Khususnya dalam Perjanjian Baru, kata “iman” yang dipakai merupakan terjemahan dari kata Yunani pi,stij (pistis), sedangkan kata kerjanya “percaya” adalah terjemahan dari kata pisteu,w  (pisteuo) yang berarti keadaan yang benar dan dapat dipercaya atau diandalkan.
“Iman” menurut kepercayaan Kristen dapat diartikan sebagai “percaya” terutama reliabilitas (prihal yg brsifat andal) Allah. Pengertian moderen mengenai “iman” adalah semacam pengetahuan yang lebih rendah atau penerimaan pendapat atau cerita, yang tidak sepenuhnya dapat dibuktikan. Iman menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah, akidah (keyakinan dasar) kepercayaan kepada Tuhan (berkaitan dengan agama); keyakinan dan kepercyaan kepada Allah, Nabi, Kitab Suci, dsb.; Ketetapan; keteguhan hati.[24]
Keenam, kata “Jemaat”. Jemaat dalam kamus lengkap bahasa Indonesia artinya himpunan umat (terutama dalam Kristen).[25]

Sistematika Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini disusun secara sisitimatis berdasarkan pembahasan yang tersusun secara kreatif agar dapat dimengerti dengan maksud yang ditentukan dan yang diinginkan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penulisan skripsi ini djelaskan berdasarkan dengan bab-bab tertentu.
Bab 1, adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, alasan pemilihan judul, problem statement, perumusan masalah, tujuan penelitian, proposisi, ruang lingkup penelitian, metode dan prosedur penelitian. Definisi instilah dan sistematika penulisan.
Bab II, adalah Pengertian hamba Tuhan dan peranannya terhadap jemaat, pengertian hamba Tuhan, peranan hamba Tuhan, hamba Tuhan sebagai konselor, hamba Tuhan sebagai teladan, hamba Tuhan sebagai pemimpin, hamba Tuhan sebagai agen perubahan.
Bab III, menjelaskan tentang tinjauan teologis tentang karakteristik hamba Tuhan berdasarkan 1 Timotius 3:1-7. Latar Belakang Kitap 1 Timotius, Penulisan Kitab 1 Timotius, Tahun Penulisan Kitab 1 Timotius, Tujuan Penulisan Kitab 1 Timotius, Garis besar Kitab 1 Timotius dan  Eksposisi 1 Timotius 3:1-7.
Bab IV, Implementasi bagi hamba Tuhan di Gereja Kristen Injili Maranatha Argapura 1-3 Jayapura. Hamba Tuhan harus memiliki kualitas rohani, hamba Tuhan harus memiliki reputasi yang baik, hamba Tuhan harus memiliki tanggung jawab, mahasiswa teologi dan orang percaya.
Bab V, Penutup. Kesimpulan, saran dan pustaka.




[1]Bd. J. Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1979), 21.

[2]Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda?  pen., S.M. Siahaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 8.
[3]John Adair, Inspiring Leadership (London: Thorogood, 2002), 344.
[4]Stewart Dinne, You Can Learn to Lead, pen., Arvin Saputra (Yogyakarta: Andi, 2009), 61-2
[5]George Barna, Leaders On Leadership (Malang: Gandum Mas, 2002), 22-6.
[6]Peter Wongso, Thelogia Penggembalaan (Malang: Seminar Alkitab Asia Tenggara, 1996), 27.
[7]Arun Widjaya, Teologi Kepemimpinan (Bekasi: ILB, 2013), 34.
[8]G Sudarmanto, Menjadi Pelayan Kristus yang Baik (Malang: Departemen Multimedia (bidang literatur) YPPII, 2009),  6.
[9]John E Ingauf, Sekelumit Tentang Gembala Sidang ( Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001),  47-8.
[10]Jhon Macarthur, Kitap Kepemimpinan, pen., Djoni Setiawan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 184.

[11]Kenneth Boa, The Perfect Leader, pen., Bayu Sudi Gunawan (Malang: Gandum Mas, 2009), 34.
[12]J.L.Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 6.
[14]M. Bons-Strom, Apakah penggembalaan itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 23.

[15]Barcklay M. Newman JR, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru, pen., Jhon Miller (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 12.

[16]Ibid., 112

[17]Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 623.
[18]http://pustaka.pandani.web.id/2013/03/pengertian-karakter.html
[19]W. N. Mcelrath-Billy Mathias, Ensiklopedia Alkitab Praktis (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1978), 49.

[21]Poerwadarminto W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), 1220.

[22]Muhhamad Ali, Iman, dalam Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, t.t), 433.

[23]J Wesley Brill, Dasar yang Teguh (Bandung: Kalam Hidup, 2004), 214.

[24]W.R.F Browing, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 150.

[25]Layla, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Palanta, t.t), 262.
________________________________________________________________________


BAB II
PENGERTIAN HAMBA TUHAN DAN PERANANNYA
TERHADAP JEMAAT

Banyak orang yang tidak mengerti arti dari hamba pada zaman moderen sekarang. Pada zaman dahulu, dunia masi dalam zaman perbudakan, dimana manusia dapat diperjual belikan, seorang hamba belian, tidak berhak untuk memiliki, baik dirinya sendiri, istri dan anak-anaknya adalah milik tuannya, yaitu orang yang membelinya. Hidupnya sepanjang masa hanya untuk melayani pekerjaan yang diperintahkan oleh tuannya. Jika dia tidak menuruti perintah tuannya akan mendapat hukuman. Bersyukur setelah manusia mengenal Allah melalui Alkitab oleh pemberitaan Injil, maka manusia memperoleh hak kebebasan dari perbudakan Iblis. Umat kristen adalah manusia yang mengaku dirinya adalah umat Allah. Sebagai umat tebusan, baik dia pemimpin, pengusaha, pekerja atau rakyat petani.[1]

Pengertian Hamba Tuhan

Hamba Tuhan menurut pandangan Alkitab perjanjian baru, berasala dari kata  δουλοω (douloõ) melayani sebagai hamba (budak). Pada zaman Perjanjian Baru, seorang budak dapat di beli atau dijual sebagai komoditi. David Watson menyatakan: “Seorang budak adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri. Dalam ketaatan penuh kerendahan hati ia hanya bisa berkata dan bertindak atas nama tuannya. Dalam hal ini tuannya berbicara dan bertindak melalui dia”. Benar-benar tak berdaya. Sebagai orang percaya berarti sebagai orang-orang yang telah di merdekakan dari dosa dan menjadi hamba (doulos) kebenaran.
Kata hamba dalam Perjanjian Lama yaitu ×¢ֶבֶד “eved” atau “ebed”, yaitu budak, hamba, pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Atau ia adalah pekerja milik tuannya. Diluar Alkitab kata ×¢ֶבֶד “eved” berarti budak, hamba yang melayani raja; bawahan dalam politik; keterangan tentang diri sendiri untuk menunjukkan kerendahan hati; dan hamba-hamba dalam kuil-kuil kafir. Dalam hidup keagamaan Israel kata itu dipakai untuk menunjukkan kerendahan diri seseorang dihadapan Allah.  Jadi hamba Tuhan berarti orang yang menjadi milik Allah, berbakti kepada Allah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai panggilan hidupnya serta mengabaikan kepentingan sendiri.[2]
 Untuk menjadi seorang hamba Tuhan yang berguna bagi Tuhan, maka seorang hamba Tuhan harus mempunyai pusat atau tujuan dalam kehidupan yang bersifat luhur dan sesuai dengan tujuan Tuhan. Seorang Ahli ilmu jiwa berkata, “Apabila motif seseorang untuk menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan adalah sebagai suatu kompensasi, demi menjadi seorang pemimpin yang tidak di peroleh dalam dunia dan mengimbangi perasaan bersalah dalam hati nurani, akibatnya ialah dirinya menjadi pusat dari tujuannya”. Dengan demikian ia tidak akan meninggikan Tuhan serta memuliakan Allah.
Seorang hamba Tuhan harus bersandar akan anugerah Tuhan untuk mengatasi segala kesulitan dan rintangan di dalam pelayanannya serta bertekad menaati pengaturan Tuhan, dan senatiasa menaati apa yang dikatakan Alkitab tentang dirinya.[3] Dan Tuhan mempercayakan tugas mulia-Nya kepada orang percaya terutama kepada hamba-hamba Tuhan demi melanjutkan karya Allah di dunia ini. Seperti yang telah di Firmankan bahwa Injil Kerajaan itu akan diberiahukan di seluruh dunia, agar sekalian bangsa dapat mendengar Injil, sesudah itu barulah tibah kesudahannya.[4]
Pelayanan yang dilakukan dengan penuh perhatian, sukacita, totalitas, dan sepenuh hati, akan menjadikan pelayanan itu memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan mempengaruhi orang-orang yang di layani. Keindahan dalam pelayanan ada pada keindahan sifat dan sikap untuk memberikan yang terbaik. Konsepsi para hamba Tuhan tentang fungsinya dalam jemaat merupakan dasar motivasi kepelayanannya. Kesadaran akan posisi hamba Tuhan selaku orang yang memiliki status sosial rendah sesungguhnya akan mewarnai jiwa keselayanannya. Kita akan terlepas dari arogansi, kesewenang-wenangan dan perasaan untuk berkuasa. Sesungguhnya kekuatan spiritualitas para hamba Tuhan adalah dalam  kerendahan hatinya di hadapan Tuhan dan juga jemaat.
Istilah hamba Tuhan menyatakan apa yang dirindukan seorang tuan dari seorang hamba yaitu ketaatan, kesetiaan dan kesiapan. Dengan adanya ketiga hal ini dalam melakukan tugas pelayanan, seorang hamba Tuhan melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati. Sehingga ketika dia berbicara tentang hukum kesetiaan, maka seorang hamba harus setia dalam perkara yang besar dan kecil, yang berarti seorang hamba harus dapat dipercaya dan memiliki kredibilitas. Ketika di panggil menjadi hamba Tuhan yang melayani sangatlah di perlukan sekali sebuah pemahaman yang baik dan benar tentang tugas pelayanan yang terdapat dalam Alkitab.[5]
Seorang hamba Tuhan dipanggil untuk melayani Tuhan dan pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan Tuhan yang di percayakan kepadanya serta seorang hamba Tuhan hanya sebagai alat dalam tangan Tuhan. Sebagai alat yang hidup, setiap hamba Tuhan memiliki kerinduan untuk dipakai oleh Allah karena sebagai alat, hamba Tuhan hanya akan berguna jika dipakai oleh Allah dan juga sebaliknya. Perlu juga di sadari bahwa pelayanan dan pekerjaan yang di lakukan oleh seorang hamba Tuhan adalah pekerjaan rohani sehingga setiap hamba Tuhan haruslah hidup rohani juga. Hal inilah yang membuat seorang hamba Tuhan berbeda dengan jemaat.
Memperbaharui diri untuk pembaharuan jemaat adalah tujuan akhir dari pembaharuan diri seorang hamba Tuhan, yang dilakukan secara langsung bermuara pada terciptanya pembaharuan jemaat (gereja). Jemaat sebagai Tubuh Kristus bukan hanya mengenal dan memahami Kristus saja dalam hidupnya, tetapi juga perlu menjaga keberimanannya kepada Kristus sebagai Allah. Dan hal ini hanya dimungkinkan jika bimbingan secara rohani yang baik  dari hamba Tuhan ada berlangsung secara terus-menerus. Dalam hubungan ini seorang hamba Tuhan tidak semata-mata melakukan tugas dan fungsinya yaitu berkhotbah di mimbar setiap minggunya, akan tetapi perlu juga mengajar jemaat dengan berbagai hal yang penting dalam kehidupannya (menjadi guru bagi jemaat), mulai dari hal yang bersifat rohani, pendidikan, ekonomi dan juga hal lainnya.[6]
Dengan fungsi tersebut, bukan saja dalam kehidupan pribadinya jemaat berkembang tetapi juga dalam keikutsertaannya dalam kegiatan-kegiatan gerejawi. Hamba Tuhan selaku penyambung lidah gereja dan jemaat seharusnyalah memperdengarkan firman Tuhan kepada jemaat mengenai keadilan, kejujuran dan kesejahteraan yang harus dipelihara oleh jemaat. Sehingga dalam setiap segi kehidupannya jemaat mampu untuk bertindak dan berlaku adil bagi sesama dan juga orang lain. Dan dari hal tersebut jemaat yang ada mampu menjadi jemaat yang benar-benar terbangun dari segi kerohanian dan kehidupan menjadi jemaat yang misioner.[7]
Peranan Hamba Tuhan

Kata peranan dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya, tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Berbicara tentang peranan hamba Tuhan, termasuk sesuatu yang kompleks, dalam hal ini para hamba Tuhan perlu mengetahui dan mengerti dengan jelas apa yang diharapkan oleh Allah, anggota-anggota, organisasi, dan oleh diri mereka sendiri.
Kehambaan menekankan presensia yang dinamis di tengah-tengah mereka yang lain. Dengan demikian tidak bisa dikatakan pasif sama sekali karena  hamba Tuhan harus hidup berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah. Tugas panggilan hamba Tuhan adalah kelanjutan dari misi Kristus yakni mengharuskan gereja hidup berpadanan dengan Injil Kristus dan berdiri teguh dalam satu roh dan satu tubuh, sehati sepikir berjuang untuk iman yang timbul oleh berita Injil dan mengharuskan gereja saling memahami, memperhatikan dan melayani demi kepentingan bersama.[8]
Peranan seorang hamba Tuhan yang dipanggil untuk menggembalakan, ia sebenarnya bukan saja bertanggung jawab terhadap Tuhan dan bertanggung jawab kepada gereja yang digembalakan tetapi ia juga bertanggung jawab kepada ribuan jiwa yang belum di selamatkan, sebagai mana tanggung jawab seorang hamba Tuhan ialah, melayani jemaat sebagai pelayan, memperlengkapi anggota untuk melayani satu sama lain, kelompok maupun individu serta mewakili jemaat bagi gereja maupun dunia. Dan melayani sebagai penasihat semua kelompok dalam jemaat serta berperan sebagai pengawas dalam pelayanan.[9]
Sebagai Pelayan berarti tidak memerintah tetapi melayani. Karena didalam gereja tidak ada istilah pendetakrasi, penatuakrasi atau majeliskrasi melainkan kristokrasi. Tugas yang diberikan adalah melayani dan melayani adalah kebalikan dari memerintah (Mat. 20:20-28; Mrk 10:35-45). Pada waktu Yesus memerintah dibuat oleh orang-orang Farisi, Ia menghendaki supaya murid-murid-Nya berbuat lain dari pada yang dibuat oleh orang-orang Farisi. Ia melarang mereka untuk menyebut seorang dari mereka “guru”, karena mereka hanya mempunyai satu Rabbi saja dan mereka semua adalah saudara (band. Mat. 23:8). Dengan demikian, sebagai pelayan ditengah-tengah gereja, harus mampu memberikan suatu keputusan, tetapi bukan atas prinsip dan kemauan sendiri, melainkan dengan kehendak Yesus yang sesuai dengan Firman Tuhan (wibawa pelayan itu).
Berdasarkan hal-hal yang dijumpainya dalam medan pelayanan yang cukup panjang, lebih dari 20 tahun, Trull dan Carter, menyerukan pentingnya sebuah kode etik atau peraturan yang memandu perilaku para pelayan Gereja atau “code of conduct”. Namun, bagi keduanya, kode etik atau panduan perilaku lain tidak harus menghilangkan kreativitas dan pengembangan otoritas kependetaan atau pelayan gereja. Hal itu tidak bisa terlalu rinci dan kaku, atau sebaliknya longgar dan tak ada petunjuk jelas. Mungkin lebih tepat adalah sebuah prinsip yang bisa dikembangkan oleh para pelayan gereja secara kreatif.
Sebagai prinsip dia harus cukup jelas, tetapi tidak harus mengatur secara detail tentang perilaku para pelayan. Sebab, kehidupan pelayanan gereja adalah sebuah ruang di mana kreativitas, kemandirian, dan kematangan personal dan moral sangat diperlukan. Dengan prinsip itu, para pelayan akan terus didorong mengembangkan pemikiran teologis dan etis yang berguna bagi pengembangan jemaat dan pribadi demi pertumbuhan pelayanan gereja, baik untuk warganya dan masyarakat yang lebih luas. Pendeta atau hamba Tuhan yang kreatif, mandiri, dewasa secara etis dan moral akan mampu tidak hanya menolong jemaat menghadapi kerasnya kehidupan dunia, tetapi juga mampu membawa gereja secara organisasional dalam berdialog dengan masyarakatnya, sehingga gereja akan selalu menjadi tempat bagi pencarian sumber moralitas dan etika bagi setiap orang.
Hamba Tuhan bukan seorang event organizer, mengatur berbagai acara yang wah. Dia bukan seorang CEO gereja, yang bisa mengatur strategi bagaimana gereja bertumbuh. Dia bukan seorang administrator ulung, yang kerjanya menangani administrasi. Dia adalah seorang pelayan Firman, dengan belajar, menyampaikan Firman, berdoa dan memimpin sakramen, sekalipun dia melakukan berbagai kegiatan, tapi tugas utamanya adalah belajar firman Tuhan dan mengajarkan firman tersebut, berdoa dan mengajak jemaat berdoa.[10]
Dalam surat Paulus kepada Timotius, ia menyerahkan tanggung jawab kepada Timotius supaya melaksanakannya, selain mengajarkan ajaran yang sehat dan memberitakan injil, juga harus mempertahankan iman jemaat. Ini adalah kewajiban gembala atau hamba Tuhan untuk memelihara kebenaran atau doktrin Injil yang diterima dan dianut di dalam gereja dan mempertahankannya terhadap semua oposisi. Ini adalah salah satu ujung utama pelayanan, salah satu sarana utama dari pelestarian iman yang disampaikan kepada orang-orang kudus (I Tim 1:3. - 4, 4:6-7, 16, 6:20; II Tim 1:14, 2:25, 3:14-17).[11] Seorang gembala jemaat harus mengatur sopan santun dalam kebaktian jemaat agar kebaktian berjalan dengan teratur (I Kor. 14:26-40) serta menjalankan disiplin gereja. Yesus telah memerintahkan bahwa apa bila seorang percaya tidak mau tunduk dan menaati nasehat secara pribadi maka masalah itu harus diserahkan kepada gereja untuk didisiplin (Mat. 18:17). Paulus secara tegas sekali meminta agar jemaat di Korintus menjalankan disiplin jemaat (I Kor. 5:13).[12]
Hamba Tuhan Sebagai Konselor

Kata konselor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, anggota (staf) perwakilan di luar negeri, kedudukannya di bawah duta besar dan bertindak sebagi pembantu utama (pemangku) kepala perwakilan; orang yang melayani konseling; penasihat; penyuluh. Dengan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konselor ialah orang yang memilki tugas dan tanggung jawab dalam  kegiatan yang menguatkan, menghibur, yang dimintakan nasehat dan merunding dengan seseorang atau usaha yang dilakukan untuk membantu orang lain agar ia dapat menolong dirinya sendiri oleh proses perolehan pengertian tentang konflik-konflik batiniahnya.
Seorang hamba Tuhan memiliki banyak kesempatan untuk melayani manusia dan Allah, dia memiliki sebuah kesempatan untuk mengenal Kristus sebagai Juruselamat pribadinya dan berjalan bersama­-Nya sebagai sahabat, dia memiliki sebuah kesempatan untuk bergantung kepada Allah terhadap jawaban bagi semua kebutuhan manusia, dia memiliki sebuah kesempatan untuk memberitakan hal-hal yang ajaib dan hal-hal surgawi dari berita Injil, dia memiliki sebuah kesempatan untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Yesus, dan dia memiliki sebuah kesempatan untuk melayani sebagai seorang konselor bagi kebutuhan jemaat.
Ada beberapa fungsi dari seorang konselor yaitu, menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding), mendamaikan (reconciling) dan memelihara (nurturing). Dan seorang konselor harus mengakui bahwa, pelayanannya dipercayakan oleh Allah sendiri yang mutlak tergantung pada kuasa Roh Kudus serta didasarkan pada kebenaran Firman Allah. Adapun bentuk-bentuk pelayanan yang harus diperhatikan yaitu, percakapan, kunjungan rumah tangga, tempat-tempat penampungan, dan juga bentuk-bentuk lainnya seperti; pelayanan pastoral dengan surat dan telepon.[13]
Tugas utama seorang hamba Tuhan yang adalah konselor ialah melakukan “pastoral konseling”. Kata Konseling berasal dari Bahasa Latin “consulere” berarti memberi nasihat. Sedangkan kata bahasa Inggris yang menunjukkan untuk kata konseling adalah consul yang artinya wakil, konsul;counsult yang artinya minta nasehat, berunding dengan; cosole yang artinya menghibur dan consolide yang artinya menguatkan. Bisa diartikan kata konseling adalah kegiatan sseorang yang menguatkan, menghibur seseorang.
Konseling sebenarnya merupakan salah satu teknik atau layanan di dalam bimbingan, tetapi teknik atau layanan ini sangat istimewa karena sifatnya yang lentur atau fleksibel dan komprehensif. Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan, tetapi merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan konseling dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap. Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan dan perasaan, dan lain-lain. Konseling memegang peranan penting dalam bimbingan (counseling is the hearth of guidance), konseling sebagai pusatnya bimbingan (counseling is the centre of guidance). Sebab dikatakan jantung, inti, atau pusat karena konseling ini merupakan layanan atau teknik bimbingan yang bersifat terapeutik atau bersifat menyembuhkan (curative).[14]
Adapun Dasar- dasar bagi titik tolak konseling Kristen dapat dijelaskan selanjutnya sebagai berikut: Sama seperti Allah sendirilah yang berinisiatif mencipta segala sesuatu, menopang ciptaan-Nya dengan Perjanjian Berkat dan setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah tetap berinisiatif “mencari” mereka untuk membebaskan, maka konseling Kristen pun perlu menekankan bahwa proses pelayanan konseling adalah “upaya” seorang hamba Tuhan yang merupakan inisiatif untuk mencari dan menolong para konseli yang lemah atau yang gagal.
Inisiatif “mencari menggaris bawahi bahwa konseling Kristen harus bersifat dinamis dan proaktif. Di sini konseling Kristen perlu menolak sikap menunggu dengan gaya pasif serta pesimistik. Konseling Kristen yang berinisiatif mencari, menekankan bahwa ada kuasa Roh Kudus sebagai dinamika yang menjamin bahwa ada saja jalan atau sikap positif untuk mengatasi dan memenangkan masalah dalam proses konseling.
Istilah Pastoral berasal dari “pastor” dalam bahasa latin atau dalam bahasa Yunani disebut “poimen” yang artinya gembala.[15] Berbicara tentang gembala, Thurneysen merumuskan, “Penggembalaan merupakan suatu penerapan khusus Injil kepada anggota jemaat secara pribadi, yaitu berita Injil yang dalam khotbah gereja disampaikan kepada semua orang”. Herfst mengatakan bahwa tugas penggembalaan itu ialah, “Menolong setiap orang untuk menyadari hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri.” Sedangkan menurut Faber, penggembalaan itu ialah tiap-tiap pekerjaan, yang di dalamnya si pelayan sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh percakapannya atau khotbahnya, atas kepribadian orang, yang pada saat itu dihubunginya.”[16]
Mengenai Konseling Pastoral, Susabda dalam buku Pastoral Konseling mendefinisikan Pastoral Konseling sebagai berikut, “Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal reathionship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb) sebagai konselor dengan konselinya (klien, orang yang minta bimbingan), dalam mana konselor mencoba membimbing konselinya ke dalam suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere), yang memungkinkan konseli itu betul-betul mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dimana ia berada, dan sebagainya. Sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.”[17]
Berdasarkan uraian diatas Pastoral Konseling dapat berarti gembala atau hamba Tuhan yang memberikan nasihat, penghiburan dan penguatan bagi warga gerejanya. Pelayanan pastoral mempunyai sifat pertemuan yaitu: antara pastor atau hamba Tuhan dan anggota jemaat yang membutuhkan bantuan dan pelayannya, pertemuan antara mereka berdua dan Allah, yang sebenarnya yang memimpin dan memberi isi kepada pertemuan mereka. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai pastor sejati yang baik . Ungkapan ini mengacu kepada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan terhadap para pengikut-Nya.

Hamba Tuhan Sebagai Pengkhotba

Khotbah termasuk dalam salah satu inti pelayanan kristiani. Maksud khotbah yang sebenarnya tidak lain adalah membantu orang untuk sampai pada pemahaman akan keadaan mereka sendiri dan keadaan akan dunia mereka yang sedemikian rupa, sehingga mereka dapat bebas untuk mengikuti Kristus yaitu menghayati hidupnya secara otentik. Pemahaman seperti inilah yang mampu menghantarkan manusia kepada firman Allah, sehingga hidupnya pun dapat diterangi oleh firman yang didengarnya. Berkhotbah adalah lebih dari pada sekedar menceritakan kembali kisah-kisah Alkitab.
Lebih dari pada membawa iman pada masa lalu ke masa sekarang. Bagaimana pun juga, pesan inti Injil tetap mengandung kebenaran yang belum seutuhnya dinyatakan pada setiap orang. Firman Allah selalu datang ke dunia , meskipun seringkali ditanggapi dengan ketidak acuhan dan kejengkelan. Orang yang berkhotbah diharapkan untuk dapat menyingkirkan halangan-halangan ini dan membawa orang atau jemaat kepada pemahaman yang benar yang dapat membebaskan mereka. Dalam hal ini, seorang pengkhotbah dituntut adanya keterbukaan dirinya untuk setiap dialog yang terjadi, meskipun tidak jarang pula keterbukaan tersebut menyakitkan bagi diri pengkhotbah. Namun, keterbukaan inilah yang menjadi inti spiritualitas pengkhotbah. Pengkhotbah adalah orang yang bersedia memberikan hidupnya bagi umatnya. Melalui diri si pengkhotbah, orang atau jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya Allah dalam hidupnya sendiri. 
Dalam dedicatory epistle bagi tafsiran surat Roma yang ditulisnya, Calvin mengatakan bahwa tugas seorang hamba Tuhan dalam menyampaikan Firman adalah sesuatu yang sangat mulia, kalau dia menyampaikannya dengan jelas, tidak bertele-tele, dan tepat sebagaimana dinyatakan Alkitab. Mengapa Calvin sangat mementingkan hal ini? Karena ini adalah cara jemaat Tuhan bisa bertumbuh. Jemaat Tuhan tidak akan bertumbuh dengan proposisi-proposisi rumit. Maka pengertian Calvin mengenai khotbah adalah adanya suatu konteks sensibilitas, yaitu suatu kesadaran untuk berespons secara lincah terhadap pendengar yang berbeda-beda pada saat yang berbeda-beda pula.
Musa mengajarkan orang Israel, ia memberikan ispirasi dan mendorong umat itu melalui pengajaran firman Allah dengan menyusun hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan (Kel. 18:20). Sebuah gereja dapat berjalan di jalan Tuhan hanya jika gereja tersebut di ajar secara tepat dan benar. Sebelum mengerakan dan mendorong umat untuk maju, orang yang ditetapkan terlebih dahulu belajar menetapkan jalan, membuat peta perjalanan. Dengan taat pada firman Allah, gereja mendapatkan ketenangan dalam pertumbuhan.
Hamba Tuhan yang ditetapkan harus menjadi seorang yang penuh firman, sungguh-sungguh ditenggelamkan dengan firman Allah yang hidup dan mampu menyampaikannya. Dalam Kisah Para Rasul 6:2, rasul-rasul menunjukan problem yang sedang kita hadapi sekarang ini, yaitu terlalu banyak melakukan pelayanan meja dan kekurangan waktu untuk pemberitaan firman. Memberi makan kepada jemaat dengan firman Allah merupakan tugas dan tanggung jawab hamba Tuhan.[18]
Ibadah adalah kata yang umum dan inklusif bagi berbagai peristiwa yang menegaskan kehidupan ketika gereja menyelenggarakan pertemuan bersama guna mengekspresikan iman mereka dalam puji-pujian, mendengarkan firman Tuhan, dan meresponi kasih Allah dengan berbagai karunia dari kehidupan. Ibadah adalah sumber dasar bagi segalanya dari gereja dan apa yang dilakukannya. Jika ibadah suatu gereja kekurangan integritas, autentisitas, keramahan, vitalitas, dan keyakinan, bias juga dikatakan hal-hal ini akan juga kurang dalam kehidupan yang lain.[19]
Pelayanan sesungguhnya adalah menyampaikan berita Injil secara efektif. Tindakan pelayanan ini mulai jika seorang hamba Tuhan atau pengkhotba mulai menyampaikan kabar baik tersebut. Penyampaian berita Injil bukanlah sekedar pemberi informasih. Agar komunikasi menjadi lebih efektif maka, Injil harus berbicara dalam hati manusia dan diterapkan dalam kehidupannya. Salah satu cirri yang menonjol dalam dari seorang pengkhotba ialah wewenangnya. Ia tidak berbicara atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang yang mengutus dia. Wewenang bukan hanya terdapat dalam perkataannya, tetapi dalam kesanggupan untuk bertindak atas nama oknum yang mengutusnya.
Melalui khotba orang-orang dibawa kedalam kerajaan Allah, dan dengan mengajar, mereka tetap teguh. Tanggung jawab seorang hamba Tuhan yang adalah pengkhotba, bukan hanya berkhotba dan mengajar tetapi juga menerima khotba dan ajaran, agar pengkhotba juga dapat dibangun dan diteguhkan oleh firman Allah. Dalam penyampain firan Tuhan, kesaksian pribadi juga merupakn hal penting yang dapat membangun iman jemaat. Salah satu contoh yaitu ketika Filipus menyampaikan Injil kepada orang Etiopia, yang Filipus tidak langsung berbicara kepadanya tentang Injil, akan tetapi sebaliknya ia mulai dengan pertanyaan yang maksudnya “bolehkah saya melibatkan diri dalam kehidupanmu?” sebagai tanggapan terhadap pertanyaan orang itu, Filipus mulai berbicara kepadanya tentang Kristus (Kisah Para Rasul 8:31). Dengan ini maka, seorang hamba Tuhan dapat menyampaikan Injil melalui kesaksian pribadinya.[20]

Hamba Tuhan Sebagai Teladan

Teladan artinya sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk di contoh, tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya. Pelajaran yang dapat dipetik, apabila berkomitmen menjadi pelayan Tuhan seperti gembala, pendeta atau majelis adalah sebagai berikut, yakni: Kehidupan mereka adalah cermin yang memantulkan prinsip-prinsip ajaran Tuhan yang ingin diikuti pengikut atau jemaatnya, siap menderita artinya menuntut ketekunan, kerendahan hati dan resiko, konsisten antara tindakan dan ajaran Firman Tuhan sebagai petunjuk kehidupan orang percaya.
Kristus dalam menjelaskan mengenai proses pelayanan penggembalaan atas umat-Nya, menekankan bahwa gembala atau hamba Tuhan harus dapat diteladani. Tuhan Yesus tetap memposisikan diri-Nya  selaku pemberi teladan, harus bisa menunjukkan arah dan berani tampil sebagai figur pemberi teladan, haruslah terus dan tetap menjadi penunjuk arah perjalanan kehidupan jemaat di dalam Kristus.[21] Ia harus tahu kemana jemaat diarahkan, ia harus mempunyai perkiraan tujuan akhir yang hendak dicapai, ia harus bisa memberi teladan yang baik. Rasul Paulus menuturkan, “Sebab itu aku menasehatkan kamu: turutilah teladanku” (1 Kor. 4:16). Untuk menjadi teladan itu memang tidak mudah. Lebih mudah membuat suatu contoh atau teladan dari pada harus menjadi contoh atau teladan. Menjadi contoh atau teladan memang hal ini sulit, namun hal inipun sangat penting.
Kitab suci menekankan bahwa seorang hamba Tuhan harus dipimpin oleh kehidupan pribadinya dan menjadi contoh yang berharga bagi jemaatnya. Paulus  tidak pernah berhenti menyerukan hal itu, tanpa sebuah keegoisan, untuk medorong orang-orang yang percaya agar mengikuti dia dalam contoh hidupnya. Dia menulis kepada jemaat Korintus, “Jadilah pengikutku sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Kor. 11:1). Dia menulis kepada jemaat yang ada di Filipi: “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Fil. 4:9). Dia juga kepada jemaat Tesalonika, “Kamu adalah saksi demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu yang percaya” (1 Tes. 2:10).
Paulus mendesak Timotius yang merupakan anaknya dalam pelayanan dengan kata-kata ini, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu” (1 Tim. 4:12). Seorang pelayan juga harus memiliki sebuah kesalehan  (1 Tim. 4:12). Dia merupakan sebuah model bagi jemaat. Dia harus menjadi corong iman (1 Tim. 1:13; Titus 2:1). Dia harus memiliki kapasitas mental yang baik dan terlatih dalam pengetahuan Kitab Suci (2 Tim. 2:15). Dia harus cakap mengajar orang (1 Tim. 3:2; 2 Tim. 2:2; 2 Tim. 2:24-25).[22]
Seorang Hamba Tuhan bukan hanya ketika berada di atas mimbar tetapi akan lebih berkuasa, lebih dinamis, lebih efektif juga didalam kehidupannya sehari-hari yang terlihat di depan mata jemaatnya. Philips Brook berkata, “Yang paling utama dari semua kuasa elemen yang membuat sukses, adalah saya harus meletakkan kepentingan karakter dari pribadi yang benar, dan secara murni menekankan diri mereka atas manusia yang bersaksi terhadap mereka.” Quintilian berkata bahwa pembicara yang baik haruslah menjadi orang yang baik. Fransiskus dari Asisi membuat poin yang sama ketika dia berkata, “Tidak ada gunanya pergi kesetiap tempat untuk berkotbah kecuali kita berkotbah disaat kita sedang pergi.”
Stark, seorang ahli sosioligi mengatakan, “Seorang pelayan harus bertanya pada diri sendiri,” apakah yang merupakan tulah-tulah, wabah penyakit atau epidemic dari masa kini? Tulah dan wabah penyakit ini bisa bersifat jasmani, psikologi atau bahkan intelektual. Selanjutnya, bagaimana kita dapat tetap menjaga diri kita terbuak dan terus memelihara hubungan dengan orang-orang yang terisolasi sedemikian rupa? Ini merupakan tantangan yang sangat besar dan kesempatan yang luar biasa, tetapi juga perlu strategi baru dan belas kasihan  yang lebih besar.[23]

Hamba Tuhan Sebagai Pemimpin

Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, salah satu syarat bagi seorang hambaTuhan yang adalah pemimpin yaitu, dipenuhi dengan Roh Kudus. meskipun pelayanan yang akan mereka lakukan bukan pelayanan rohani. Mereka haruslah orang-orang yang tulus hati, yang terkenal baik, yang bijaksana, yang penuh hikmat, yang rohani dan yang penuh dengan Roh. Sifat rohani tidak mudah didefinisikan, tetapi ada atau tidak adanya sifat ini mudah sekali dilihat. Orang yang penuh dengan Roh dapat mengubah suasana melalui kehadirannya, karena ia mempunyai pengaruh yang tidak disadarinya, yang menyebabkan Kristus dan hal-hal rohani menjadi nyata untuk banyak orang.
Jelaslah bahwa kepemimpinan sama sekali bukan tentang gaya atau teknik, melainkan tentang karakter. Alkitab mencatat sejumlah gaya kepemimpinan yakni, Elia adalah seorang nabi yang sering menyendiri; Petrus berwatak kasar; Yohanes berhati lembut; Paulus adalah pemimpin yang dinamis, bahkan ketika ia dibelenggu dengan rantai kemana-mana. Ia mempengaruhi orang terutama dengan kata-katanya yang berwibawa, pada hal secara fisik ia tidak terlihat perkasa. Mereka adalah orang-orang yang bertindak  secara nyata, yang memanfaatkan karunia masing-masing dengan cara yang sangat berlainan.[24]
Walaupun Paulus tidak secara eksplisit mengungkapkan memimpin dalam hal apa saja, tetapi dari setiap ungkapan Paulus dapat dilihat bahwa kepemimpinan yang dimaksud menyangkut kepemimpinan dalam hal organisasi, kerohanian jemaat bahkan keluarga mereka sendiri. Dalam 1 Tesalonika 5:12 “Mereka yang memimpin kamu dalam Tuhan,” Paulus tidak memakai gelar mereka, tetapi kemungkinan besar mereka adalah penatua-penatua (presbuteroi), karena menurut Kisah Para Rasul, Paulus dan rekan-rekan sekerjanya mempunyai kebiasaan untuk mengangkat penatua-penatua dalam setiap jemaat yang mereka dirikan (Kis. 14:23). Para penatua diberikan tugas untuk memimpin jemaat kepada kedewasaan, pemahaman akan firman Tuhan, karakter yang serupa dengan Kristus dan kesalehan hidup. Para penatua bertanggung jawab dalam hal ini.
Apabila melihat konteks jemaat pada waktu itu, sistem manajemen mereka tentunya tidak semoderen atau profesional sekarang, tetapi dapat diyakini bahwa inti dari semua tugas para penatua supaya mereka menjadi pemimpin di kalangan jemaat. Hal ini sangat perlu ditegaskan oleh Paulus mengingat bahwa berbicara tentang gereja menyangkut dengan orang banyak yang perlu dikelola. Walaupun secara organisasi bahwa yang sudah ada yang menjadi pemimpin mereka yaitu Timotius atau Titus atau rekan Paulus yan lain, mereka masih membutuhkan para penatua untuk menjadi pemimpin dalam jemaat-jemaat. Mungkin saja di beberapa wilayah atau kelomok-kelompok tertentu mereka membutuhkan seorang pemimpin yang tidak akan mungkin dijangkau oleh Titus atau Timotius.[25]
Hamba Tuhan haruslah memimpin dengan hati gembala di mana ini berbicara tentang melayani, menuntun, mengarahkan, menantang, dan membantu untuk bertumbuh. Sudah dibuktikan bahwa orang yang dipimpin tidak dapat digerakkan dimotivasi oleh sebuah birokrasi atau prosedur sebagaimana teori manajemen. Orang hanya digerakkan oleh visi, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan keyakinan tentang diri (Robert J. Stevens). Hal ini diperkuat juga oleh tokok kepemimpinan D’Souza, yang mengatakan tentang kepemimpinan gembala sebagai berikut:
Bagi pemimpin-gembala, produknya adalah para pengikut. Bukan keuntungan , bukan pangsa pasar. Para pengikut itu sendiri yang menjadi tujuan dan produk dari upaya pemimpin gembala atau hamba Tuhan. Dan karena itu, ketika dombanya tetap hidup menghadapi berbagai bahaya dalam perjalanan, ketika mereka bertambah kuat, gembala dengan setia menunaikan tugasnya. Domba memang harus dibimbing, didorong, dan dimotivasi untuk mencapai kinerja terbaik.[26]
Tren kepemimpinan telah berkembang sangat pesat dan dapat dengan mudah dipelajari secara mandiri. Bahkan nilai dan prinsip biblika telah mewarnai semua lini prinsip ilmu kepemimpinan. Namun dalam lini praktika, gereja diperhadapkan dengan kompleksitas kultural, masalah sosial, dan konteks yang sangat beragam. Saat ini pemimpin tidak boleh berhenti dengan penerapan kepemimpinan dalam kehidupan.  Ada banyak keunikan yang akan ditemukan di lapangan. Seperti kata Clinton, pemimpin sedang memasuki “university of life”, di mana penerapan nilai kepemimpinan tidak pernah berhenti. Nilai-nilai itu harus terus digali.
Salah satu hal yang menjadi solusi dalam kepemimpinan sat ini adalah perlunya pengembangan kepemimpinan yang berhati gembala. Nilai ini bersumber dari Yesus sendiri lewat hidup dan pengajaran-Nya.  Prinsip itu didasarkan kepada kebaikan, ketulusan hati, kecakapan, dan kesetiaan dalam kebenaran. Prinsip ini kekal, namun penerapannya membutuhkan waktu dan kerja keras di dalam konteks masyarakat pascamodernitas ini.
Hal ini ditegaskan dengan pernyataan D’Souza tentang hasil dalam menerapkan pemimpin-gembala, “Oleh karena itu, gembala adalah model bagi para pemimpin dari segala organisasi, termasuk perusahaan industri dan komersial. Pemimpin dituntut untuk bertindak sebagai gembala sejati atas organisasinya, yang pertama-tama dan terutama dilihat sebagai komunitas manusia. Dengan demikian, pemimpin semacam ini akan memperoleh loyalitas dan komitmen dari para pegawai dan pelanggan, dan pada gilirannya akan meraih apa yang tidak pernah dapat diperintahkan oleh pemimpin lain.[27]

Hamba Tuhan Sebagai Agen Perubahan

Hamba  Tuhan yang mencoba untuk menerapkan prinsip-prinsip pertumbuhan gereja ke dalam gereja mereka, dengan sendirinya berfungsi sebagai agen-agen perubahan. Itu artinya mereka harus berhadapan dengan sebuah kelompok social (jemaat) yang selama bertahun-tahun sudah mengembangkan tradisi kehidupan gereja tertentu. Tradisi-tradisi tersebut secara tidak langsung sudah menjadi bagian dari identitas diri mereka. Beberapa diantaranya sangat susah diubah tetapi semua itu perlu di ubah supaya gereja biasa bertumbuh.
Namun untuk setiap perubahan yang drastis seorang hamba Tuhan perlu mengambil paling sedikit empat langkah yaitu, sebagai berikut:
Pertama, bagikan visi. Visi yang dimaksud ialah ke arah mana Allah menghendaki gereja tersebut. Visi itu harus dikomunikasikan kepada jemaat dengan cara tertentu yang membuat mereka bersemangat dan rela untuk melakukan bagian mereka masing-masing guna mewujudkan visi itu. Jalur komunikasi yang tepat bias berbeda dalam setiap gereja, namum mimbar selalu konstan, jadi sebelum mengumumkan sasaran pastikan fondasi pekerjaan sudah di pasang dengan benar.
Kedua, akumulasikan umpan balik (berupa komentar-komentar). Ada pepatah yang mengatakan terdapat hikmat di dalam kumpulan para penasehat. Jika Allah sudah memberikan sebuah visi, biasanya visi itu masih dalam bentuk janin dan oleh sebab itu, masih memerlukan banyak perbaikan dan perkembangan sebelum menjadi kenyataan. Disini sesorang hamba Tuhan memerlukan nasehat dari jemaat, tidak Cuma memerlukan ide mereka saja, tetapi juga supaya mereka merasa mereka pemilik visi tersebut.  Jadi, berikan prioritas yang tinggi untuk membuak saluran-saluran umapan balik.
Promosikan keharmonisan di dalam diri. Hamba Tuhan yang adalah seorang agen perubahan, harus menyadari bahwa semua orang dalam gereja akan jatuh di sekitar sebuah spectrum dari yang radikal melalui yang progresif dan yang konservatif sampai yang tradisionalis pada ekstrim yang lain. Jika seorang hamba Tuhan mengetahui posisi orang-orang yang akan di hadapi, pengetahuan itu akan membantu untuk menentukan pendekatan macam apa yang perlu dilakukan.
Keempat, kenali pewaktuan yang tepat. Ketika seorang agen perubahan sudah tahu bahwa dia sudah memperoleh kepemilikan sasaran dari para anggota, itu berarti seorang agen tersebut sudah mendapatkan lampu hijau untuk maju terus kedepan. Dan jika mereka sudah merasa bahwa mereka bagian dari proses perubahan tersebut, dan jika mereka sudah sungguh-sungguh menangkap visi itu, maka hamba Tuhan yang adalah agen perubahan tersebut sudah bias menggerakan mereka untuk menyumbangkan waktu, tenaga dan biaya untuk perubahan yang dimaksud.[28]






[1]Petrus Tony Randoe, Pola Hidup Umat Allah (Jakarta: Yayasan Alsuka, 1997), 284.
[2]W. N. Mcelrath Dan Billy Mathias, Ensiklopedia Alkitab Praktis (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1978), 49
[3]Peter Wongso, Theologia Penggembalaan (Malang: Seminar Alkitab Asia Tenggara, 1983), 4.
[4]Stephen Tong, Teologi Penginjilan (Surabaya: Momentum LRII, 1988), 50-6.
[5]J.L.Ch. Abineno, Melayani dan Beribadah Di Dalam Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 24.
[6]Malcom Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1984), 17.

[7]J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1986), 24.
[8]Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2004), 38.

[9]Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda? pen., S.M. Siahaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 11.
[10]Joe E. Trull Dan James E. Carter, Etika Pelayanan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 100-15.
[11]Suhento Liauw, Doktrin Gereja Alkitabiah  (Jakarta; GBIA Graphe, 1996), 131.

[12]Warren W. Wiersbe, Setia Di Dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 1981), 17.
[13]J.L.CH. Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 29-1.
[14]J.L.CH. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 6-8.
[15]Art Van Beek, Pendampingan Pastoral  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 10.
[16]M. Born StormApakah Penggembalaan Itu? (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011 ), 1.
[17]Yakub Susabda, Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas, 2006), 13.
[18]Frank Damazio, Memimpin Dengan Roh (Yogyakarta: PBMR Andi, 2004), 75-6.
[19]David R. Ray, Gereja Yang Hidup (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 10.
[20]Jasse Miranda, Gereja Kristen Dalam Pelayanan (Malang: Gandum Mas, tt), 201-02.
[21]Set Msweli Dan Donald Crider, Gembala Sidang Dan Pelayanannya (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 38-3.
[22]George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, pen., Urbanus Selan Dan Henry Lantang, 2 Jil. (Bandung: Kalam Hidup, 1999), 318-22.
[23]Jonh E Phelan Jr, Gereja Dalam Era Postmoderen, pen., Paulus Trimanto Wibowo (Yakin: Surabaya, 2002), 43-5.
[24]Jhon Macarthur, Kitab Kepemimpinan, Peny.,Nino Oktorino Dkk, Pen., Djoni Setiawan, 2 Jil. (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 2: 206.
[25]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 90.
[26]Kouzes, James M. dan Barry Z. Posner. The Leadership Challenge, Pen., Revyani Sjahrial (Jakarta: Erlangga, 2004), 67.
[27]Ralph M. Riggs, Gembala Sidang yang Berhasil (Malang: Gandum Mas,  1984), 16.
[28]C. Peter Wagner, Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh (Jakarta: Harvest Publication House, 1995), 199-01.
________________________________________________________________________



BAB III
TINJAUAN TEOLOGIS TENTANG KARAKTERISTIK HAMBA TUHAN
BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7


Firman Tuhan merupakan prinsip dasar pelayanan bagi seorang hamba Tuhan dan juga orang percaya, yang terpanggil untuk melanjutkan misi Yesus Kristus di dunia. Dimana Alkitab harus dipelajari dengan benar oleh setiap orang percaya bahkan para hamba Tuhan, terutama dalam surat-surat penggembalaan (1 dan 2 Timotius, Titus dan Filemon), karena surat-surat ini membahas hal-hal tentang gereja dan organisasi ditilik dari sudut pandang hamba Tuhan.[1] Pengenaan istilah pastoral menurut Carson, Moo dan Morris, istilah “pastoral” (penggembalaan) dikenakan kepada surat 1, 2 Timotius dan Titus.
Bardot dan Anton mengatakan bahwa, surat ini ditujukan kepada dua orang (Timotius dan Titus) yang menjalankan tugas mereka sebagai pastor. Sedangkan menurut Freed, penggenaan istilah pastor itu sejak abad ketiga belas atau empat belas. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, yang jelas mereka sepakat bahwa istilah pastoral dikenakan kepada ketiga surat ini karena ketiganya ditujukan kepada para pastor (latin) yang artinya “gembala” yang melaksanakan tugas-tugas pengembalaan di dalam jemaat.[2]


Latar Belakang Kitab 1 Timotius

Surat 1 dan 2 Timotius dialamatkan kepada Timotius, yang disebut dalam 1 Timotius 1:2, gnh,sioj  te,knon evn pi,stijgnesios teknon en pistis” (anak yang sah di dalam iman), dan dalam 2 Timotius 1:2, avgaphto,j te,knonagapetos teknon” (anak yang kekasih).[3] Timotius dilahirkan di Listra dari seorang ayah Yunani dan ibunya seorang Kristen Yahudi yang saleh (2 Tim. 1:3, 5) tetapi mempunyai nama Yunani yaitu Eunike. Timotius dididik dalam adat istiadat Yahudi dan diajari kitab suci sejak masih kanak-kanak. Paulus menjadikan Timotius sebagai muridnya dalam perjalanannya yang kedua (Kis. 16:1-3) dan sejak itu Timotius selalu menyertainya kemana pun ia pergi.
 Timotius turut mengabarkan Injil di Makedonia dan Akhaya serta membantu Paulus waktu ia mengajar di Efesus selama tiga tahun, dimana ia menjadi orang yang sangat mengenal kota itu serta kebutuhan-kebutuhan jemaat disana. Timotius pun merupakan salah seorang delegasi yang ditunjuk ke Yerusalem (Kis. 20:4) dan mungkin menyertai Paulus dalam perjalanan kembali ke kota. Ia berada di Roma bersama Paulus pada masa pemenjaraannya yang pertama, karena namanya muncul dalam surat Kolose 1:1 dan Filemon pasal 1. Setelah Paulus dibebaskan Timotius mengadakan perjalanan kembali bersamanya dan rupanya ditinggalkan di Efesus untuk menjernihkan kekacauan yang telah berkembang disana, sedangkan Paulus melanjutkan kunjungannya ke gereja-gereja di Makedonia.[4]
Pada Akhir hidup Paulus, Timotius mendampinginya di Roma (2 Tim. 4:11, 21), dan ia sendiri juga dipenjarakan (Ibr. 13:23), tetapi dibebaskan kembali. Timotius adalah orang yang dapat dipercaya namun kurang bersemangat, ia terkesan sebagai seseorang yang belum dewasa meskipun ia pasti telah berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun ketika Paulus menugaskan dia untuk memimpin gereja di Efesus (1 Tim. 4:12), ia penakut ( 2 Tim. 1:6, 7) dan sering terganggu pencernaannya (1 Tim. 5:23). Surat ini memakai nama Timotius, dimaksudkan untuk membesarkan hati dan meneguhkan dia untuk menerima tugas berat yang dilimpahkan Paulus kepadanya.[5]
Surat 1 dan 2 Timotius serta Titus selalu dianggap sekelompok surat yang terpisah, yang berbeda dari surat-surat Paulus yang lain. Kanon Muratori menyebutkan bahwa, surat-surat ini ditulis dari perasaan cinta kasih pribadi sehingga surat-surat ini lebih bersifat pribadi. Namun, dapat diketahui bahwa sekalipun bersifat pribadi, surat-surat ini memiliki arti penting dan begitu relevan dengan persoalan-persoalan mendesak, dalam 1 Timotius 3:15, maksud itu di paparkan. Surat ini ditulis untuk Timotius tentang bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah yakni jemaat Allah yang hidup. Karena itu, surat-surat ini bukan hanya memiliki kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan gerejawi.
Tahap demi tahap surat-surat ini mendapat sebutan surat-surat pastoral. Tentang penulisan surat 1 Timotius, Aquinas mengatakan bahwa, “Surat ini seperti suatu kaidah pastoral yang dikirim oleh rasul Paulus kepada Timotius.” Dalam surat yang pertama ia memberikan pengajaran kepada Timotius mengenai aturan gerejawi, sedangkan dalam suratnya yang kedua ia berurusan dengan penggembalaan yang akan menjadi sangat penting, bahkan demi pemeliharaan jemaat ia harus bersedia menerima kemartiran. Selanjutnya surat-surat ini berkenan dengan pemeliharaan dan organisasi jemaat Allah, yang membicarakan tentang bagaimana berperilaku sebagai anggota keluarga Allah dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana rumah Allah harus diatur, seperti apa seorang pemimpin dan gembala jemaat itu serta bagaimana menghadapi ancaman-ancaman yang membahayakan kesucian iman serta kehidupan Kristen.[6] Karena gereja adalah umat Allah yang baru atau kumpulan orang-orang percaya (ekklesia).[7]

Penulisan Kitab 1 Timotius
Mengenai penulisan surat ini, ada banyak para ahli yang memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada tiga macam pendapat yang berbeda-beda mengenai ketulenan surat-surat pastoral ini yaitu:
Pendapat pertama, “ada penafsir-penafsir yang menyangsikan pendapat bahwa Paulus pernah menulis surat-surat ini,” dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, alasan-alasan menyangkut waktu.  Yang dimaksud disini ialah bahwa surat-surat pastoral tidak cocok dengan kitab-kitab yang lain dalam Perjanjian Baru, terutama Kisah Para Rasul. Memang tidak dapat disangkal bahwa Kisah Para Rasul atau pun kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru tidak melaporkan tentang Timotius dan Titus yang diutus untuk melayani di Efesus (1 Tim. 1:1-3; 2 Tim. 1:1-2) dan Kreta (Tit. 1:4-5). Hal ini hanya mungkin bila mana Paulus dilepaskan dari penjara di Roma (bnd. Kis 28) dan masih melayani beberapa tahun. Masalah yang kedua adalah bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ada laporan tentang pembebasan Paulus dari penjara itu, tidak ada satu kata pun dalam Kisah Para Rasul, bahkan dalam surat-surat penggembalaan pun tidak ada, paling-paling ada tanda-tanda dalam surat-surat yang ditulis pada waktu Paulus dalam penjara di Roma (bnd. Fil. 1:19, 25, 2:24; Fil. 22), yang jelas ialah pandangan bahwa Paulus dilepaskan dari penjara tidak bertentangan dengan Perjanjian Baru seluruhnya.
Masih perlu ditambahkan bahwa, tradisi gereja mula-mula mendukung pembebasan Paulus. Klement dari Roma mengatakan bahwa, “setelah Paulus memberitkan Injil baik di Barat maupun di Timur, ia dihormati oleh semua orang. Dia melayani sampai ke ujung bumi sebelum dia mati syahid di bawah pemerintahan Kaisar Nero.” Klement sendiri tinggal di Roma. Untuk dia bukan Roma yang menjadi ujung bumi, oleh sebab itu ada kemungkinan besar bahwa yang di maksud dengan ujung bumi adalah Spanyol. Dalam surat Roma menjelaskan bahwa, Paulus mempunya rencana untuk melayani sampai ke Spanyol (Rom. 15:24). Namun dalam Kisah Para Rasul, tidak ada laporan tentang pelayanan sampai ke Spanyol. Itu berarti hanya bilamana bahwa, Paulus dilepaskan dari penjara yang dilaporkan dalam Kisah Para Rasul 28, masih ada waktu untuk menempuh perjalanan ke Spanyol.
Kedua, alasan-alasan menyangkut struktur gereja. Yang diutamakan oleh teolog-teolog yang menganut teori ini adalah bahwa struktur gereja yang digambarkan dalam surat-surat penggembalaan sudah lebih berkembang dari pada yang biasanya pada abad pertama. Alasan ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Sudah pada perjalanan misi yang pertama, Paulus menetapkan penatua-penatua bagi jemaat-jemaat yang dibukannya (Kis. 14:23). Dalam (Fil. 1:1) juga disebut tentang para jemaat dan diaken. Dalam surat-surat penggembalaan pun hanya jabatan-jabatan itulah yang disebut (bnd. Tit. 1:5-7), memang jabatan-jabatan ini diuraikan panjang lebar dalam surat-surat penggembalaan, tetapi mengingat bahwa surat-surat ini dialamatkan kepada dua hamba Tuhan yang belum begitu berpengalaman dalam pelayanan jemaat dan harus membutuhkan banyak nasihat, maka sudah sewajarnya bilamana soal-soal itu diurakan lebih dalam dalam surat-surat penggembalaan.
Ketiga, alasan-alasan dogmatis. Ada penafsir-penafsir yang berkata bahwa Paulus pasti tidak mau membuang waktu dengan menulis surat-surat yang mengatur struktur gereja. Paulus begitu menantikan kedatangan Tuhan Yesus untuk kedua kalinya. Alasan ini pun sulit diterima karena Paulus dimana-mana memikirkan masa depan jemaat dan selalu ada orang-orang Kristen dinasihatkan untuk dengan setia melakukan pekerjaan masing-masing sampai kedatangan Tuhan, biarpun kedatangan-Nya jauh atau dekat (bnd. 2 Tes. 3:6), yang dapat dipastikan adalah bahwa tidak ada segi-segi dogmatis dalam surat-surat ini yang bertentangan dengan surat-surat Paulus lainnya.
Keempat, alasan-alasan yang menyangkut gaya bahasa dan istilah-istilah yang digunakan. Tidak dapat disangkal bahwa ada istilah-istilah dalam surat penggembalaan yang tidak terdapat dalam surat-surat Paulus lainnya, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa ada jangka waktu lima belas sampai tujuh belas tahun, antara surat Galatia dan 2 Timotius. Dalam waktu yang sedemikian lama pasti ada perkembangan dalam bahasanya, sehingga surat-surat ini bukanlah surat-surat yang dogmatis atau teoritis sifatnya, tetapi pastoral. Dari lain segi juga ada banyak istilah dan kata yang merupakan khas Paulus, maka itu penulis mengambil kesimpulan bahwa alasan-alasan  yang diberikan untuk ketulenan surat-surat penggembalaan tidak mempunyai dasar.
Pendapat kedua, ada penafsir-penafsir yang mengatakan bahwa hanya fragmen-fragmen saja yang berasal dari tangan Paulus, kemudian  fragmen-fragmen itu dikumpulkan dan disusun oleh orang lain yang tidak diketahui namanya, namun teori ini tidak dapat dibuktikan sama sekali. Memang ada surat-surat palsu yang beredar pada waktu itu (bdk. 2 Tes. 2:2 ), tetapi tidak ada kejelasan mengenai fragmen-fragmen yang berasal dari Paulus. Para teolog yang menganut teori ini memberi usul yang berbeda-beda. Teori ini dianggap sebagai ciptaan otak para teolog yang tidak  mau percaya apa yang ditulis, tetapi mau mempersoalkan  segala sesuatu.
Pendapat ketiga, ada penafsir-penafsir yang berpendapat bahwa surat-surat pastoral merupakan buah pena Paulus. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, kesaksian surat-surat penggembalaan sendiri. Semua menyebut Paulus  sebagai penulis (1 Tim. 1:1, Tit. 1:1).
Kedua, Gereja mula-mula mengakui  dengan suara bulat bahwa Paulus adalah penulis surat-surat penggembalaan. Baik Polykarpus, Ignatius dan Klemens dari Roma mengakui surat-surat ini. Sama halnya dengan Kanon Muratoris.
 Ketiga, ada hal-hal yang sulit dimengerti bilamana tidak ditulis oleh Paulus, yaitu: 1 Timotis 1:5, “antara orang berdosa, Pauluslah yang paling berdosa.” Jika orang lain yang menulis dengan memakai nama Paulus, maka tidak mungkin menyinggung masalah itu. Dalam 1 Timotius 5:23, nasihat ini bersifat pribadi dan hanya dapat dimengerti bilamana Paulus yang menulis kepada teman sekerjanya yaitu Timotius. Dalam 2 Timotius. 4:13, permintaan Paulus supaya jubahnya dibawa, pernyataan ini bersifat pribadi dan hanya dapat dimengerti bilamana Paulus sendiri yang menulis.[8] Kesimpulannya ialah bahwa penulis Surat 1 Timotius adalah Rasul Paulus.

Tahun Penulisan
Untuk tahun penulisan surat 1 Timotius, memang agak sulit untuk di tentukan secara tepat. Namun ada beberapa argumentasi yang dapat memberikan indikasi tentang tahun penulisan ini yaitu, jika Paulus melayani di Asia Kecil sebelum ke Spanyol, maka 1 Timotius ditulis di Makedonia sekitar satu tahun setelah dia dibebaskan, yaitu pada tahun 63. Setelah itu surat Titus menyusul beberapa waktu kemudian, sekitar tahun 64. Sesudah itu dia ke Spanyol, dan sekembalinya dari sana Paulus ditawan di Roma. Itu berarti bahwa 2 Timotius ditulis sebelum dia mati syahid pada tahun 66. Kalau mengikuti pandangan bahwa Paulus ke Spanyol lebih dulu, maka angka-angka tahun harus digeser satu sampai dua tahun, yaitu: 1 Timotius ditulis pada tahun 65, sedangkan Titus tahun 66 dan 2 Timotius tahun 67.[9]

Tujuan Penulisan
Timotius adalah seorang pemimpin jemaat walaupun ia masih muda, sehingga rasul Paulus menulis surat 1 Timotius ini dengan tujuan, untuk mendidik Timotius supaya dapat memimpin jemaat dan melakukan tugasnya dengan baik.[10] Surat ini juga menyinggung bahaya tendensi-tendensi Yahudi dan Gnostik.[11] Selain itu nasihat tertulis guna membimbingnya untuk menata jemaat, Paulus juga tampaknya merasa Timotius memerlukan dorongan untuk teguh dan tidak malu karena Injil. [12] Menasihati Timotius sendiri mengenai kehidupan pribadi dan pelayanannya, mendorong Timotius untuk mempertahankan kemurnian Injil dan standarnya yang kudus dari pencemaran oleh guru palsu dan memberikan pengarahan kepada Timotius mengenai berbagai urusan dan persoalan gereja di Efesus.




Garis  Besar  Surat 1 Timotius
Pertama, perlunya pengajaran yang benar (1 Tim. 1:1-20). 1:1-2, tentang salam. Paulus menyurati Timotius yang ia sebuat sebagai anak yang sah dalam iman. 1:3-11, tentang peringatan yang tepat waktu. 1:12-17, tentang kesaksian pribadi. 1:18-20, tentang tugas yang serius.
Kedua, perlunya doa (1 Tim. 2:1-15). 2:1-8, tentang orang Kristen yang berdoa. 2:9-15, tentang pelayanan kaum wanita.
Ketiga, perlunya kepemimpinan (1 Tim. 3: 1-16), membicarakan tentang syarat-syarat yang diperlukan dari seorang pemimpin Kristen.
Keempat, perlunya kearifan rohani (1 Tim. 4:1-16). 4:1-6, untuk memberikan peringatan kepada orang lain, sedangkan 4:7-16, untuk melatih disiplin diri.
Kelima, perlunya petunjuk-petunjuk praktis (1 Tim. 5:1-25), tentang bagaimana menghadapi kelompok yang berbeda.
Keenam, perlunya sikap-sikap yang benar (1 Tim. 6:1-21). 6:1-2, tentang tuan dan hamba, 6:3-21 tentang berbagai petunjuk.[13]

Eksposisi 1 Timotius 3:1-7
Dalam teks surat 1 Timotius 3:1-7, penulis akan berusaha menjelaskan baik secara induktif maupun deduktif, berdasarkan kebenaran firman Tuhan tentang karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor bagi pertumbuhan iman jemaat dan implementasinya bagi para hamba Tuhan di Gereja Kristen Injili (GKI) Maranatha Argapura 1-3 Jayapura Papua.


Karakteristik Hamba Tuhan (Penilik Jemaat)
“Penilik jemaat” dalam bahasa Yunai ko,smioj (episkopos), merupakan kata benda yang berarti pengawas, penilik; terutama digunakan dengan mengacu pada fungsi pengawasan yang dilakukan dalam sebuah gereja atau jemaat, yang juga berarti, seseorang yang mempunyai kewajiban pastoral yaitu gembala, pengawas yang bertanggungjawab mengawasi pekerjaan jemaat.[14] Penilik jemaat sekaligus menjadi gembala bagi saudara-saudaranya dalam Yesus Kristus dan akan membimbing, menyokong, dan menolongnya, sebagaimana Yesus adalah gembala yang baik akan membimbingnya.[15] Menurut Perjanjian Baru, istilah “penilik jemaat”, “gembala sidang” dan “penatua” mempunyai arti yang sama. Penilik jemaat berarti “pengawas”, sedangkan “penatua” adalah terjamahan dari kata Yunani “presbutes”, yang berarti “orang yang sudah tua”, dalam 1 Timotius 4:14, bukan menunjukkan kepada suatu dedominasi, melainkan kepada “jabatan penatua” dari suatu jemaat yang ditetapkan Timotius.
Penatua dan penilik jemaat adalah dua nama untuk jabatan yang sama (Tit. 1:5, 7), adalah orang-orang yang dewasa dalam hikmat dan pengalaman rohani. Dan “gembala sidang” berarti orang yang memimpin dan memelihara kawanan domba Allah.[16] Ungkapan dalam 1 Timotius 3:1, tentang “penilik jemaat”, disampaikan oleh rasul Paulus kepada Timotius sebagai pemimpin jemaat. Kepadanya ia mengingatkan bahwa, keinginan untuk menjadi pejabat  merupakan sebuah pelayaan terutama untuk melayani Tuhan dan jemaat dan itu adalah hal yang indah, tetapi hal itu belum cukup karena pengetahuan dan keahlian saja belum dapat memberikan kewenangan kepada seseorang untuk menjadi pejabat. Dan yang sangat menentukan adalah “panggilan”, yang melalui pemilihan, peneguhan, dan pengangkatan. Calvin mengatakan bahwa jabatan gerejawai merupakan jabatan yang terhormat (1 Tes. 5:12-13).[17] Oleh karena itu seorang hamba Tuhan yang mau melayani haruslah memiliki sifat dan karakter sebagai berikut:

Tak Bercacat
“Tak bercacat” dalam bahasa Yunani avnepi,lhptoj (anepileptos), adalah kata sifat yang artinya tak bercela; tak bercacat tidak pernah tertangkap melakukan kesalahan atau terbukti tidak bersalah.[18] Tak bercacat artinya tidak ada kekurangannya, tidak ada cacatnya, lengkap dan sempurna. Secara harafiah, ungkapan ini berarti tidak ada apapun yang harus di perbaiki, yaitu seharusnya dalam kehidupannya sama sekali tidak ada yang dapat digunakan oleh iblis atau orang yang belum di selamatkan untuk mengkritik atau menyerang jemaat.[19] Hal ini berhubungan dengan perilaku yang sudah terbukti benar, yang tak bercacat dalam kehidupan pernikahan, rumah tangga, sosial, dan usaha. Seorang penilik jemaat sebaiknya jangan sampai dituntut telah melakukan kemesuman atau perbuatan yang tidak senonoh. Sebaliknya, dia harus mempunyai reputasi tidak bercela di hadapan orang yang di dalam dan di luar gereja.
Kata “tak bercacat” digunakan untuk suatu kedudukan yang tidak mungkin dilawan, suatu kehidupan yang tidak mungkin dicela, suatu seni atau teknik yang demikian sempurna sehingga tidak ditemukan suatu kesalahanpun di dalamnya.[20] Seorang yang tak bercacat memiliki moral yang baik dan reputasi kerohanian yang baik.[21] Namun perlu digarisbawahi bahwa apa yang dimaksud Paulus bukan berarti para penatua bukanlah orang berdosa, tetapi dalam perjuangan mereka dengan secara serius dan bertanggung jawab di dalam anugerah Tuhan untuk tidak hidup sembarangan, melainkan betul-betul menjaga akan karakter mereka sesuai dengan pengajaran firman Tuhan.
Oleh karena itu, dalam kepribadian seorang hamba Tuhan, khususnya para pejabat gereja harus rendah hati dan dapat mendengar pendapat orang lain, ini suatu syarat penting bagi gembala. Melihat betapa Paulus menganggap pentingnya ajaran yang murni bagi tugas pembinaan jemaat di bidang iman maupun kelakuan hidup. Oleh sebab itu tugas seorang penatua adalah disamping memerintah jemaat, mengelolah rumah-tangga Allah, ia juga mengajar, menasehati dan menjaga kemurnian ajaran di dalam jemaat, maka ia tidak boleh cacat secara moral atau etis.

Dapat Menahan Diri
“Dapat menahan diri” dalam bahasa Yunani adalah nhfa,leoj (nephaleos), merupakan kata sifat yang berasal dari kata “nepho” berarti “menjadi sadar”, baik, tidak mabuk, bebas dari pengaruh negatif (minuman keras); secara kiasan berarti berhati-hati, bebas dari pengaruh kehidupan buruk. Dan juga “dapat menahan diri” bisa juga berarti tidak minum anggur atau minuman keras, namun agaknya ungkapan ini digunakan sebagai suatu kiasan untuk menggambarkan kelakuan yang tidak melanggar batas-batas kesopanan, terutama dalam hal tingkah laku dan kerohanian.[22]Dapat menahan diri” berarti mampu mengendalikan diri. Hal ini sangat penting dapat diwujudkan oleh para hamba Tuhan. Paulus menjelaskan tentang hal ini dengan menggunakan analogi dari seorang pelari dalam suatu lomba, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari tetapi hanya seorang saja yang menjadi pemenang? karena itu berlarilah sebegitu rupa, sehingga kamu memperolehnya.”[23]
Kemudian Paulus menekankan nilai-nilai abadi dari penguasaan diri dan pengorbanan pribadi demi suatu hasil yang akan diperoleh. “Sebab itu aku tidak akan berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarang memukul tetapi aku melatih tubuhku dan menguasai seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” 1 Korintus 9:26-27. Sebagai pengatur rumah Allah, yang mempunya kerinduan memimpin orang lain atau jemaat sangat penting dan wajib menahan diri atau  menguasai dirinya.

Bijaksana
“Bijaksana” dalam bahasa Yunani sw,frwn (sophron), merupakan kata sifat, dari kata “soos”, (suara, aman) dan kata “phren” adalah (pandangan atau sikap batin tentang apa yang yang mengatur kehidupan) “pheren” akar kata dari “diafragma”, (organ dalam otot yang mengatur kehidupan fisik, mengontrol pernapasan dan detak jantung). Jadi, sw,frwn (sophron) berarti, orang yang tidak memerintahkan dirinya sendiri, melainkan diperintahkan oleh Allah, selalu berhati-hati, menjaga diri; sederhana, murni.[24] Kata “bijaksana” menurut terjamahan King James Version adalah “sober” yang artinya, ketertiban, waras, dalam indera seseorang; membatasi keinginan dan dorongan seseorang, mengendalikan diri. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “bijaksana” artinya, selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti dsb) apabila menghadapi kesulitan.[25]

Sopan
“Sopan” dalam bahasa Yunani, ko,smioj (kosmios), adalah kata sifat yang berarti tertib, berbudi luhur, layak, sederhana, tertata baik. Beradap tentang tingkahlaku, tutur kata dan pakaian. Wiersbe, mengungkapkan bahwa, “Seorang gembala sidang harus teratur dalam pikiran dan kehidupannya, juga dalam pengajaran dan pemberitaannya. Kata Yunani yang diterjemahkan menjadi “sopan” dalam ayat ini sama artinya dengan kata “pantas” dalam 1 Timotius 2:9, yang menunjuk kepada pakaian perempuan. Pusat perhatian ayat ini diletakan pada keteraturan serta keadaan yang bebas dari kekacauan pikiran. Sedangkan kata “sopan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya, hormat dan takzim, tertip menurut adat yang baik: dengan mempersilahkan tamunya duduk; kepada orang tua kita wajib berlaku; beradap tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian dan sebagainya; tahu adat, baik budi bahasanya ia berlaku amat kepada kedua orang tuanya, baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul).[26]

Cakap Mengajar
“Cakap mengajar” dalam bahasa Yunani didaktiko,j (didaktikos), merupakan kata sifat yang berarti mampu mengajar, pandai mengajar atau memiliki kemampuan dan kepandaian dalam pengajaran. Disini pandai mengajar menekankan tugas pemimpin jemaat sebagai orang yang mampu mengajarkan ajaran yang benar serta membuktikan kesalahan ajaran-ajaran sesat. Ungkapan ini digunakan lagi dalam 2 Timotius 2:24. Cara lain untuk mengungkapannya ialah “mampu mengajarkan orang percaya dengan baik”. Kata mengajar διδάσκo (didasko), mengandung arti, mengabarkan, memanggil untuk mengambil keputusan menyapa orang dengan kehendak Allah bagi mereka secara utuh.[27]
Disini penulis menguraikan pembahasan di atas bahwa seorang hamba Tuhan harus bisa mengajar sesuai dengan pengajaran Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru yang menjelaskan peran Yesus sebagai guru (Mat. 12:28; 22:16, 24, 36). Sebagai pengajar Tuhan Yesus sangat menguasai peran-Nya sebagai guru yang sangat baik (Yoh. 13:13; Kis. 7:59; 19:5, 13, 17).[28] Harianto mengatakan bahwa sebagai pengajar, harus menjadi orang yang memiliki rasa takut akan Tuhan karena teori belajar yang efektif yaitu, masuk dalam proses pembelajaran Allah dan bukan dalam teori belajar di luar Allah.[29]
Kemampuan dalam mengajarkan firman Tuhan merupakan salah satu penekanan Paulus apabila seseoran ingin menjadi penatua. Henry’s dalam komentarnya mengatakan, “ Oleh karena itu khotba seorang uskup yang digambarkan paulus, harus mampu dan bersedia untuk berkomunikasi dengan orang lain tentang pengetahuan yang Allah berikan kepadanya, orang yang cocok untuk mengajar dan siap untuk mengambil semua kesempatan harus menyampaikan hal tentang kerajaan sorga kepada orang lain.Therefore this is a preaching bishop whom Paul describes, who is both able and willing to communicate to others the knowledge which God has given him, one who is fit to teach and ready to take all oppurtnities of giving instructions, who is himself well instructed in the things of the kingdom of heaven, and is communicative of what he knows to others.[30]
Perhatian utama dari Paulus ialah orang-orang yang memegang jabatan harus menunjukkan teladan yang baik bagi orang-orang lain. Mereka harus pandai mengajar, karena peranan mereka adalah untuk meneruskan apa yang telah diajarkan kepada mereka sendiri (band. 2 Tim. 2:2).[31] Memang dalam beberapa surat-surat Rasul Paulus sepertinya pekerjaan para rasul adalah mengajar dan berkhotbah seperti yang terjadi di dalam Gereja mula-mula, tetapi apabila lebih dipertajam lagi untuk melihat surat-surat penggembalaan Paulus bahwa tugas seorang penatua dan diaken tidak hanya bersifat organisatoris dan pelayanan praktis, tetapi mereka juga punya tanggung jawab untuk mempertanggungjawabkan iman mereka di hadapan jemaat atau orang-orang yang dilayanai. 
Soal pengajajaran itu tidak terlepas pada khotbah-khotbah di depan umum, tetapi meliputi juga peneguran secara pribadi.[32] Para penatua diharapkan sanggup mempertanggung jawabkan imannya kepada setiap orang yang dijumpai. Mereka harus sungguh-sungguh berpegang pada kebenaran firman Allah, mampu dan siap mengajarkan kebenarannya kepada orang lain, dan dapat menghentikan ajaran-ajaran yang mematikan dari guru-guru palsu.[33]
Konteks pelayanan Paulus pada saat itu sangat dibutuhkan seorang pengajar karena para pemimpin gereja masih kekurangan dalam hal kuantitas. Oleh sebab itu pentingnya seorang penatua mampu mengajarkan firman Tuhan baik itu kepada orang Kristen maupun yang non-Kristen. Walaupun seolah-olah Paulus tidak mengharuskan seseorang bisa mengajar (bnd. 1 Tim. 5: 17), tetapi paling tidak bahwa seorang penatua mampu mengkomunikasin Injil yang dia dapatkan untuk diteruskan kepada orang lain.

Bukan Peminum
“Bukan peminum” dalam bahasa Yunani mh, mh pa,roinoj (me paroinos). Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan memberikan penjelasan bahwa,
“frasa ini (Yun. me paroinon, dari me berarti “tidak” dan paranois, kata majemuk yang berarti “pada, dengan,dekat anggur”) yang diterjemahkan secara harfiah berarti “tidak dekat atau dengan anggur”, “tidak bersama dengan anggur”. Di sini Alkitab menuntut bahwa seorang penilik jemaat tidak boleh minum anggur yang memabukkan, tergoda atau terbujuk olehnya, atau makan minum bersama dengan pemabuk-pemabuk.[34] pa,roinoj (paroinos) yang merupakan kata sifat, yang artinya mabuk, suka bertengkar. Jadi mh, pa,roinoj (me paroinos) berarti, orang yang bukan penggemar minum minuman keras.
“Peminum” bisa diungkapkan menjadi pemabuk (BIS), mabuk merupakan salah satu kebiasaan buruk masyarakat waktu itu. Dalam dunia Perjanjian Baru. Oleh karena itu seorang penilik jemaat harus memberi contoh yang baik dalam segala hal kepada jemaat, tidak boleh seorang peminum.[35] Paulus menekankan pentingnya reputasi penatua di Efesus di hadapan orang-orang dunia. Yang menjadi penekanan Paulus bukan saja agar para penatua itu memiliki nilai-nilai Kristiani. Lebih dari itu, ia ingin agar hidup para pemimpin Kristen di Efesus merefleksikan idealisme tertinggi dari moralisme Yunani pada saat itu. Yang Paulus kehendaki adalah agar kesaksian hidup mereka dapat menjadi standar moral dan teladan bagi orang-orang dunia.[36] Oleh sebab itu seorang penatua tidak boleh seorang pemabuk minuman keras.


Bukan Pemarah
“Bukan pemarah” dalam bahasa Yunani, mh plh,kthj (me plektes), yang berarti bukan pemarah, kasar atau suka bertengkar. Kata plh,kthj (plektes) adalah kata benda yang menggambarkan sifat orang yang cepat marah dan yang tidak ragu-ragu menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengganggunya atau orang kontroversial, petarung. Jadi mh, plh,kthj ( me plektes) artinya orang yang bukan pemarah melainkan peramah, sabar atau cermat dan tidak suka bertengkar.[37] Karakter seorang penatua tidak boleh suka bertengkar. Seperti yang diungkapkan oleh Blaiklock bahwa, “Orang yang bisa meninju atau memukul hambanya tidak layak menjadi pekerja Kristen. Ia bukan penyombong yang suka berkelahi, ia bukanlah jagoan yang angkuh atau cepat membalas dendam.”[38] Jadi seorang penatua harus bisa mengendalikan diri pada saat berkonflik dan senantiasa memiliki hati yang pendamai bukan pemarah.

Tidak Sombong
“Tidak sombong” mh, tufo,w ( me tuphoo), menggunakan kata “tuphoo” berasal dari kata kerja  tufo,w (tupho), yang artinya ”pudar nyala apinya” (Mat. 10:20), harfiah “berasap”. Sombong ibarat asap yang membumbung ke atas atau tinggi hati.[39] Kata tuphooditerjemahkan di bagian lain dalam Alkitab LAI sebagai berlagak tahu (1 Tim. 6:4), dan tidak berpikir panjang (2 Tim. 3:4).[40] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia “sombong” artinya, menghargai diri secara berlebihan, congkak. Maka kata “tidak sombong” artinya renda hati, sederhana, lemah-lembut atau bersahaja.[41] Disini penulis menyimpulkan bahwa seorang hamba Tuhan seharusnya tidak angkuh, congkak, melainkan rendah hati dan selalu bersahaja dan bersikap lemah-lembut terhadap jemaat serta masyarakat umum dalam kehidupan sosial.

Mempunyai Nama Baik
“Mempunyai nama baik” dalam bahasa Yunani marturi,a (marturia) merupakan kata benda yang berarti kesaksian, bukti nama baik, reputasi, tidak jahat tentang kelakukan budipekerti dan keturunan. Syarat terakhir bagi orang yang ingin menduduki jabatan dalam jemaat adalah “hendaklah ia juga mempunyai nama baik diluar jemaat”. Yang dimaksud dengan diluar jemaat kemungkinan besar adalah dikalangan orang-orang bukan Kristen. BIMK, menerjemahkannya menjadi “ia haruslah orang yang mempunyai nama baik dalam masyarakat.” Kelakuan seorang penilik jemaat haruslah sedemikian baiknya, supaya orang-orang bukan Kristen pun terkesan oleh kelakuannya yang tak bercela dalam bahasa tertentu bisa menyusun ulang menjadi “dia haruslah orang yang dihargai atau disukai oleh orang-orang yang tidak percaya pada Yesus.”
Jika orang itu tidak memenuhi syarat ini ada kemungkinan digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis. Ia akan digugat oleh orang lain diluar jemaat yang mungkin akan mengatakan hal-hal yang jelek tentang para pemimpin jemaat, misalnya menuduhnya sebagai orang munafik. Digugat orang, tidak berarti bahwa orang itu di bawa ke pengadilan tetapi orang lain “mengatakan hal yang buruk tetang dia”. Bisa juga digunakan kiasan “supaya ia tidak kehilangan integritas di hadapan orang lain.[42] Jadi penulis menyimpulkan bahwa marturi,a (marturia) artinya, bukti yang memberikan kesaksian terhadap kelakuan seseorang.

Sumber Pembentukan Karakter Hamba Tuhan
Berbicara mengenai karakteristik, merupakan pokok penting yang harus dimiliki oleh seorang hamba Tuhan atau orang percaya dalam sebuah wadah pelayanan atau gereja. Adapun karakter tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan memiliki sumber pembentukan yaitu berasal dari Roh Kudus dan Firman Tuhan atau Alkitab.

Roh Kudus
Roh Kudus merupakan penolong yang dijanjikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam 1 Korintus 1:26 adalah bukti tentang berubahnya orang-orang yang telah menerima Roh Kudus di dalam hati mereka karena percaya kepada Yesus, oleh karena itu Roh kudus merupakan sumber pembentukan karakter orang percaya. Sebagai orang percaya, Roh kudus mempunyai peran penting dalam menumbuhkan kerohanian di dalam setiap aspek kehidupan. Tanpa Roh Kudus, hidup orang percaya tidak mempunyai arti sama sekali.  Karena Roh Kuduslah orang percaya dapat mengenal Allah Bapa dan Yesus Kristus. Orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang hidupnya telah diubah oleh pengaruh Roh Kudus dan firman, sehingga dia menjadi orang yang suka akan kekudusan. Karena dipenuhi Roh Kudus, dengan sendirinya orang tersebut tidak menyukai hal yang palsu, yang tidak benar, yang tidak suci, dan yang menyeleweng, karena Roh Kudus memenuhi dirinya, maka tidak ada sesuatu yang tidak kudus boleh berada di dalam dirinya.[43]
Dipenuhi Roh Kudus sebenarnya adalah suatu kondisi di mana oknum Roh Kudus mengambil peranan berdaulat untuk menguasai seluruh hidup manusia. Roh Kudus adalah oknum ketiga dalam Allah Tritunggal. Ia adalah Pemberi Hidup, yang melepaskan manusia dari kuasa kematian dan kuasa dosa (Rom. 8:2), mempersiapkan orang untuk masuk kehidupan baru, dengan cara menginsyafkan orang itu (Yoh.16:8), Roh Kudus memimpin kepada kebenaran (Yoh. 16:13), Roh Kudus mengajar dan mengingatkan (Yoh. 14:26, Luk. 12:12), Roh Kudus membantu pertumbuhan rohani orang percaya (Ef. 3:16-19). Orang yang menyebut diri mengabarkan kebenaran, tapi tidak menitikberatkan Roh Kudus dan pimpinannya dan orang yang mengaku diri dipenuhi Roh Kudus, tetapi berita yang disampaikan tidak sesuai dengan firman, semuanya sia-sia.
Orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang menitikberatkan kehendak dan pimpinan Roh Kudus atas dirinya serta menyampaikan berita yang sesuai dengan Alkitab. Hal ini dimaksudkan ialah agar gereja dapat dipimpin dan diatur, dengan mempergunakan segala karunia dan segala kekuatan bagi pembangunan dan pertumbuhan gereja, baik secara jasmani maupun rohani.[44]
Orang yang dipenuhi Roh kudus adalah orang yang berani, yang tidak takut menjalankan kehendak Allah.[45]
Sebelum seseorang dipenuhi Roh Kudus, dia merasa terkejut dan takut ketika melihat penganiaya-penganiaya mendekati dirinya. Seperti murid-murid Yesus Kristus yang mengunci semua pintu karena takut. Tetapi setelah mereka dipenuhi Roh Kudus, mereka justru membongkar pintu, membuang kunci, dan pergi ke mana saja, tanpa merisaukan apakah masih dapat pulang atau tidak. Pemimpin-pemimpin yang saleh, tidak hanya menghadapi perlawanan dari luar golongan orang yang setia, tetapi juga dari dalam. Yang paling menyakitkan bagi para pemimpin Kristen atau para hamba Tuhan ialah orang-orang yang menyebut dirinya Kristen.
Roh Kudus menolong orang yang percaya supaya ia dengan penuh kuasa dapat meneruskan kepada orang-orang lain kebenaran yang diajarkan oleh Roh Kudus kepadanya (1 Kor. 2:1-5; 1 Tes. 1:5; Kis. 1:8).[46] Bahwa setiap orang percaya kepada Yesus akan diberikan kuasa oleh Roh Kudus untuk dapat bersaksi kepada orang lain tentang Yesus, karena dalam pemberitaan Injil ataupun saat bersaksi sebenarnya orang tersebut sedang berperang dengan kuasa roh-roh yang lain. Perlu adanya oknum atau pribadi yang mampu untuk mengalahkan kuasa-kuasa itu, dan Roh Kuduslah yang bisa untuk mematahkan kuasa roh-roh yang jahat.  Semua orang selalu memerlukan pertolongan Roh Kudus. 
Jika Roh Kudus memenuhi seseorang, maka orang itu akan menyatakan hidup dengan etika yang baru, yaitu etika dari Roh Kudus. Hal ini tidak bisa dipalsukan. Bukan saja demikian, orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang penuh dengan cinta kasih Allah Alkitab mengatakan, dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka (Matius 7:20), yaitu menghasilkan buah-buah Roh (Gal. 5:22-23) ini adalah bukti atau fakta yang tidak bisa dipalsukan[47]
Roh Kudus tidak akan memperbolehkan seseorang hidup bagi dirinya sendiri, karena kasih Kristus akan mendorongnya, sehingga dia mau hidup bagi Dia yang sudah mati dan bangkit baginya. Paulus di dalam Filipi 2:13 berkata, “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.”  Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab, yang merupakan sikap yang paling penting dalam karakter seorang pemimpin atau pejabat gereja. Winston berkata, “Harga dari sebuah kebesaran adalah tanggung jawab (the price of greatness is responsibility)”. Dalam hal itu, pemimpin harus bertanggung jawab kepada diri sendiri, pada pekerjaannya, pada harta yang diterimanya, dan kepada orang yang dipimpinnya, dengan demikian ia bisa menularkan prinsip itu kepada orang lain atau jemaat.[48]


Alkitab

Alkitab adalah firman Allah yang harus dijunjung tinggu oleh setiap orang percaya terutama seorang hamba Tuhan. Ketika Alkitab sudah berbicara, dia akan berhenti. Di antara pengertian yang berbeda-beda, di antara ajaran yang simpang siur, dan doktrin yang berbeda-beda tekanannya, biarlah Alkitab yang memberikan pengertian yang seimbang dan stabil. Jangan menambahkan isi Alkitab dengan konsili-konsili, atau doktrin-doktrin, atau tradisi-tradisi yang ada di dalam buku manusia. Seorang hamba Tuhan harus menjujung tinggi Alkitab sebagai Firman Allah yang tertulis, dengan cara menafsirkan Alkitab tersebut dengan prinsip-prinsip yang sehat. Langkah yang paling sederhana ialah menerapkan metode penafsiran yang kembali kepada maksud penulis yang orisinal, yaitu melihat latar belakang Kultural, historis, gramatika, dan sebagainya. Mengetahui maksud penulis yang mula-mula pada apa yang dikatakan Alkitab, sama dengan menemukan maksud yang normative dari Alkitab.[49]
Alkitab adalah Firman Allah, merupakan perkataan Allah, di mana Allah berbicara kepada manusia secara tertulis. Alkitab adalah Firman Allah yang menjadi otoritas dan satu-satunya landasan praktik kehidupan percaya. Oleh karena itu, selain berdoa, orang Kristen juga perlu membaca, mempelajari dan melakukan semua yang tertulis dalam Alkitab (2 Tim. 3:16). Mengapa orang Kristen harus membaca Alkitab? Karena Alkitab adalah hembusan Allah yang bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, mendidik orang dalam kebenaran.
Mengajar. Alkitab merupakan sarana utama untuk mempelajari  pengenalan akan Allah. Tanpa suatu pemahaman mengenai firman Allah tidak mungkin seorang Kristen atau hamba Tuhan mengetahui bagaimana ia harus dengan suatu sikap menyenangkan Tuhan. Menyatakan kesalahan. Firman Tuhan adalah cermin bagi orang percaya, sehingga dengan firman Tuhan tersebut setiap orang percaya atau hamba Tuhan dapat melihat dan mengetahui posisi dirinya yang sebenarnya. Memperbaiki Kelakuan, sebagai sarana yang digunakan untuk meluruskan kembali orang Kristen pada kebenaran.
Alkitab pertama-tama menegur pembaca atas dosa-dosa, lalu Alkitab menunjukkan bagaimana cara menghadapi dosa supaya ia dapat kembali berjalan dengan Allah. Mendidik dalam kebenaran. Dalam hal ini bermanfaat untuk melatih setiap orang percaya dalam jalur kebenaran. Sarana yang digunakan orang percaya untuk dibentuk di jalan yang benar dalam hidupnya. Selain itu, Alkitab juga adalah sumber sukacita dan penghiburan, senjata yang digunakan dalam peperangan rohani, sumber pengetahuan yang benar tentang Allah yang akan membuat manusia bertumbuh dewasa baik secara rohani maupun jasmani.

Lingkungan dan Budaya
Lingkungan amat penting bagi kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki daya dukung, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Arti penting lingkungan bagi manusia adalah sebagai berikut: Lingkungan merupakan tempat hidup manusia, berada, tumbuh, dan berkembang di atas bumi sebagai lingkungan, lingkungan memberi sumber-sumber penghidupan manusia, lingkungan mempengaruhi sifat, karakter, dan perilaku manusia yang mendiaminya, lingkungan memberi tantangan bagi kemajuan peradaban manusia dan manusia memperbaiki, mengubah, bahkan menciptakan lingkungan untuk kebutuhan dan kebahagiaan hidup.[50]
Lingkungan memberikan makna atau arti penting bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, namun ada banyak ragam problem sosial yang terjadi dan dihadapi masyarakat, sesuai dengnan faktor-faktor penyebabnya seperti, faktor ekonomi, faktor biologis, faktor psikologis, faktor kebudayaan dan pendidikan, sehingga mengakibatkan interaksi dalam lingkungan sosial memudar, lingkungan dengan kesejahteraan tidak terjamin.[51] Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adatistiadat dan sebagainya, oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya.[52]
Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi.[53]
Penulis mengambil kesimpulan bahwa, pentingnya peranan komunikasi, lingkungan dan budaya maupun sebaliknya, maka perlu sebagai hamba Tuhan mempelajari situasi dan budaya dimana jemaat atau tempat dia melayani, serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tersebut, sebagai salah satu cara dalam membentuk karakter yang posoitif yang dapat membangun pertumbuhan, baik dalam hal sosial, masyarakat bahkan jemaat sekalipun. Sehingga di dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, hamba Tuhan tersebut dapat mencerminkan karakteristik Kristus yang sebenarnya.





[1]J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab: Roma Sampai dengan Wahyu, peny., G.M.A Nainggolan Dan H.A. Oppusunggu, pen., Sastro Soedirdjo, 4 Jil. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012), 4:157.

[2]Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 242-43.
[3] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, pen., Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 243.

[4]Adina Chapman, Pengantar Perjanjian Baru (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004), 114.
[5]Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2013), 414-15.
[6]J.Wesley Brill, Tafsiran surat Timotius dan Titus (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1996), 9-1.

[7]George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, pen., Urbanus Selan dan Henry Lantang, 2 Jil. (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999), 2: 326.
[8]Ola Tulluan,  Introduksi Perjanjian Baru (Malang: YPPII, 1999), 218-21.
[9]M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 61-2.

[10]E. Chauke dan B. Beckelhymer, Penyelidikan Perjanjian Baru, pen., Norman Hasse (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999), 24.

[11]Klaus Koch, Kitab yang Agung, pen., S.M. Siahaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 130.

[12]Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, pen., Hendry Ongkowidjojo, 3 Jil. (Surabaya: Momentum, 2010), 1: 228.
[13]Jhon Balchin dkk, Inti Sari Alkitab,pen, Retnawaty Rimba (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,1994), 96.
[15]M. Bons-Strom, Apakah Penggembalaan Itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 23.

[16]Warren W. Wiersbe, Setia di dalam Kristus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), 43-4.
[17]J.L.Ch. Abineno, Penatua:  Jabatan dan Pekerjaannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 13.

[18]Barcklay M. Newman JR, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru, pen., Jhon Miller (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 12.

[19]Ibid., 44.
[20]William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 119.

[22]Daniel C. Arichea dan Howard A. Hatton, Surat-Surat Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004), 64.

[23]John Stott, Sepanjang Tahun Menelusuri Alkitab, pen., Lilian Tedjasudhana Dan Yu Un Oppusunggu (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2010), 383.
[24]B.F. Drewes, Dkk, Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru, 2 Jil. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2: 216.

[25]Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 190.

[26]Ibid.,  1330.
[27]John M. Nainggolan, Guru Agama Kristen Sebagai Panggilan dan Profesi (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 80.

[28]Dien Sumiyatininggsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), 46.

[29]Harianto Gp, Pendidikan Agama Kristen dalam Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini (Yogyakarta: Andi Offset, 2012), 213.
[30]Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentar (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1991), 656.

[31]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 92.

[32]John Calvin, Institutio (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 244.
[33]Alexander Strauch, Kepenatuaan atau Kependetaan (Yogyakarta: ANDI, 1999) 107.
[34]Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Malang: Gandum Mas, 1994), 2022.
[35]R. Budiman, Tafsiran Alkitab Surat-surat Penggembalaan 1, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 27.

[36]Sendjaya, Kepemimpinan Kristen (Yogyakarta: Kairos Books, 2004) 55.

[37]A.M. Stibbs, Tafsiran Alkitab Masa Kini, pen., A. Lumbatobing, 3 Jil. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 3: 693.
[38]E.M. Blaiklock, Surat-surat Penggembalaan (Malang: Gandum Mas, 1981), 33.

[39]Daniel C. Arichea dan Hoard A. Hatton, Surat-Surat Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004), 68.

[41]Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1328.
[42]Daniel C. Arichea dan Howard A. Hatton, Surat-Surat Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004), 68.
[43]Billy Graham, Roh Kudus, pen., Susi Wiridinata (Bandung: Yayasan Literatur Babtis, 1986), 44-1.
[44]Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 394.

[45]Eddy Leo Dan Budi Setiawan, Saya Pengikut Kristus Pemenang (Jakarta: Metanoia Publising, 2011), 57.

[46]R. Soedarma, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 212.
[47]Jhon M. Drescher, Melakukan Buah Roh (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2008), 12.

[48]Daniel Ronda, Leadership Wisdom (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2011), 42-3.
[49]Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologia Kristen 1 (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 51.
[50]Edmund Leach, Culture and Communication:  The Logic by Which Symbols are Connected (Cambridge University Press, 1976), 29.

[51]Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 32.

[52]Iris Varner dan Linda Beamer, Intercultural Communication in The Global Workplace (Mcgraw: Hill International, 2005), 107.
[53]Deddy Mulyana, Komunikasi antar Budaya: Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, pen.,Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), 94.

 _________________________________________________________________________________

BAB IV
IMPLEMENTASINYA BAGI PARA HAMBA TUHAN

Dalam  era modern saat ini, secara langsung atau tidak langsung telah terjadi perubahan besar yang luas bagi kehidupan manusia di sekitarnya. Dampaknya adalah muncul berbagai persoalan yang dialami langsung dalam masyarakat maupun di dalam suatu organisasi baik menyangkut sumber daya manusia, bidang organisasi, gereja, maupun masalah-masalah lainnya di masyarakat yang memberikan perubahan terhadap kehidupan orang-orang yang ada di dalamnya. Masalah-masalah tersebut jika tidak diatasi atau diselesaikan sesegera mungkin, maka akan dapat menimbulkan berbagai gangguan dalam organisasi maupun kegiatan masyarakat lainnya.
Peta yang mungkin menunjang perilaku profesional pelayan adalah kode etik. Meskipun kode etik demikian tidak dengan sendirinya membuat orang beretika, ia bisa memberi tuntunan. Kode etik mengembangkan tanggung jawab pribadi dengan cara mendorong para pelayan mempertimbangkan etika dalam pelayanan. Kredibilitas para hamba Tuhan bergantung pada kemampuan untuk mengontrol prilaku etis mereka sendiri. Reasons, dalam kajian yang menyeluruh  tentang fungsi kode dalam etika pelayanan gereja, mengatakan bahwa, “Pelayan bisa membedakan kesukaran-kesukaran etis yang khas profesinya dan memanfaatkannya secara Alkitabia adalah hal yang sangat penting.”[1]
Pada masa kini keruntuhan moralitas dan munculnya penyesat-penyesat dari para hamba Tuhan tersebut lebih disebabkan oleh minimnya besic teologi dan rapuhnya dasar bangunan rohaninya, karena hamba Tuhan tersebut  tidak berpendidikan teologi yang resmi, akibatnya karakter dari gembala atau para hamba Tuhan tersebut terkadang tidak mencerminkan gambaran yang baik. Sebaliknya ada yang sudah memiliki dasar rohani yang kokoh, jelas dan benar namun dalam pelaksanaannya kehilangan keseimbangan sehingga mulai menyesatkan jemaat. Seperti apa yang dikatakan oleh Sumarto, “Bahwa peran pendidikan teologi sangat besar yang dapat  membentuk karakter para hamba Tuhan tanpa mengesampingkan peran orang tua dalam mentranformasikan karakter dasar dan perkembangan kepribadian. Penulis mengamati banyak para hamba Tuhan gagal di tengah jalan bukan karena kurang memenuhi abilitas tuntutan akedemis, tatapi karena karakternya yang lama kumat lagi.[2]
Penggembalaan jemaat merupakan pelayanan dalam gereja sesuai pembangunan tubuh Kristus demi terwujudnya gereja yang dewasa dan sempurna. Karena itu diperlukan pemantapan visi dan misi, keterampilan serta memiliki karakteristik yang benar dalam menjalankan pelayanan di berbagai bidang pelayanan, termasuk kepemimpinan dalam gereja. Sopater mengatakan bahwa, “Pemimpin gereja yang bertumbuh bukan saja memahami teologia, tetapi juga perlu memahami faktor kepemimpinan.”[3] Dalam mengatasi persoalan di atas, diperlukan adanya peran seorang hamba Tuhan dalam memimpin, yang sesuai dengan kondisi dan keinginan sidang jemaat, seperti yang dikatakan oleh Thoha bahwa, “Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengadaptasikan gaya agar sesuai dengan situasi tersebut.”[4]
Petrus dan Paulus keduanya telah meninggalkan model atau teladan kepemimpinan gembala pada orang percaya, yang seharusnya menjadi model bagi para hamba Tuhan zaman ini. Paulus dalam suratnya (Kis. 20:28) mengatakan, ”Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus untuk menilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah Anak-Nya sendiri”.  Dan surat Petrus (1 Pet. 5:2, 3, 4) mengatakan, ”Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu, maka kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. Dengan melihat uraian ini, maka seorang hamba Tuhan harsu menjadi teladan bagi jemaatnya, yang mana para hamba Tuhan atau pejabat gereja pun harus memiliki kualitas rohani.

Hamba Tuhan Harus Memiliki Kualitas Rohani

Ada tiga komponen yang digariskan dalam Matius 16:24 sebagai syarat kelayakan sebagai pengikut Kristus, yaitu “menyangkal diri,” “memikul salib” dan “mengikut Dia.” Jadi orang yang merasa dirinya terpanggil untuk menjadi seorang hamba Tuhan, hendaknya ia harus yakin bahwa pada saat ia mulai melakukan pelayanan itu, ia bukan hanya dilengkapi secara pendidikan saja, melainkan diperlengkapi dengan perlengkapan rohani yang berasal dari Allah.
Salah satu sifat yang terpenting yang diberikan Allah kepada para hamba Tuhan yang terpanggil ialah kesanggupan untuk mengasihi semua orang, termasuk bagi orang-orang yang tidak membalas kasihnya itu.[5] Seorang hamba Tuhan pun harus yakin akan keselamatanya sendiri. Ia harus yakin bahwa ia telah diselamatkan, karena seorang hamba Tuhan tidak akan bekerja bagi Allah jika ia tidak yakin akan hal ini.[6] Hamba Tuhan dipanggil bukan hanya untuk melayani jabatan jemaat atau gereja, tetapi melayani Tuhan. Semua pelayanan harus berdasarkan anugerah Tuhan, namun kenyataannya banyak orang sibuk melayani gereja, tetapi belum tentu mereka benar-benar melayani Tuhan dan yang harus di utamakan dalam pelayanan adalah bagaimana hubungan hamba kepada Tuhan. Sehingga di dalam pelayanan, seorang hamba tidak sia-sia, tetapi dapat menghasilkan buah yang banyak, dan dapat membawa berkat kepada banyak orang.[7]
Karakter moral dan rohani yang teruji dan terbukti benar dari hamba Tuhan yang menjadi pemimpin dalam gereja merupakan hal yang terpenting dan terutama, jika dibandingkan dengan kemampuan berkhotbah, kemampuan administrasi atau prestasi akademis. Penekanannya ialah pada kelakuan yang bertekun dalam kebijaksanaan ilahi, dan kekudusan pribadi. Sejarah rohani, setiap orang yang menginginkan jabatan hamba Tuhan dalam gereja harus diuji terlebih dahulu. Demikianlah Roh Kudus telah menetapkan standar yang tinggi bahwa calon itu harus orang percaya yang dengan tabah setia kepada Yesus Kristus dan prinsip-prinsip kebenaran-Nya dan dengan demikian dapat menjadi teladan kesetiaan, kebenaran, kejujuran dan kekudusan.
Seorang hamba Tuhan harus menjadi serupa dengan Kristus sesuai dengan kehendak Allah. Dalam Roma 8:29, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung diantara banyak saudara.” Dalam proses ini terjadi pembentukan karakter, dan pembentukan karakter itu  hanya bisa terjadi dengan senantiasa mengaplikasikan atau mempraktekkan firman Tuhan dengan disiplin yang tinggi. Bukti dari karakteristik yang seharusnya dihasilkan oleh seorang hamba Tuhan adalah seperti yang tertuang dalam Galatia 5:22-23 sebagai buah Roh yaitu  kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, penguasaan diri. Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Fil. 2:1-11) rasul Paulus mengharapkan karakter ini bertumbuh dalam jemaat tersebut, secara khusus pada ayat 5 dikatakan: “Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus.”
Hamba Tuhan yang memiliki kualitas rohani, yang penulis maksudkan di sini bukan berarti bahwa, kemampuan melayani adalah segala-galanya bagi seorang hamba Tuhan. Rasul Paulus dalam hal ini menyadari bahwa kemampuan pelayanan ini mendahului akan panggilan mereka sebagai pelayan melalui pemilihan atau penetapan dari para gembala atau jemaat. Kualifikasi pelayanan yang dimaksud adalah:
Pertama, mampu mengajar (1 Tim. 3: 2). Kemampuan dalam mengajarkan firman Tuhan merupakan salah satu penekanan Paulus apabila seseorang ingin menjadi pelayan jemaat. Henry’s dalam komentarnya mengatakan, “Oleh karena itu khotba seorang uskup yang digambarkan paulus, harus mampu dan bersedia untuk berkomunikasi dengan orang lain tentang pengetahuan yang Allah berikan kepadanya, orang yang cocok untuk mengajar dan siap untuk mengambil semua kesempatan harus menyampaikan hal tentang kerajaan sorga kepada orang lain.” (Therefore this is a preaching bishop whom Paul describes, who is both able and willing to communicate to others the knowledge which God has given him, one who is fit to teach and ready to take all oppurtnities of giving instructions, who is himself well instructed in the things of the kingdom of heaven, and is communicative of what he knows to others).[8]
Konteks pelayanan Paulus pada saat itu sangat dibutuhkan seorang pengajar karena para pemimpin gereja masih kekurangan dalam hal kuantitas. Oleh sebab itu pentingnya seorang penatua mampuh mengajarkan firman Tuhan baik itu kepada orang Kristen maupun yang non-Kristen. Walaupun seolah-olah Paulus tidak mengharuskan seseorang bisa mengajar (bnd. 1 Tim 5: 17), tetapi paling tidak bahwa seorang penatua mampu mengkomunikasin Injil yang dia dapatkan untuk diteruskan kepada orang lain. Oleh karena itu seorang hamba Tuhan, harus sanggup atau mampu memberikan pengajarn yang benar kepada jemaat demi pertumbuhan jasmani dan rohani kearah yang lebih dewasa.
Kedua, berpegang kepada kebenaran (1 Tim. 3:9; Tit. 1:9). Seorang pejabat gereja haruslah sanggup untuk berdiri dan berpegang kepada kebenaran baik itu dalam hal bersikap maupun berargumentasi dengan jemaat. Jikalau para hamba Tuhan tidak memiliki dasar atau teologi yang kokoh, bisa saja jemaat akan kebingungan dan berbalik kepada pemahaman mereka yang dahulu. Seorang hamba Tuhan harus sanggup berpegang kepada kebenaran, tidak mudah diombang-ambingkan oleh bidat-bidat atau pengajaran yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Paulus dan rasul-rasul yang lain.
Ketiga, sebaiknya bukan petobat baru (1 Tim. 3:7). Seorang hamba Tuhan bukanlah seorang pemula, bukan orang baru yang masih muda, atau seseorang yang baru saja memiliki iman. Ia juga bukan baru dalam pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan tidak berpengalaman dalam hal firman Tuhan.[9] Hal ini sangat erat sekali dengan situasi jemaat pada saat itu. Apabila petobat baru yang akan menjadi penatua mungkin saja mereka masih labil dan belum terlalu paham dalam hal pengajaran firman.
Oleh sebab itu sedapat mungkin mereka yang menjadi pelayan gereja bukanlah petobat baru, supaya pelayanan lebih maksimal. Tetapi apabila di zaman sekarang tentunya mengalami dinamika yang mungkin saja kualifikasi ini perlu pengimplementasian yang bijaksana dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, karakternya secara moral dan rohani harus mencerminkan ajaran Kristus dalam Matius 25:21, “Bahwa menjadi setia dalam perkara kecil akan membawa kepada posisi tanggung jawab dalam perkara yang besar.”
Hamba Tuhan Harus Memiliki Reputasi yang Baik

Syarat-syarat yang diajukan Paulus, menginspirasi setiap orang percaya terutama bagi para pejabat gereja, bahwa sebagai pelayan jemaat dituntut agar benar-benar memiliki kepribadian yang baik dan kecakapan untuk melaksanakan tugas yang sangat mulia dan berharga itu. Lebih dari itu seorang pelayan juga dituntut memiliki reputasi yang baik di tengah-tengah masyarakat bahkan jemaat. Jika di perhatikan paling sedikit ada empat belas syarat yang dituntut dari seorang pelayan yaitu, tidak bercacat atau bercela, memiliki satu istri atau suami, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya, bukan baru bertobat dan mempunyai nama baik di luar jemaat.[10]
Rasul Paulus mengajukan syarat-syarat di atas bukan sekadar untuk menjadi wacana apalagi untuk menghakimi orang lain. Sebab itu pertanyaan yang harus diajukan apa dan bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh orang percaya atau hamba Tuhan untuk mencapai kualitas yang diharapkan itu. Disini setiap orang para pejabat gereja disadarkan minimal ada tiga hal yaitu:
Pertama, kesungguhan (intensitas) menjadi pelayan. Hanya dengan kesungguhanlah seorang hamba Tuhan dapat terus membangun dan mengembangkan kepribadian dan kecakapan sebagai seorang pelayan. Kesungguhan itu terkait erat dengan komitmen (janji, tekad). Komitmen itu sendiri sama dengan hutang yang harus dibayar, kewajiban yang harus dilaksanakan dan janji yang harus ditepati. 
Kedua, usaha atau treatment. Tidak ada seorangpun yang dapat menjadi pelayan yang baik dan cakap tanpa upaya atau treatment. Kepribadian dan kecakapan bukan sesuatu yang otomatis atau given (diberikan dalam bentuk jadi), namun harus dibentuk dan dilatih. Disini para hamba Tuhan disadarkan bahwa harus senantiasa belajar atau berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi pelayan. Tidak ada pelayan yang boleh merasa diri sudah mapan dan sempurna sehingga tidak perlu lagi berubah dan dibaharui. Tidak ada kata tamat atau final untuk belajar.
 Ketiga,  kerjasama. Tuhan memanggil untuk melayani, bukanlah seorang diri melainkan bersama banyak orang. Sebab itu hamba Tuhan diajak memahami pelayanan sebagai panggilan bersama. Itu artinya dia harus bekerjasama dan bersinergi agar dapat menghasilkan pelayanan yang terbaik, dan  juga harus membangun organisasi yang benar-benar efisien dan efektif mewujudkan pelayanan itu.[11] Orang bijak mengatakan yang paling mudah adalah mengubah diri sendiri, selanjutnya mengubah lingkungan. Namun yang paling sulit adalah mengubah orang lain, apalagi dalam jemaat dimana banyak sanksi tidak dapat diberikan secara tegas dan keras. Namun sebagai pelayan harus dapat mengubah orang lain melalui keteladanan dan kharisma atau wibawanya. Disinilah pentingnya empat belas persyaratan yang diajukan Paulus di atas. Seperti halnya kepada Timotius sendiri, Rasul Paulus meminta dia agar menjadi teladan minimal dalam lima hal yaitu, perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. Sebab tanpa keteladanan itu seorang pelayan atau hamba Tuhan tidak akan dapat melayani apalagi mempengaruhi orang lain menjadi baik.
Menjadi seorang hamba Tuhan berarti menjadi pemimpin rohani bagi jemaat, dengan demikian hamba Tuhan haruslah orang yang terhormat (1 Tim. 3:8). Sebagaimana Paulus memberikan penekanan kepada kualifikasi karakter kepada seorang penatua, hal ini ditujukan juga kepada seorang diaken. Oleh karena itu sorang pejabat gereja harulah orang yang terhormat. Kata terhormat di sini tidaklah menunjukkan bahwa diaken harus gila hormat, tetapi hendaknya memiliki karakter moral dan spiritual yang mendapat penghargaan dan pengakuan dari orang lain. Mereka tidak mudah dicela karena memiliki karakter yang dapat dipertanggungjawabkan.Kata “terhormat” bisa juga diartikan “terkenal baik” (bnd. Kis. 6:3). Seorang hamba Tuhan juga seharusnya tidak bercabang lidah (1 Tim. 3:8). Seorang pelayan gereja harus mampu mengendalikan perkataannya dan tidak sembarangan berbicara. Ia bukan seorang yang suka bergunjing dari rumah ke rumah, bukan seorang yang suka menyebarkan gosip. Ia bukan seorang yang suka mengatakan sesuatu kepada seorang anggota jemaat, kemudian mengatakan sesuatu yang lain kepada anggota jemaat yang lain.[12]

Hamba Tuhan Harus Memiliki Tanggung Jawab

Seringkali di dalam Alkitab, kehidupan orang Kristen dan kesaksian dihubungkan dengan sebuah perjuangan. Paulus menulis kepada Timotius,”Tugas ini kuberikan kepadamu, Timotius anakku, sesuai dengan apa yang telah dinubuatkan tentang dirimu, supaya dikuatkan oleh nubuat itu engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni” (1 Tim. 1:18). Dalam Efesus 6:17 menjelaskan persenjataan lengkap dari prajurit Kristen dengan setiap detailnya. Dengan terang Paulus berdasarkan pengalaman mewaspadai serangan gencar dari musuh Allah. Dia sendiri telah bertarung sebagai petarung Allah yang baik (2 Tim. 4:7).
Ketika Yesus menghadapi serangan yang sengit terhadap misi penyelamatan-Nya, Dia memanggil keluar, memerintahkan dan mengorganisasikan sebuah kelompok yang Dia sebut sebagai dua belas rasul, untuk memberitakan terang dan kebenaran yang mampu menahan serangan jahat dari iblis. Kedua belas rasul ini dengan semangat disebut sebagai misionaris seperti Paulus dan Barnabas yang membangun dan mengorganisir gereja-gereja di seluruh wilayah Roma. Tanpa kelompok yang diorganisir itu (gereja-gereja) maka iman dapat tenggelam ke dalam samudra sekularisme.
Jika kehidupan Kristen dihubungkan oleh Alkitab sebagai sebuah perjuangan, maka angkatan perang dari prajurit Kristus harus diatur dengan kekuatan penuh, dari pimpinan pendeta hingga pelayan yang sederhana dalam peloton-peloton iman. Hamba Tuhan harus memiliki sebuah barisan, rasa patriotik dan kasih.  Pendeta harus merupakan pemimpin rohari dari jemaat. Salah satu tugas hamba Tuhan ialah berkotbah kepada jemaat dan bertintak sebagai moderator serta melaksanakan berbagai tugas yang menjadi bagiannya, karena kehidupan rohani jemaat bertumbuh dari pengetahuan akan kehendak Allah, yang merupakan standar pertumbuhan kehidupan rohani.[13]
Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan iman Kristen kepada anggota jemaat. Dia wajib memberi teladan tentang sikap hidup dan kelakuan Kristen. Pendeta mewakili jemat dan bertanggungjawab atas pelaksanaannya jadi pertaliannya dengan jemaat sangat erat. Tuhan Yesus mengibaratkan perhubungan itu dengan seorang gembala dan domba-dombanya. Sebagai seorang pendeta atau gembala bukan saja mengantar kawanan dombanya melainkan juga memberi makan kepadanya, ia membelanya bahkan ia rela menyerahkan hidupnya sendiri guna mereka. Paulus menyinggung pula hal ini dalam surat-suratnya sambil menegaskan bahwa ia mau memberikan seluruh pribadinya bahkan sekalipun untuk kepentingan jemaat jika dituntut Tuhan. Oleh karena itu, jabatan pendeta menurut wujudnya dan di dalam prakteknya pekerjaannya berlainan benar dari segala pangkat yang lain dalam masyarakat. Jabatan itu mempercayakan kepada dia tanggungjawab dan fungsi pemimpin yang tidak ada taranya.
Petrus berkata dalam suratnya di 1 Petrus 5:1-4 menjelaskan dengan tegas bahwa “Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu sesuai dengan kehendak Allah, jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.” Gembala bertugas menggembalakan domba, dalam hal yang sederhana menggembalakan domba adalah memberi makan dan menjaga domba itu secara aman. Demikian pula dalam pendeta atau pastor menggembala jemaatnya, yang dibutuhkan adalah memberikan makanan rohani yaitu firman Tuhan.
Fungsi gembala jemaat ialah memimpin anggota jemaat untuk menjadi dewasa dalam firman Tuhan agar bisa mengambil keputusan yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan serta membangun jemaat.[14] Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma mengatakan bahwa Paulus  mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani (Rom. 1:16). Sebutan Injil dalam I Timotius 1:11, yaitu Injil yang mulia dari Allah yang memberi berkat mendorong Paulus untuk menceritakan kesaksian pribadinya sendiri. Ia adalah bukti terbaik untuk menyatakan bahwa Injil kasih karunia Allah itu sungguh-sungguh mengubah hidupnya (Kis. 9:1-22; 22:1-21).
Gembala merupakan pelayan Tuhan yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan dan juga memiliki hati yang rindu untuk melayani jiwa-jiwa yang belum diselamatkan dan ingin melihat orang-orang yang belum diselamatkan berubah dan berbalik kepada Kristus. Gembala jemaat harus memilki keyakinan akan pengajaran atau Injil yang disampaikan kepada jiwa yang sesat.        Paulus menjelaskan bahwa keselamatan itu bukan untuk dia sendiri, tetapi juga untuk semua orang yang menerima Yesus Kristus (1 Tim. 1:15). Jika Tuhan Yesus dapat menyelamatkan Saulus dari Tarsus, orang yang paling berdosa, tentu Ia juga dapat menyelamatkan siapa saja.[15]
Mempertahankan iman jemaat. Dalam surat Paulus kepada Timotius, ia menyerahkan tanggung jawab kepada Timotius supaya melaksanakannya, selain mengajarkan ajaran yang sehat dan memberitakan Injil serta harus mempertahankan iman jemaat. Ini adalah kewajiban gembala untuk memelihara kebenaran atau doktrin Injil yang diterima dan dianut di dalam gereja dan mempertahankannya terhadap semua oposisi. Ini adalah salah satu ujung utama pelayanan, salah satu sarana utama dari pelestarian iman yang disampaikan kepada orang-orang kudus (1 Tim. 1:3. - 4, 4:6-7, 16, 6:20; 2 Tim. 1:14, 2:25, 3:14-17).
Hamba Tuhan harus mempertahankan iman jemaat. Mempertahankan iman jemaat adalah hal yang sangat perlu diperhatikan oleh pelayan Tuhan atau gembala. Oleh sebab itu gembala harus benar-benar memperhatikan setiap iman jemaatnya, karena dalam jemaat lokal anggota memiliki latar belakang yang berbeda-beda baik dalam pengetahuan kebenaran maupun pendidikan.[16]
Mendisplinkan Jemaat. Seorang gembala jemaat harus mengatur sopan santun dalam kebaktian jemaat agar kebaktian berjalan dengan teratur (1 Kor. 14:26-40) serta menjalankan disiplin gereja. Yesus telah memerintahkan bahwa apa bila seorang percaya tidak mau tunduk dan menaati nasehat secara pribadi maka masalah itu harus diserahkan kepada gereja untuk di disiplinkan (Mat. 18:17). Paulus secara tegas sekali meminta agar jemaat di Korintus menjalankan disiplin jemaat (1 Kor. 5:13). Tujuan untuk mendisiplinkan jemaat yaitu: Untuk membawa kemuliaan kepada Allah dan meningkatkan kesaksian kawanan domba, untuk memuliakan Allah dan membangun anggota jemaat yang telah jatuh dalam dosa (Mat.18:15; 2 Tes. 3:14-15), untuk menghasilkan iman yang sehat, satu suara dalam doktrin (Tit. 1:13; 1 Tim. 1:19-20), dan untuk menetapkan contoh bagi seluruh tubuh dan mempromosikan rasa takut yang saleh (1 Tim. 5:20).[17]
Gembala jemaat atau hamba Tuhan, janganlah menjadi orang pengejar status. rasul Paulus mengatakan,”Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan pada Apolos, karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya ungkapan, Jangan melampaui yang ada tertulis, supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain” (1 Kor. 4:6).
 Gembala jemaat harus mengajar umat Allah melalui perkataan dan perbuatan. Alkitab berkata bahwa, ”Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Kis. 20:28).
Mahasiswa Teologia

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya setiap pribadi menurut ukuran normatif. Pendidikan teologi pada dasarnya pendidikan yang menghasilkan rohaniawan. Aspek kehidupan rohani menjadi salah satu aspek penting, tentunya selain aspek akademis dan pelayanan, dalam proses pendidikan. Aspek-aspek tersebut diharapkan, dengan kurikulum, pola pembinaan, lingkungan sekolah dan sebagainya, dapat menghasilkan lulusan yang memiliki pemahaman, karakter dan keterampilan yang baik, sehingga siap dan mampu berkarya di ladang pelayanan. Beda sekolah, beda pula sistem, dasar teologia, metode pembelajaran, model pembinaan dan nilai-nilainya. Namun ada satu hal yang sama, yaitu keinginan untuk dapat menghasilkan lulusan yang baik dan siap melayani.
Namun di ladang pelayanan ada banyak persoalan timbul, bahkan ditimbulkan oleh para lulusan seminari tersebut. Mereka terkait dengan beragam persoalan, seperti masalah kejujuran, integritas, keteladanan, komitmen pelayanan dan sebagainya. Dengan kata lain, semua hal yang terkait dengan masalah moral. Selain itu, dinamika dan perkembangan di masyarakat dewasa ini berdampak pula pada pendidikan secara umum, dan teologi secara khusus. Tilaar, menggambarkan kondisi tersebut mengatakan bahwa, “Akuntabilitas pendidikan tinggi yang diagung-agungkan merupakan akuntabilitas dari pemegang modal. Pendidikan tinggi jadinya dijadikan arena pengembangan sikap persaingan yang diminta oleh dunia industri, tidak mengherankan apabila tidak ada korelasi antara output pendidikan tinggi dengan perbaikan moral di dalam masyarakat.”[18]
Setiap sekolah teologi, dari latar denominasi atau warna teologi apapun, tentu mempunyai sejumlah lulusan. Dengan berjalannya waktu dan jika ketidakpuasan gereja terhadap tindakan dan unjuk kerja rohaniwan lulusan dari sekolah teologi yang sama terulang kembali, maka tidak heran jika tindakan dan unjuk kerja rohaniwan itu tidak hanya diidentifikasi gereja sebagai kelemahan dari rohaniwan yang bersangkutan, tetapi lebih dari itu sebagai hasil dari proses pendidikan sekolah teologinya. Pertanyaannya sekarang adalah tindakan dan unjuk kerja apa saja dari para rohaniwan yang tidak sesuai dengan harapan gereja dan dapat dikembalikan sebagai hasil proses pendidikan semua sekolah teologi?
Berdasarkan pengamatan Weld di lapangan dan dilihat dari perspektif pendidikan sekolah teologi memiliki beberapa kelemahan. Pertama, sekolah teologi tidak mampu memasok rohaniwan yang dibutuhkan gereja. Kedua, biaya penyelenggaraan pendidikan terlalu besar. Ketiga, tidak sambungnya pelayanan lulusan seminari dengan jemaat atau budaya setempat. Keempat, tidak memadainya penyeleksian calon pembelajar seminari, karena para lulusannya ketika melayani di gereja tidak dapat menunjukkan dirinya sebagai seorang yang berjiwa gembala yang dibutuhkan oleh gereja. Hal ini dikaitkan dengan terlalu mudahnya lulusan yang masuk ke gereja untuk melayani. Menurut kutipan Weld dari tulisan Konsultasi Teologi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, indikasi dari kelemahan keempat di atas adalah, ”Walaupun para pendeta telah diperlengkapi baik secara akademis, persiapan itu tidak memampukannya untuk memberi sumbangsih bagi kehidupan spiritual dan teologi jemaat yang dilayaninya.”[19]
Moralitas pada masa kini dianggap masalah personal. Pilihan-pilihan moral diserahkan kepada tiap pribadi. Di era pascamodern, pemikiran tersebut mendapat pembenarannya dimana pola relasi tidak lagi terstruktur, tiap orang secara luas dapat menemukan orang yang sesuai dengan pribadinya, sehingga pola komunikasi sejajar. Dan dalam kesejajaran tiap pendapat menjadi penting. Lyotard, jauh sebelumnya telah mengatakan, “Each self exists in a fabric of relations that is now more complex and mobile than ever befor one is always located at a post through which various kinds of messages pass. No one, not even the least privileged among us, is ever entirely powerless over the messages that traverse and position him at the post of sender, addressee, or referent.”[20]
Bila konteks masyarakat dan pemikiran yang berkembang sudah sejauh ini, bagaimana pendidikan teologi mempersiapkan para peserta didiknya sedemikian rupa agar memiliki karakter kristiani yang jelas? Institusi pendidikan teologi merupakan institusi akademik. Kurikulum disusun agar mahasiwa dapat memiliki pengetahuan yang cukup untuk dipakai dalam pelayanan nantinya. Penekanan pada kemampuan akademik bukan hanya menjadi tuntutan sekolah namun juga tuntutan jemaat. Hal itu tidaklah berlebihan bila melihat perkembangan jemaat saat ini, dimana latar belakang pendidikan dan wawasan jemaat, terutama di perkotaan, sudah demikian maju. Hal ini membuat kebutuhan terhadap kualitas akademik para pelayanan juga semakin meningkat.
Meskipun sekolah-sekolah teologi sudah meningkatkan kemampuan akademik para peserta didiknya, misalnya dengan menambah pelajaran atau subyek yang aktual di masyarakat, keluhan terhadap para lulusan sekolah teologi tetap banyak. Pilimon mengatakan bahwa, “Pada umumnya, sekolah-sekolah teologi mendapat kritikan antara lain, tidak mempunyai arah, pengajarnya bersaingan, kurikulumnya tidak relevan dengan kehidupan nyata, penyiapan pelayanan para lulusannya buruk. ”Tong, juga mempertanyakan kualitas pendidikan teologi dalam bentuk keprihatinan. Ia mencatat ada enam keprihatinan dalam pendidikan teologi yaitu, keprihatinan terhadap kualitas dasar dalam pendidikan teologi, keprihatinan terhadap kualitas ketahanan dan keandalan produk, keprihatinan estetika dalam pendidikan teologi, estetika yang dimaksud Tong, menyangkut pembangunan kepribadian, karakter, kesalehan, moralitas, dan spiritualitas, keprihatinan atas kualitas fleksibilitas dan adaptabilitas, keprihatinan terhadap kualitas ketahanan uji dan keprihatinan kualitas pelayanan.[21]
Secara internal, pendidikan teologi harus terus mengevaluasi seluruh proses yang terkait dengan pembentukan para pelayan Tuhan yang siap melayani di ladang-Nya. Persiapan dan pembentukan yang mereka terima tidaklah serta merta dipahami dan diterima secara sama, apalagi dalam aplikasinya di lapangan atau ladang pelayanan. Perlu melihat kecenderungan yang berkembang di luar pendidikan teologi yang secara tidak kentara telah memberikan dampak yang besar terhadap pemikiran yang berkembang di lembaga pendidikan teologi. Susabda, bahkan telah melihat bahwa spirit pascamodern telah masuk ke pemikiran para hamba Tuhan. Dan menurutnya ada tiga hal yang mencirikan spirit pascamodern dalam diri hamba Tuhan, yaitu, playing God (Allah hanyalah simbol). Seluruh rencana dan keputusan sebenarnya dibuat sendiri oleh hamba-hamba Tuhan dengan pertimbangan kebijaksanaannya sendiri, mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk menemukan titik integrasi antara core belief dengan realita praktis pelayanan dan kesaksiannya. Self fulfillment in the ministry. Hamba-hamba Tuhan era postmodern menemukan self fulfillment di dalam pelayanan-pelayanan itu sendiri dan ambivalency. Kehilangan konsistensi dalam kehidupan, kesaksian dan pelayanannya sehingga pilihannya adalah pluralis, inklusif atau eksklusif.[22]
Ketiga hal tersebut turut membentuk moralitas para hamba Tuhan. Pendidikan dan pembentukan yang mereka terima seringkali hanya menjadi dekorasi dalam pelayanan, karena yang sebenarnya menentukan siapa hamba Tuhan itu sebenarnya adalah dirinya sendiri. Moralitas bukanlah pilihan-pilihan yang didasarkan pada selera jemaat, masyarakat atau pribadi, bukan proyek pencitraan diri hamba Tuhan atau lembaga pendidikan teologi dan bukan suatu pengetahuan semata yang harus dipahami. Namun moralitas menyangkut totalitas pribadi seseorang. Penulis setuju dengan Wolterstorff yang mengatakan, “Tujuan dari pendidikan Kristen adalah untuk mengilhami anak dengan pandangan dunia dan kehidupan Kristen“ (The goal of Christian education is to imbue the child with a Christian world-and-life view).[23]
Kehidupan kristiani atau moralitas seseorang merupakan konsep yang dihidupi, karena itu proses belajar harus menekankan bagaimana mengaitkan apa yang dipelajari tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penting memilih dan menyeleksi materi-materi yang tepat bagi mahasiswa sehingga tetap relevan dan aktual, agar mahasiswa tidak diindoktrinasi dengan permasalahan-permasalahan yang tidak pernah akan mereka hadapi, atau dengan kata lain, menurut Wolterstorff, dipropaganda.

Orang Percaya

Bagi orang Kristen sejati atau orang percaya, tidak ada perpisahan antara kehidupan dalam dunia sakral dan dunia sekuler. Sejarah menyaksikan bahwa sejak orang Kristen mengenal Tuhan dan menerima Yesus sebagai Juruselamat satu-satunya, dia juga dipanggil untuk menerima perannya sebagai garam dan terang bagi dunia di sekitar dirinya berada. Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai suatu alienasi antara seorang Kristen dengan dunianya, sehingga seolah-olah dirinya merasa hidup dalam menara gading atau timbul kecondongan ekstrim lain, yaitu meleburnya seseorang tanpa bekas hingga kehilangan jati dirinya ke dalam suatu lingkungan duniawi tanpa memberikan warna apapun.
Ada beberapa ahli yang mengungkapkan suatu tolok ukur terhadap diri seseorang yang dikategorikan sebagai seorang pribadi yang sehat. Carter, menyatakan bahwa seorang yang memiliki kepribadian dewasa memiliki lima ciri yaitu, pandangan yang realistis tentang diri dan orang lain, seseorang memiliki dimensi yang melibatkan suatu objektifikasi diri (self-objectification).[24] Allport menyebut ciri ini sebagai capable of self- objectification and of insight in humor. Biasanya kelebihan seseorang senantiasa berhubungan erat dengan minat karena keduanya saling mendukung. Allport menyatakan bahwa seseorang yang dewasa juga memiliki persepsi, keterampilan yang realistik. Sedangkan orang yang kurang dewasa memiliki suatu kecenderungan kekeliruan dalam menilai apa yang menjadi kelebihan dan kelemahannya, bisa dalam bentuk penilaian yang melebihi kemampuan sebenarnya ataupun sebaliknya, memiliki penilaian yang berada di bawah kemampuan dirinya.[25]
 Agar dapat menilai dirinya dengan tepat maka dibutuhkan suatu perspektif ilahi. Allah memandang setiap manusia sebagai seseorang yang membutuhkan keselamatan karena telah jatuh dalam dosa (Rom. 3:23), sehingga ia menjadi ciptaan baru dengan suatu pola hubungan yang baru dengan Allah, orang lain dan bahkan dirinya sendiri (2 Kor. 5:17). Salah satu aspek dalam kemampuan seseorang mengenali dirinya dan orang lain adalah dengan mengenali apa yang menjadi trait dirinya, kualitas karunia rohani serta tempat serta perannya dalam suatu tubuh Kristus, yaitu jemaat (1 Kor. 12:14-25).
Karakter adalah bahasan yang penting, tetapi jarang dibicarakan dan telah diabaikan, bahkan dikalangan Kristen sekalipun. Dua kemungkinan alasan pengabaian ajaran ini yaitu, yang pertama, bahasan ini dianggap kurang manarik dibanding dengan tema doktrinal lainnya dan yang kedua tidak semua orang suka membahas karakter karena ini menyangkut wilayah kepribadian seseorang yang dianggap tidak boleh diusik. Akibat dari pengabaian ini banyak orang Kristen yang tidak mengetahui ajaran tentang karakteristik yang sebenarnya, padahal Wofford, telah mengamati bahwa “Bagi setiap orang Kristen, tidak ada atribut yang lebih penting ketimbang karakter.” Selanjutnya Wofford, menjelaskan bahwa “Dalam pengajaran-Nya, Yesus sangat menekankan karakter para murid-Nya.[26]
Surat Paulus kepada Timotius dan Titus juga berbicara mengenai karakter. Karakter itu meliputi kualitas seperti, integritas, kemurnian moral, kelemah lembutan dan kesabaran. Setiap pribadi dikenali melalui sifat-sifat (karakter) yang khas baginya. Pembentukan pribadi mencakup kombinasi dari beberapa unsur yang tidak mungkin dapat dihindari yaitu, unsur hereditas, unsur lingkungan dan kebiasaan. Unsur hereditas adalah unsur-unsur yang dibawa (diwariskan) dari orang tua melalui proses kelahiran, seperti keadaan fisik, intelektual, emosional, temperamen dan spiritual, unsur lingkungan mempunyai peranan dan pengaruh yang besar dalam membentuk karakter dari pribadi seseorang. Unsur lingkungan disini meliputi lingkungan keluarga, lingkungan tradisi dan budaya, serta lingkungan alamiah (tempat tinggal), dan unsur kebiasaan adalah suatu tindakan atau tingkah laku yang terus menerus dilakukan menjadi suatu keyakinan atau keharusan. Kebiasaan-kebiasan ini akan turut membetuk karakter seseorang.[27]
Beberapa dari karakter Kristen yang disebutkan dalam Alkitab harus di kembangkan dan di tampilkan oleh setiap orang Kristen yaitu, integritas (Tit. 1:7-9), kerendahan hati (Mat. 5:1-7; Mrk. 10:14-15; 1 Tim. 3:6), kasih dengan segala karakteristiknya (Mat. 22:37-39; 1 Kor.13), melayani dan menolong (Luk. 10:25-37), kekuatan dan kebenaran batiniah (Luk. 11:37-53; 12:15; Yoh. 16:33), hubungan yang erat dengan Kristus (1 Tim. 6:11; 2 Tim. 2:22; Yoh. 15:1-8), sukacita (Yoh. 17:13), kekudusan (Yoh. 17:16; 2 Tim. 2:22), damai ( 2 Tim. 2:22), sabar dan tekun (1 Tim. 6:11; 2 Tim. 3:10), lemah lembut (1 Tim. 6:11; 2 Tim. 2:25), penguasaan diri (1 Tim. 3:2; Tit. 1:8), tidak tamak dan tidak suka bertengkar (1 Tim. 3:2-3; 6:10-11), serta kualitas lainnya dalam 2 Petrus 1:5-8, seperti : kebajikan, pengetahuan, ketekunan, dan kesalehan.
Sebagai orang Kristen atau orang percaya, harus mampu mengembangkan dan membuat sifat-sifat itu menjadi semakin nyata di dalam setiap kehidupan, maka hal itu akan menjadi kesaksian hidup bagi orang lain tetapi juga menyenangkan hati Tuhan. Kabar baiknya ialah, Allah ingin agar orang percaya berkembang sepenuhnya dalam iman dan pengharapan, bertumbuh dan dewasa (sempurna) sama seperti Bapa surgawi (bnd. Mat. 5:48). Karakter Kristen dibentuk sebagai hasil perjumpaan dengan kebenaran alkitabiah yang menembus ke dalam hati. Hal itu hanya mungkin terjadi jika seseorang belajar firman Allah, merenungkan firman Allah itu dengan segala makna dan penerapannya. Merupakan fakta yang terbukti bahwa doktrin (pengajaran firman Tuhan) mempengaruhi karakter. Apa yang dipercayai seseorang sangat besar mempengaruhi perbuatannya. Jika seseorang menerima dan mengikuti ajaran yang sehat maka ajaran itu akan menghasilkan karakter ilahi dan karakter Kristus. Paulus memberikan nasihat kepada Timotius dengan mengatakan, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Tim. 4:6,13,16).




                                     

 




[1]Joe E. Trull dan James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, pen., N. Susilo Rahardjo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 280.
[2]Petrus Octavianus, Dipanggil untuk Melayani ( Malang: Departemen Literatur YPPII, 1998), 261.

[3]Sularso Sopater,  Pertumbuhan Gereja (Yogyakarta: Andi, 1994), 29.
[4]Miftah Thoha, Manajemen dan Kepemimpinan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 74.
[5]Robert Cowles, Gembala Sidang (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), 7-8.

[6]Seth Msweli dan Donald Crider, Gembala Sidang dan Pelayanannya (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 12.

[7]G.D. Dahleburg, Siapakah Pendeta Itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 23-4.
[8]Matthew Henry,  Matthew Henry’s Commentar (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1991), 656.
[9]Kevin J. Conner, Jemaat dalam Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2004), 264.
[10]E.M. Blaiklock, Surat-surat Penggembalaan (Malang: Gandum Mas, 1981), 33.
[11]Sendjaya, Kepemimpinan Kristen (Yogyakarta: Kairos Books, 2004), 54-5.
[12]Warren W. Wiersbe, Setia di dalam Kristus (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1981), 50.
[13]Peter Wongso, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini (Malang: Departemen Literatur Saat, 2001),69-1.
[14]Suhento Liauw, Doktrin Gereja Alkitabiah (Jakarta: GBIA Graphe, 1996), 131.
[15]Warren W. Wiersbe, Setia di dalam Kristus (Bandung; Yayasan Kalam Hidup, 2000), 14-9.

[16]G. Riemer, Jemaat yang Presbiteral (Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF, 1995), 65.
[17]Robert Cowles, Gembala Sidang (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), 86-7.
[18]H. A. R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta: Kompas, 2005), 144.
[19]W. C. Weld, The World Directory of Theological Education by Extension (South Pasadena: William Carey Library, 1973) , 8-20.
[20]Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report Knowledge, pen., Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 15.
[21]Joseph Tong, Pentingnya Kualitas dalam Pendidikan Teologi (Jurnal Teologi Stulos, 2003), 68-4.
[22]Yakub Susabda, Hamba Tuhan di Era Post-Mo dalam God’s Fiery Challenger for Our Time, peny., Benyamin F. Intan (Jakarta: Reformed Center for Religion and Society, 2007), 399-02.
[23]Nicholas P. Walterstorff, Educating for Life: Reflections on Christian Teaching and Learning, peny., Gloria Stronks dan Clarence W. Joldersma (Grand Rapids:Baker Academic, 2002), 175.
[24]J.D. Carter, Healthy Personality: dalam Baker Encyclopedia of Psychology, peny., David G. Benner (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1993), 498-04.
[25]W. Stanley Hearth, Psikologi Yang Sebenarnya (Yogyakarta: ANDI, 1997), 23.

[26]J.C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, pen.,Penerbit (Yokyakarta: Yayasan Andi, 2001), 115-16.
[27]Yakoep Ezra, Succes Througgh Character, pen., Arvin Saputra (Yogyakarta:Andi , 2006), 19.
_____________________________________________________


BAB V
PENUTUP
Meneladani apa yang Paulus tuliskan kepada Timotius, sehubungan dengan kualifikasi tentang karakteristik berupa syarat-syarat dalam pelayanan gereja kepada para hamba Tuhan, maka ini harus mejadi perjuangan bagi setiap hamba Tuhan di gereja masa kini. Gereja harus kembali kepada prinsip-prinsip tentang pengaturan kepenatuaan dan kediakenan bahkan keseluruhan pejabat gereja. Sehubungan dengan kualifikasi yang dituliskan oleh Paulus tentunya dapat dikontekskan dengan keadaan sekarang.

Kesimpulan

Dalam gereja Perjanjian Baru di zaman rasul-rasul, para penatua memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan bergereja. Para rasul sangat menyadari khususnya Rasul paulus membutuhkan rekan sekerja untuk menata dan menggembalakan jemaat. Namun demikian, tantangan untuk menerapkan pemikiran paulus ke dalam kehidupan bergereja saat ini tidaklah mudah. Tetapi gereja harus berjuang dan mengembalikan fungsi, kriteria penatua dan diaken yang berdasarkan pada landasan firman Tuhan. Salah satu unsur yang Paulus tekankan dalam penatua dan diaken adalah keteraturan pelayanan dalam mengkader rekan-rekan sekerja untuk meneruskan apa yang menjadi visi misi pelayanan yang diberikan kepadanya oleh Tuhan.
Jabatan penatua dan diaken memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan dan gereja. Paulus sama sekali tidak pernah membeda-bedakan hal tersebut. Dalam hal fungsi mereka berbeda tetapi dalam hal status memiliki kesederajatan. Mereka semua harus memiliki standar kualifikasi apabila terpilih sebagai penatua atau diaken, dan kualifikasi yang dimaksud pada intinya harulah memiliki kehidupan karakter dan moral sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu gereja harus meneladani apa yang telah diarahkan oleh Paulus sehubungan dengan prinsip-prinsip pemerintahan, penggembalaan dan pertumbuhan gereja.
Yesus juga meninggalkan model kepemimpinan atau gembala di dalam kehidupan para rasul.  Sebanyak tiga kali dalam satu percakapan yang singkat, Yesus memerintahkan Petrus “gembalakanlah domba-domba-Ku, perhatikanlah domba-domba-Ku, dan berilah makan domba-domba-Ku.” Maksud dari perkataan Yesus adalah supaya Petrus mengambil gaya kepemimpinan spiritual Yesus.  Yesus telah memberi model gaya gembala dalam kepemimpinan dan semua ini adalah yang para murid gunakan di dalam kehidupan kepemimpinan mereka dan juga sebagai model bagi yang lainnya.
Kristus dalam menjelaskan mengenai proses pelayanan penggembalaan atas umat-Nya menekankan bahwa gembala harus dapat diteladani. Tuhan Yesus tetap memposisikan diri-Nya  selaku pemberi teladan. Para gembala atau pelayan jemaat harus bisa menunjukkan arah dan berani tampil sebagai figur pemberi teladan. Para hamba Tuhan selaku abdi Allah, haruslah terus dan tetap menjadi penunjuk arah perjalanan kehidupan jemaat di dalam Kristus.
Panggilan dan tugas seorang pejabat gerejawi, baik secara pribadi maupun bersama-sama dalam kemajelisan dapat dikatakan  sebagai berikut:

Mengepalai Jemaat
Seorang hamba Tuhan bersama rekan sepelayanannya bertugas memimpin jemaat Tuhan (1 Tes. 5: 12; 1 Tim. 5: 17). Mereka juga harus mengatur rumah Allah (Titus 1: 7). Di sini Paulus memakai kata “Oikonomos” yang dapat berarti bendahara atau pemimpin usaha, sebagai pemimpin jemaat. Pejabat gerejawi harus dapat mendorong warga gereja melaksanakan tri-tugas panggilannya yaitu bersekutu, bersaksi dan melayani baik secara pribadi maupun bersama-sama.
Melayani jemaat secara Pastoral.
Dalam Kisah Rasul 20: 28, Paulus menasehati para penatua jemaat Efesus, “karena itu jagalah dirimu karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah,” maksud dari menilik di sini bukanlah memeriksa dan mengawasi atau mencari-cari kesalahan, pengertian yang sebenarnya ialah mempedulikan atau memperhatikan jemaat. Tugas ini harus dilaksanakan secara pastoral, seperti seorang gembala ternak memperlakukan kawanan domba. Jadi maksud Paulus tidak lain adalah agar setiap pelayan Tuhan memelihara dan menggembalakan jemaat, sebagaimana layaknya gembala yang sejati mencari domba yang sesat, terluka dan sakit, begitu pula seorang penatua harus memperhatikan warga jemaat yang Tuhan percayakan kepadanya.
Pemeliharaan pastoral memberi dampak lain di dalam tugas seorang hamba Tuhan yaitu harus menasihati berdasarkan ajaran yang sehat, ajaran yang sesuai dengan kesaksian Alkitab (Tit. 1: 9). Hal menasihati tidak saja dilakukan kepada mereka yang telah salah langkah, melainkan secara umum menyatakan kepemimpinan rohani kepada jemaat, khususnya bagaimana jemaat harus bertindak dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung kepada warga jemaat yang bersangkutan atau melalui sikap hidupnya sehari-hari. Jika perlu, seorang hamba Tuhan dapat menegur anggota jemaat yang melakukan kesalahan, namun perlu di ingat bahwa teguran itu harus bersifat korektif, memperbaiki sesuatu yang keliru.
Menjaga kemurnian ajaran.
Sebagai Rasul, Paulus berulang kali mengingatkan jemaat-jemaatnya akan bahaya ajaran sesat yang siap mengancam kehidupan beriman gereja dan warganya (Kis. 20: 29; Tit. 1: 9,10). Apakah kriterianya jika suatu ajaran itu dikatakan benar dan murni? Suatu ajaran dapat dikatakan murni dan benar apabila selaras dengan pemberitaan Kristus dan rasul-rasul seperti yang tercatat dalam Alkitab. Oleh sebab itu, seorang hamba Tuhan di tuntut untuk memahami kebenaran firman Tuhan serta berpegangan pada ajaran gerejanya yang berpadanan dengan firman Tuhan itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar ia sendiri tidak terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran  dan menjadi batu sandungan baik bagi gereja, warga jemaat maupun sesama rekan sepelayanannya.
Karakteristik Seorang Hamba Tuhan
Paulus dengan tegas memberikan syarat-syarat bagi mereka yang akan diangkat sebagai penatua dalam 1 Timotius 3: 2-7 dan Titus 1: 6-9. Dari kedua bagian Alkitab ini menceriterakan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh mereka yang dipilih menjadi penilik (penatua) jemaat atau pejabat gereja yaitu:
Pola kehidupan Hamba Tuhan
Seorang penatua hendaknya tidak bercacat, artinya kelakuannya tidak boleh memberi alasan bagi orang lain untuk memfitnah atau melontarkan kritik yang pedas. Oleh karena itu seorang hamba Tuhan jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain, melainkan kehidupan seorang hamba Tuhan harus dapat menjadi contoh bagi jemaatnya. Seorang hamba Tuhan juga hendaknya dapat mampu menahan diri dan mengalahkan hawa nafsu yang dapat merusak hubungan dengan orang lain serta mampu mengendalikan diri, bijaksana dalam mengambil kebijakan dan sopan santun dalam tutur kata dan hendaknya bukan seorang peminum (pemabuk), bukan pemarah melainkan peramah, pendamai dan bukan hamba uang dan seorang hamba Tuhan juga haruslah seorang yang cinta damai dan suka akan kerukunan, pandai mengajar dan dapat memberikan pengajaran yang benar kepada jemaat berdasarkan firman Tuhan (Alkitab), serta memiliki reputasi yang baik, entah di dalam jemaat maupun di luar jemaat (dalam masyarakat umum).
Dari daftar persyaratan ini tidak seharusnya membuat seorang hamba Tuhan ciut atau berkecil hati, meskipun dalam prakteknya mungkin tidak ada orang yang mampu memenuhi seluruh persyaratan itu tetapi itu tidak berarti segala persyaratan itu dapat diabaikan begitu saja. Persyaratan ini dicantumkan Paulus untuk memperlihatkan bahwa jabatan seoarang hamba Tuhan bukanlah jabatan sembarangan dan dapat disepelekan dalam pelaksanaannya. Perlu diingat bahwa jabatan gerejawi tidak berdasar kepada kebaikan atas prestasi dari mereka yang memangkunya, itu semua karena kasih-Nya yang memberikan kesempatan untuk menjadi pimpinan dalam jemaat. Kalau Tuhan memilih seseorang maka Ia akan melengkapi dan memampukan orang tersebut di dalam pelayanannya. Dan seorang hamba Tuhan pun harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Sifat-sifat seorang hamba Tuhan
Ada beberapa sifat yang harus nampak dalam kehidupan pelayanan seorang pejabat gerejawi. Hal ini patut diperhatikan sebagai cermin bagi seorang hamba Tuhan yaitu:

Mengenai Kesetiaan
Setia artinya tetap dan teguh hati, taat atau patuh atau berpegang teguh. Galatia 5: 22-23 menyebut kesetiaan sebagai salah satu buah-buah Roh. Kata setia merupakan terjemahan dari  kata “pistis”. Kata “pistis”  selain dapat diterjemahkan dengan arti kesetiaan dapat juga diterjemahkan dengan iman, kedua kata ini saling berkaitan dan melengkapi. Tindakan iman dapat terjadi kalau dilandasi oleh kesetiaan dan kesetiaan dapat terwujud apabila dilandasi oleh iman.
Kerendahan Hati
Rendah hati artinya tidak sombong atau angkuh, tidak meninggikan diri sendiri  dan merendahkan orang lain. Dalam diri manusia terdapat suatu bahaya besar yang berakar dalam hati dan siap muncul dalam diri manusia apabila memangku suatu jabatan yaitu kesombongan. Sifat rendah hati harus menjadi bagian dari kehidupan seorang pejabat gerejawi karena sebenarnya Tuhan tidak menyukai orang yang sombong dan tinggi hati (Maz. 101: 5).
Menjaga Rahasia Jabatan
Seorang pejabat gerejawi sering mendengar masalah anggota jemaat, lebih-lebih pada saat berkunjung ke rumah anggota jemaat ia dapat mendengar hal-hal yang sifatnya rahasia, yang orang lain sama sekali tidak boleh mengetahuinya, sebab ada anggota jemaat tertentu yang ingin mendapat nasehat, penghiburan, hikmat dan lain-lain. Oleh karena itu sebagai pejabat gerejawi harus setia memegang teguh rahasia pribadi orang lain yang diceritkan kepadanya. Suatu kesalahan besar apabila seorang pejabat gerejawi menceritakan  hal seperti itu kepada orang lain, walaupun itu kepada istri atau suaminya sendiri. Sikap yang buruk ini dapat merusak  suasana keterbukaan yang ada antara seorang anggota jemaat dengan seorang penatua atau pendeta bahkan pejabat gereja lainnya. Maka itu seorang hamba Tuhan harus menjaga kehormatan dan nama baik anggota jemaat dan juga kehormatan serta nama baik jabatan gerejawi yang Tuhan percayakan kepadanya.
Kooperatif
Seorang pejabat gerejawi harus menyadari bahwa dalam kepemimpinan jemaat  ia tidak bekerja sendiri. Ia merupakan bagian dari satu tim yang bekerja dan berjalan bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Ingat pepatah, “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, (bnd. Maz. 133; 1 Kor. 12: 12-31), tidak ada pekerjaan yang terasa berat apabila dikerjakan bersama-sama. Sikap kooperatif membuat suasana pelayanan menjadi nyaman dan penuh kegembiraan. Dalam sikap yang kooperatif ini tidak akan ada seorang pun yang berusaha menonjolkan diri atau membiarkan rekan sepelayanannya bekerja sendiri.
Terus Belajar Mengembangkan Diri
Banyak kelemahan pejabat gerejawi di sini. Mereka tidak mau terus belajar dan menguasai hal-hal baru bagi peningkatan pelayanannya. Sebagai pejabat gerejawi, tidak boleh berpuas diri dengan apa yang telah di kerjakan. Banyak belajar membuat seorang hamba Tuhan bertumbuh dan berbuah semakin lebat bagi Kristus dan jemaatnya. Mendapat panggilan dan kepercayaan Tuhan untuk memimpin jemaat-Nya adalah suatu hal yang istimewa, sebab tidak semua orang dipercayakan Tuhan menjadi pelayan jemaat-Nya. Oleh sebab itu, tugas seorang hamba Tuhan yaitu menunaikan tugas  panggilannya, selaku pejabat gerejawi dengan penuh kesetiaan, tanggung jawab, kerendahan hati, terus belajar mengembangkan diri dan kerja sama yang baik dengan sesama rekan sepelayanan, dengan menunjukan karakteristik yang sudah dipaparkan terlebih dahulu diatas, sehingga jemaat dapat bertumbuh bukan saja secara kuantitas melainkan secara kualitas baik menyangkut hal jasmani maupun rohani.
Saran
Untuk mengakhiri karya ilmia ini, penulis memberikan beberapa saran kepada para hamba Tuhan, para pelajar di Sekolah Tinggi Teologi dan orang percaya.
Pertama, kepada para hamba Tuhan. Tren kepemimpinan hamba Tuhan telah berkembang sangat pesat dan dapat dengan mudah dipelajari secara mandiri, bahkan nilai dan prinsip biblika telah mewarnai semua lini prinsip ilmu kepemimpinan, namun dalam lini praktika, gereja diperhadapkan dengan kompleksitas kultural, masalah sosial, dan konteks yang sangat beragam. Oleh karena itu diharapkan kepada para hamba Tuhan agar menjadi teladan bagi jemaatnya terutama melalui kehidupan praktis berdasarkan Firman Tuhan, karena dari kehidupan praktis itulah yang menunjukan dan membuktikan integritas sebagai seorang pelayan Tuhan yang terpanggil.
Kedua, Kepada para pelajar. Sekolah Teologi adalah tempat pertama untuk calon hamba-hamba Tuhan yang akan masuk ke dalam dunia pelayana yang sesungguhnya, disinilah mereka mengalami proses pembentukan karakter dan mempertajam panggilan Allah. Oleh karena itu, diharapakan kepada para pelajar agar tidak berhenti belajar dan mempraktekan kebenaran firman Tuhan secara induktif, baik dikampus Sekolah Tinggi Teologi itu sendiri maupun di dalam masyarakat luas, sehingga keterlibatan dalam dunia pelayanan dan kehidupan bermasyarakat tertentu tidak mendapatkan kritik atau sindiran yang merusak citra kampus Teologi dan diri sendiri.
Ketiga, kepada orang percaya. Dunia adalah tempat bersosialisasi, terutama dilingkungan tempat orang percaya tersebut berada, yang mana dalam kehidupan sosial dan masyarakat terdiri dari berbagai ragam, suku, agama dan budaya. Maka itu, dengan penulisan skripsi ini diharapkan kepada semua orang percaya agar tetap eksis serta menunjukan dedikasinya kepada Tuhan Yesus Kristus yang adalah dasar iman, dengan mempraktekan atau menunjukan kehidupan Kekristenan yang sebenarnya berdasarkan firman Tuhan dan bukan sekedar rutinitas belaka.


SEMUA KARENA ANUGERAH
SEMOGA SKRIPSI INI DAPAT BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA
TUHAN YESUS MEMBERKATI
AMIN



KEPUSTAKAAN
Abineno, J.L.Ch. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
_________, Melayani dan Beribadah di dalam Dunia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974.
_________, Penatua:  Jabatan dan Pekerjaannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Arichea, Daniel C. dan Howard A. Hatton, Surat-surat Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.
Balchin, Jhon dkk. Inti Sari Alkitab. Diterjemahkan oleh Retnawaty Rimba. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,1994.
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Baxter, J. Sidlow. Menggali Isi Alkitab: Roma Sampai dengan Wahyu. Disunting oleh G.M.A Nainggolan dan H.A. Oppusunggu Sastro Soedirdjo, 4 Jil. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012.
Beek, Art Van. Pendampingan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Blaiklock, E.M. Surat-surat Penggembalaan. Malang: Gandum Mas, 1981.
Boa, Kenneth. The Perfect Leader. Diterjemahkan oleh Bayu Sudi Gunawan. Malang: Gandum Mas, 2009.
Bons-Storm, M. Apakah Penggembalaan itu? Jakarta: Gunung Mulia, 2012.
Brill, J.Wesley. Tafsiran surat Timotius dan Titus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1996.
_________, Dasar yang Teguh. Bandung: Kalam Hidup, 2004.
Brownlee, Malcom. Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1984.
Budiman, R. Tafsiran Alkitab Surat-surat Penggembalaan 1, II Timotius dan Titus. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1984.
Calvin,John. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Carter,J.D. Healthy Personality: dalam Baker Encyclopedia of Psychology. Disunting oleh David G. Benner. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1993.
Chapman, Adina. Pengantar Perjanjian Baru. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004.
Chauke, E. dan B. Beckelhymer. Penyelidikan Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Norman Hasse. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999.
Conner, Kevin J. Jemaat dalam Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2004.
Cowles, Robert. Gembala Sidang. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000.
Dahleburg, G.D. Siapakah Pendeta Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Daniel C. Arichea dan Howard A. Hatton, Surat-surat Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.

Damazio, Frank. Memimpin dengan Roh. Yogyakarta: PBMR Andi, 2004.
Dinne, Stewart. You Can Learn to Lead. Diterjemahkan oleh Arvin Saputra. Yogyakarta: Andi, 2009.

Drescher, Jhon M. Melakukan Buah Roh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Duyverman, M.E. Pembimbing Ke dalam Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Ezra, Yakoep. Succes Througgh Character. Diterjemahkan oleh Arvin Saputra. Yogyakarta:Andi , 2006.
Gibbs, Eddie. Kepemimpinan Masa Mendatang. Diterjemahkan oleh Tonggor Maruliasih Siahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Gp, Harianto. Pendidikan Agama Kristen dalam Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini. Yogyakarta: Andi Offset, 2012.
Graham, Billy. Roh Kudus. Diterjemahkan oleh Susi Wiridinata. Bandung: Yayasan Literatur Babtis, 1986.
Guthrie, Donald. Pengantar Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Hendry Ongkowidjojo, 3 Jil. Surabaya: Momentum, 2010.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Hakh, Samuel Benyamin. Perjanjian Baru. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.
Hearth,W. Stanley. Psikologi yang Sebenarnya. Yogyakarta: ANDI, 1997.
Henry, Matthew.  Matthew Henry’s Commentar. Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1991.
Ingauf, John E. Sekelumit Tentang Gembala Sidang. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001.

James, E. Carter Joe E. Trull. Etika Pelayanan Gereja. Diterjemahkan oleh N. Susilo Rahardjo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.

Jr, Jonh E Phelan. Gereja dalam Era Postmoderen. Diterjemahkan oleh Paulus Trimanto Wibowo. Yakin: Surabaya, 2002.
Koch, Klaus. Kitab yang Agung. Diterjemahkan oleh S.M. Siahaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Urbanus Selan dan Henry Lantang. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999.
Latuihamallo, Prof. Dr. P.D.  Berakar di dalam Dia dan Dibangun diatas Dia. Diterjemahkan oleh Robert P. Borrong Dkk. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

Leach, Edmund. Culture and Communication:  The Logic by Which Symbols are Connected. Cambridge University Press, 1976.
Leo, Eddy dan Budi Setiawan. Saya Pengikut Kristus Pemenang. Jakarta: Metanoia Publising, 2011.
Liauw, Suhento. Doktrin Gereja Alkitabiah. Jakarta: GBIA Graphe, 1996.
Liliweri, Alo. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Lukito, Daniel Lucas. Pengantar Teologia Kristen 1. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002.
Lyotard, Jean-Francois. The Postmodern Condition: A Report Knowledge. Diterjemahkan oleh Geoff Bennington dan Brian Massumi. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989.
Macarthur, John. Kitab Kepemimpinan. Disunting oleh Nino Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014.
_________, Kitap Kepemimpinan. Diterjemahkan oleh Djoni Setiawan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Miranda, Jasse. Gereja Kristen dalam Pelayanan. Malang: Gandum Mas, t.t.
M, Kouzes, James dan Barry Z. Posner. The Leadership Challenge. Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial. Jakarta: Erlangga, 2004.
Msweli, Set dan Donald Crider. Gembala Sidang dan Pelayanannya. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002.
Mulyana, Deddy. Komunikasi antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang berbeda budaya. Diterjemahkan oleh Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996.
Nainggolan, John M. Guru Agama Kristen Sebagai Panggilan dan Profesi. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.
Octavianus, Petrus. Dipanggil untuk Melayani. Malang: Departemen Literatur YPPII, 1998.
Randoe, Petrus Tony. Pola Hidup Umat Allah. Jakarta: Yayasan Alsuka, 1997.
Ray, David R. Gereja yang Hidup. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Riemer, G. Jemaat yang Presbiteral. Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF, 1995.
Riggs, Ralph M. Gembala Sidang yang Berhasil. Malang: Gandum Mas,  1984.
Ronda, Daniel. Leadership Wisdom. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2011.
Sendjaya. Kepemimpinan Kristen. Yogyakarta: Kairos Books, 2004.
Soedarma, R. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Sopater, Sularso. Pertumbuhan Gereja. Yogyakarta: Andi, 1994.
Stamps, Donald C. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Malang: Gandum Mas, 1994.
Stibbs, A.M. Penulis 1, 2 Timotius dan Titus dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini. Diterjemahkan A. Lumbatobing, 3 Jil. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013.
Storm, M. BornApakah Penggembalaan Itu? Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011.
Stott, John. Sepanjang Tahun Menelusuri Alkitab. Diterjemahkan oleh Lilian Tedjasudhana dan Yu Un Oppusunggu. Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2010.
Strauch, Alexander. Biblical Eldership. Colorado: Lewis and Roth Publishers, 1994.
_________, Kepenatuaan atau Kependetaan. Yogyakarta: ANDI, 1999.
Sudarmanto, G. Menjadi Pelayan Kristus yang Baik. Malang: Departemen Multimedia
YPPII, 2009.
Sumiyatininggsih, Dien. Mengajar dengan Kreatif dan Menarik. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Susabda, Yakub. Pastoral Konseling. Malang: Gandum Mas, 2006.
­­_________, Hamba Tuhan di Era Post-Mo dalam God’s Fiery Challenger for Our Time. Disunting oleh Benyamin F. Intan. Jakarta: Reformed Center for Religion and Society, 2007.
Tenney, Merril C. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2013.
 Thoha, Miftah. Manajemen dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
 Tilaar, H. A. R. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas, 2005.
Tomatala, Yakob. Anda juga Bisa Menjadi Pemimpin Visioner. Jakarta: YT Leadership Foundation, 2005.
_________, Kepemimpinan yang Dinamis. Malang: Gandum Mas, 2002.
_________, Kepemimpinan Kristen. Jakarta: YT Leadership Foundation, 2002.
Tong, Joseph. Pentingnya Kualitas dalam Pendidikan Teologi. Jurnal Teologi Stulos, 2003.
Tong, Stephen. Teologi Penginjilan. Surabaya: Momentum LRII, 1988.
Trull, Joe E. dan James E. Carter. Etika Pelayanan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Tulluan, Ola. Introduksi Perjanjian Baru. Malang: YPPII, 1999.
Varner, Iris dan Linda Beamer, Intercultural Communication in The Global Workplace. Mcgraw: Hill International, 2005.
Verkuyl, J. Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Wagner, C. Peter. Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh. Jakarta: Harvest Publication House, 1995.
Walterstorff, Nicholas P. Educating for Life: Reflections on Christian Teaching and Learning. Disunting oleh Gloria Stronks dan Clarence W. Joldersma. Grand Rapids:Baker Academic, 2002.
Walz, Edgar. Bagaimana Mengelola Gereja Anda? Diterjemahkan oleh S.M. Siahaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

Weld, W. C. The World Directory of Theological Education by Extension. South Pasadena: William Carey Library, 1973.
White, John. Kepemimpinan yang Handal. Diterjemahkan oleh Margaret D. Gunawan. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2001.
Widjaya, Arun. Teologi Kepemimpinan. Bekasi: ILB, 2013.
Wiersbe, Warren W. Setia di dalam Kristus. Bandung: Kalam Hidup, 1981.
_________, Setia di dalam Kristus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000.
W. N, Mcelrath dan Billy Mathias. Ensiklopedia Alkitab Praktis. Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1978.
Wofford, J.C. Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan. Diterjemahkan oleh Penerbit. Yokyakarta: Yayasan Andi, 2001.
Wongso, Peter. Theologia Penggembalaan. Malang: Seminar Alkitab Asia Tenggara, 1983.
_________, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini. Malang: Departemen Literatur Saat, 2001.

KAMUS
Ali, Muhhamad dan Iman. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia, t.t.
Browing, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.        
Drewes, B.F. Dkk. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru, 2 Jil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Layla, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Palanta, t.t.
JR, Barcklay M. Newman. Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Jhon Miller. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
W.J.S, Poerwadarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Sugono, Dendy. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Wojowasito, S. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris. Malang: Hasta, 1980.

INTERNET


Jangan Lupa Kunjungi Juga Web  dibawah ini ya: