BAB I
Hamba
Tuhan berarti berbicara tentang kepemimpianan yang merupakan suatu kapitalisasi
terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan yang menyangkut waktu, tempat,
dan situasi khusus yang mana di dalamnya ada campur tangan Allah.
Sebagai pelayan firman yang terpanggil dan sudah terdidik secara teologis, hamba Tuhan atau gembala bahkan rekan kerjanya melakukan banyak tugas yang diketahui sebagai fungsi-fungsi pastoral. Fungsi-fingsi ini salah satunya adalah memimpin kebaktian atau berkhotbah. Mungkin ada orang lain dalam jemaat yang mempunyai pengetahuan yang sama atau bahkan lebih mengenai pelayanan dibandingkan pendeta, tetapi ia sendiri karena terpanggil, mempunyai wewenang melaksanakan fungsi-fungsi pastoral dalam gereja tersebut.
Hamba
Tuhan adalah pemimpin rohani. Pemimpin rohani berarti pemimpin yang mengenal
Allah secara pribadi dalam Kristus dan memimpin secara kristiani. Pemimpin
rohani adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan
sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas
yang benar dan tertinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah.
Sedangkan sifat-sifat spiritualitas kristianinya menyebabkan ia sanggup
mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah.
Sebab daya pengaruhnya bukan dari kepribadian dan ketrampilan dirinya sendiri,
tetapi dari kepribadian yang diperbaharui Roh Kudus dan karunia yang dianugerahkan
Roh Kudus.[1]
Sebagai
seorang hamba Tuhan juga mengawasi berbagai aktivitas orang lain yang juga
melakukan sebagian fungsi pastoral, terkadang sebagian anggota yang diawasinya
telah terlatih secara profesional dalam bidang keahliannya, tetapi sebagian
lainnya secara sukarela tanpa pernah menerima pelatihan. Bila pelatihan
sebelumnya masih minim, maka hamba Tuhan sebagai pengawas yang harus memberikan
instruksi selain bertindak sebagai konsultan dan membantu mereka merencanakan
kegiatan, mengamati serta mengawasi kinerja mereka.
Dalam
menjalankan peran sebagai pemimpin rohani ketika bekerja sama dengan
orang-orang lain dalam pelayanan. Hamba Tuhan menjadi pembimbing dan pelatih
bagi orang-orang yang membantunya termasuk pada sukarelawan. Tentu saja, fungsi
pengawasan pastoral ini merupakan kombinasi antara kepemimpinan rohani dan manejerial. Kesatuan antara satu dengan
yang lainnya tergantung pada minat serta kemampuan hamba Tuhan maupun kemampuan
orang-orang yang bekerja sama dengannya.[2]
Sikap
sebagai seorang hamba. Sebagaian orang kesulitan menghubungkan kepemimpinan
dengan sikap sebagai seorang hamba, tetapi hal itu menjadi lebih muda ketika
seseorang mempelajari teladan Tuhan dalam Yohanes 13 dan pengajaran-Nya dalam
Matius 20:28. Melihat pelayanan dan teladan tersebut bahwa yang paling Dia
pentungkan adalah kebutuhan-kebutuhan mereka yang dilayani-Nya, dan komitmen total-Nya adalah
kesejahteraan mereka. Dan seorang hamba Tuhan takkan pernah melakukan hal itu
dengan kekuatannya sendiri, tetapi ketika hamba Tuhan tersebut menerima salib
Kristus sebagai prinsip, hal itu menjadi kunci bagi gaya hidup mereka.
Hamba
Tuhan bukan untuk mencari keuntungan materi maupun non-materi, melainkan untuk
pelayanan yang menempatkan posisinya di bawah kontrol Kristus dan bukan menjadi
orang nomor satu dalam gereja, sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia memimpin
namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, yang berdasarkan karakter yang baik
dan teruji. Otentisitas hamba Tuhan bergantung pada ketaatannya terhadap Kristus
dan meneladani Kristus, dengan otentisitas tersebut maka hamba Tuhan memiliki
legitimasi dan otoritas untuk memimpin.[3]
Berbicara
mengenai karakteristik hamba Tuhan merupakan pokok penting dalam pelayanan.
Salah satu karakternya ialah memiliki teladan atau menjadi model yang merupakan cara paling ampuh untk
memerangi sesama. Hamba Tuhan dengan kapasitas untuk meniru, dan teladan
merupakan salah satu bentuk pengajaran yang paling sederhana. Para hamba Tuhan
akan menemukan dirinya lebih diterima jika mereka dapat menunjukkan bahwa
mereka menguasai prinsip-prinsip rohani dan dapat menerapkannya secara efektif
terhadap kehidupan serta situasi. Dan seorang hamba Tuhan juga perlu menerima
tanggungjawab atas pelatihan lebih lanjut bagi mereka yang menjadi tanggung
jawabnya.
Ketika
seorang hamba Tuhan tidak mempunyai
karunia dan tidak mengunjungi para anggota tim, mereka yang berada di bawa
merasa ditelantarkan dan mungkin mengembangkan sikap yang negatif, mengeritik,
dan mungkin menuntut kepada konflik. Penyebab sesungguhnya mungkin saja komunikasi
yang kurang, hal itu bisa terjadi ketika seorang pemimpin tidak mempunyai keterampilan
sehingga menuntun kepada beban kerja yang tidak merata, moral yang rendah dan
sebagainya.[4]
Gowett
berkata, “Tidak perlu terlalu lama seorang hamba Tuhan menghadapi sesuatu kenyataan
yang menakutkan.” Mereka sering kali sibuk dengan perkara rohani tetapi mereka
sendiri tidak rohani. Mereka seperti rambu-rambu lalulintas yang bisa menunjukkan
jalan tetapi tidak bergerak untuk melakukannya. Hamba Tuhan yang berpegang pada
paham ini atau bersikap demikian, akan terlihat akibatnya sewaktu ia
mengunjungi salah satu jemaatnya. Seorang hamba Tuhan adalah wakil Allah maka
karakternya harus menjadi teladan.
Semua
hal disadari atau tidak, lambat laun akan menjurus kepada lemahnya keadaan
gereja dan jemaat. Dan menjadikan pembaharuan serta perkembangan jemaat
berjalan di tempat bahkan ironisnya akan menjadikan iman jemaat mati. Untuk itu
diperlukan sebuah langkah yang benar-benar baik untuk perkembangan jemaat.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah pembaharuan diri hamba Tuhan
secara holistik (menyeluruh) yang nantinya diharapkan bermuara pada pembaharuan
gereja dan jemaat serta masyarakat itu sendiri.
Arti kepemimpinan rohani,
ada beragam definisi mengenai kepemimpinan rohani atau Kristen. Menurut Sanders, “Kepemimpinan adalah pengaruh,
”Sedangkan menurut Clinton, “Tugas
utama pemimpin adalah mempengaruhi umat Allah untuk melaksanakan rencana
Allah.” George Barna mengatakan bahwa, “Seorang pemimpin Kristen yaitu seorang
yang dipanggil oleh Allah untuk memimpin, dia memimpin dengan dan melalui
karakter seperti Kristus dan menunjukkan kemampuan fungsional yang memungkinkan
kepemimpinan efektif terjadi.” Henry dan Blackaby mengatakan bahwa, “Kepemimpinan
rohani adalah menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah.”
Dari
beberapa definisi di atas terlihat bahwa kepemimpinan rohani memiliki persamaan
dengan kepemimpinan umum dalam hal mempengaruhi atau menggerakkan orang lain,
mensyaratkan kemampuan fungsional dan membimbing kepada tujuan tertentu.
Sedangkan perbedaannya, kepemimpinan rohani berdasarkan panggilan Allah, bukan
dari manusia atau organisasi; melaksanakan tugas dalam lingkup agenda atau rencana
Allah, dengan berdasarkan karakter Kristus, dan menuntun kepada tujuan yang
Allah kehendaki, bukan tujuan organisasi atau manusiawi dan yang memiliki sifat khas kepemimpinan rohani
berdasarkan prinsip Alkitab yang menghambakan diri. Identitas pemimpin Kristen
adalah sebagai “hamba.”[5]
Pentingnya
pelayanan seorang hamba Tuhan adalah menjadi dokter rohani dan merupakan pembimbing
yang dalam pelayanannya harus mengetahui kebutuhan anggota jemaatnya, sehingga
hal-hal buruk yang sering terjadi dapat dihindari dan dapat terselesaikan.
Seorang hamba Tuhan juga harus memiliki prinsip dalam pelayanan yakni,
menghargai dan menghormati setiap orang yang datang kepadanya, memiliki iman
yang teguh, senantiasa bersimpati dan memiliki pengertian bagi semua orang,
serta dengan segenap hati menganalisis secara obyektif dari setiap keluhan dari
warga jemaat.[6]
Ada banyak istilah yang
digunakan untuk menyebut para pelayan Tuhan (pelayan gereja) antara lain:
pelayan, hamba, pekerja, suruhan Tuhan, utusan Tuhan, abdi Allah, pendeta,
evanggelis, gembala sidang, guru Injil, pengajar dan pemberita Injil, dll. Kata
“pelayan” menunjuk kepada
pekerjaan yang melayani “tuan” (Tuhan), yang melayani semua kebutuhan tuannya.
Sementara kata “hamba” atau “abdi” menunjuk kepada adanya
kerendahan status di hadapan tuan dan majikannya. Pekerjaannya pun hampir tidak
mengenal batas-batas tertentu karena tergantung sepenuhnya kepada tuan atau majikannya.
Latar Belakang Permasalahan
Pemimpin rohani muncul bukan menurut kemauan atau ambisi
pribadi, melainkan karena tindakan Allah yang mempersiapkan, memanggil,
menetapkan dan membimbingnya dalam mencapai tujuan-tujuan dari Allah.
Berbicara mengenai karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor merupakan pokok
penting yang harus ada pada setiap hamba Tuhan. Diera dewasa ini banyak orang
yang ingin menjadi pekerja atau hamba Tuhan yang berguna dalam jemaat, namun
sifat dan karakter terkadang tidak
memberi teladan.
Eksistensi dan tujuan gereja Tuhan ditengah dunia
ini sungguh baik, keunikannya adalah Tuhanlah yang membangunnya dan jelas pula
tujuannya, yaitu agar menjadi saksi-Nya, yang mana di atas pengakuan rasul
Petrus tentang kemesiasan Yesus, maka
Tuhan meneguhkan perkataan tersebut dengan menyatakan: “Engkau Petrus dan di atas
batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan
menguasainya.” Dan diatas pengakuan atau kepercayaan yang kokoh inilah jemaat
atau gereja Tuhan berdiri, itu sebabnya pengertian gereja bermakna persekutuan
orang-orang percaya.[7]
Bila sebuah bangunan berdiri kokoh dan
tidaknya sangat ditentukan oleh fondasinya, maka dalam batas tertentu
keberadaan jemaat yang bergerak akan sangat ditentukan oleh para pelayannya
atau pemimpin jemaat. Warren, didalam lingkup persekutuan orang-orang percaya
yang lebih kecil pun memerlukan sosok orang yang mengaturnya. Bila pemimpin
persekutuannya rajin dan bersemangat, akan dengan sendirinya persekutuan itu
akan hidup dan bersemangat pula, dan sebaliknya jikalau pemimpinnya kurang ada
perhatian maka dengan sendirinya persekutuan itu akan suam-suam saja.
Kualitas
pelayanan adalah segmen penting bagai seorang hamba Tuhan yang mana adalah
konselor dalam pertumbuhan kerohanian iman jemaatnya. Bertumbuh dan tidaknya
pelayanan seorang hamba Tuhan, ditentukan oleh motiv atau motivasi yang berarti
berbicara tentang kualitas rohani, yang bukan semata-mata persoalan kecakapan
menyangkut potensi-potensi kemanusiaan, tetapi persoalan ketulusan, kemurnian
hati nurani. Jika seorang hamba Tuhan memiliki motivasi yang benar, mempunyai
kecakapan dalam pengajaran, peka dan jeli memperhatikan kehidupan jemaatnya,
maka kadar kehidupan rohani serta pertumbuhan iman jemaatnya tidak akan pudar.[8]
Ledakan pertumbuhan gereja di abad
ke-21 hingga memasuki milenium ke-3 ini sungguh dasyat. Multiplikasi orang
percaya selama abad ini melebihi jumlah orang Kristen abad sebelumnya. Dimulai
dari 12 murid, kini mencapai 2,1 miliyar lebih. Fenomena spektakuler ini
jelas melegitimasi karya Roh Kudus yang telah memberikan kuasa (dunamos) kepada
orang percaya dan secara khusus kepada hamba-hamba Tuhan yang telah dipilih-Nya
sebagai pengajar dan pemberita Injil masa kini. Fakta menggembirakan itu
semakin mengokohkan keyakinan orang percaya seluruh dunia bahwa Allah sedang
terus bekerja.
Namun berbarengan dengan itu ada fakta lain yang patut diperhatikan.
Pertumbuhan iman jemaat di dalam gereja terus-menerus dihadang ancaman.
Kehancuran moral dan penyesatan doktrinal (ajaran). Dewasa ini banyak hamba
Tuhan dalam gereja yang telah kehilangan ciri khasnya, sebagai seorang konselor
jemaat. Para pemimpin gereja yang seharusnya menjadi gembala bagi jemaatnya
telah banyak mengalami perubahan yang signifikan. Banyak hamba Tuhan yang hanya
mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan mulai melupakan panggilannya
sebagai hamba Tuhan.[9]
Adapun latar belakang permasalahannya
yaitu:
Pertama, para gembala dan pejabat gereja
kurang memahami Alkitab.
Kedua, pertumbuhan iman jemaat di gereja
terus-menerus mengalami ancaman yaitu kehancuran moral, penyesatan doktrinal,
dan banyak para hamba Tuhan yang
tidak peduli dengan pertumbuhan iman jemaatnya, serta hanya terpaku pada
pertumbuhan jumlah jemaat.
Ketiga, banyak hamba Tuhan yang hanya
mementingkan diri dan keluarganya, sehingga melupakan panggilannya.
Keempat, gembala dan pejabat gereja lebih
terfokus pada kegiatan rutinitas yang bersifat jasmani, yaitu kegiatan-kegiatan
organisasi.
Kelima, peran lingkungan dan budaya juga
merupakan salah satu faktor yang menjadi penghambat akan pertumbuhan kerohanian
jemaat.
Keenam, para pejabat gerejawi tidak lagi
memperluaskan pelayanan rohani dan masa bodoh terhadap pertumbuhan iman jemaat.
Realitas inilah yang menjadi faktor
permasalahan. Dari uraian di atas membuktikan bahwa karakter seorang hamba
Tuhan menentukan pertumbuh iman jemaatnya, yang mana mereka adalah pelayan
jemaat. Oleh karen itu, skripsi ini diberi judul: “Karakteristik hamba Tuhan
sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat berdasarkan 1 Timotius 3:1-7 dan
implementasinya bagi para gembala sidang GKI Maranata Argapura 1-3 Jayapura.
Banyak indikasi bahwa rasul Paulus
bukan orang yang senang berleha-leha dan berpuas diri karena memiliki banyak
kemampuan alamia, kecerdasan yang hebat, atau bakat kepemimpinan. Dengan
demikian Paulus menggarisbawahi bahwa, yang sangat penting, menentukan, tidak
tergantikan, dan tidak dapat ditawar, agar seseorang layak dipertahankan
sebagai pemimpin atau pelayan, orang tersebut harus memiliki disiplin diri.[10]
Karakter Allah yang kekal dan tidak
berkompromi adalah standar yang tidak berubah yang memberikan arti tertinggi
kepada kasih, kesetiaan, dan panjang sabar. Dan panggilan yang luar biasa dari
Injil ialah bahwa semua makluk harus mengapresiasikan karakter Bapa dalam hidup
ini, karena pribadi yang hakekat-Nya kebaikan, Dia yang berjanji memberikan
kuasa kepada orang percaya untuk hidup menurut kehendak-Nya. Orang tidak
terkesan dari tampang luar atau manipulasi karena karakter bukan hanya masalah
teknik disisi luar saja, melainkan realitas yang ada di dalam diri seseorang.
Allah memperhatikan seperti apa manusia sesungguhnya ketika tidak ada orang
yang memperhatikan.[11]
Alasan
Pemilihan Judul
Berdasarkan analisis
yang terjadi sekarang ini, telah terjadi krisis identitas dan integritas
sebagai seorang hamba Tuhan (pendeta, penetua dan diaken), serta dapat
disebutkan sudah berada pada tahap emergency dalam pelayanan di tengah-tengah
warga masyarakat dan terlebih lagi warga jemaat. Hal ini telah berdampak
negatif pada sebagian warga jemaat yang tidak lagi menjadikan pendetanya
sebagai seorang gembala, pembimbing spiritual, dan tempat curhat kerohaniannya.
Dampak ini juga berakibat fatal pada jemaat, yang menjadikan sebagian besar
warga jemaat pindah tempat (gereja) dan
hamba Tuhan yang menurut mereka jauh lebih profesional, serta dapat menjawab
sekaligus memberikan solusi atas pergumulan hidup yang mereka hadapi.
Setiap pemerintahan mempunyai
kepala, tanpa kepala, pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik. Kristus
adalah kepala gereja. Kepemimpinan Kristus adalah otoritas-Nya, keTuhanan-Nya,
kepemerintahan-Nya, dan kerajaan-Nya. Kristus adalah kepala gereja lokal, namun
Ia memerintah melalui para pemimpin yang dipilih-Nya dan memenuhi syarat atau
koridor yang telah Ia tetapkan untuk melakukan tugas. Sangatlah penting bagi
para pelayan gereja untuk membangun dengan ketetapan yang alkitabiah dan
kebijaksanaan yang saleh. Para penatua, khususnya orang yang ditetapkan harus
memiliki pemahaman yang jelas, mantap dan alkitabiah mengenai pemerintahan
gereja, baik secara rohani maupun secara praktis.
Adapun alasan pemilihan judul ialah:
Pertama, untuk memberikan pemahaman yang
benar tentang karakteristik seorang hamba Tuhan berdasarkan Alkitab.
Kedua, untuk menyadarkan para hamba Tuhan
sebagai konselor yang memelihara kesucian hidup, serta pentingnya kerjasama
antara pemimpin dan para pengerja gereja, demi mewujudkan visi dan misi yang
telah ditetapkan.
Ketiga, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang betapa
pentingnya pastoral konseling, sehingga jemaat tidak terpecah belah atau pindah
gereja melainkan sebaliknya semakin bertumbuh dalam iman dan pengharapan kepada
Kristus.[12]
Keempat, melalui penulisan ini, diharapakan
kepada para hamba Tuhan, jemaat serta para pembaca agar menjadi seorang hamba
Tuhan, maka kenalilah diri sendiri dan siap melayani yang bukan sekedar teori
tetapi mengaplikasikan teorinya dalam praktek hidup berdasarkan firman Tuhan.
Problem
Statement
Adapun
problem statement karya ilmia ini adalah banyaknya hamba Tuhan yang tidak
memperlihatkan karakteristiknya sebagai seorang konselor berdasarkan firman
Tuhan, sehingga berdampak pada pertumbuhan iman jemaat atau kerohanian jemaat.
Perumusan Masalah
Sesuai
dengan permasalah yang sudah penulis paparkan sebelumnya tentang karakteristik hamba
Tuhan sebagai konselor bagi pertumbuhan iman jemaat berdasarkan 1 Timotius
3:1-7 dan implementasinya bagi hamba Tuhan di gereja kristen Injili (GKI)
Maranatha argapura 1-3 Jayapura maka penulis akan merumuskan masalah-masalah
sebagai berikut:
Pertama,
seperti apakah karakter seorang hamba Tuhan berdasarkan Alkitab?
Kedua,
mengapa kepribadian seorang hamba Tuhan merupakan salah satu pokok penting
dalam pelayanan?
Ketiga,
apa dampak karakter seorang hamba Tuhan terhadap pertumbuhan dan pelayanan
gereja?
Keempat,
apa yang menjadi tolak ukur seorang hamba Tuhan?
Tujuan Penelitian
Untuk
melihat seberapa jauh dampak dari tulisan ini, diharapkan akan terungkap
melalui pentingnya penelitian yang di adakan oleh penulis dengan beberapa fakta
positif, data yang akurat, aktual, valid dan jawaban yang komprehensif dari
tulisan ini sehingga mencapai kebenaran yang tepat, tentang karakter hamba
Tuhan sebagai konselor dalam pertumbuhan iman jemaat.
Penelitian
ini diadakan untuk menjawab setiap permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya.
Pertama,
penulis ingin mengungkapkan kebenaran bahwa, hamba Tuhan berperan sangat
penting untuk pertumbuhan iman jemaat.
Kedua,
untuk menggali dan memaparkan berbagai data dan bukti-bukti berdasarkan Alkitab
terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan karakter seorang hamba Tuhan yang
mutlak harus menjadi teladan bagi jemaat.
Ketiga,
untuk menyadarkan setiap hamba Tuhan agar dapat mengaplikasikan karakter yang
benar dalam pelayanan.
Keempat,
melalui penulisan ini diharapkan kepada para hamba Tuhan, agar menjadi konselor
yang konservator terhadap warga jemaat agar iman jemaat tersebut tidak mati
melainkan bertumbuh dengan sehat.
Proposisi
Sebagai
acuan dalam penulisan ini, maka penulis menetapkan beberapa keyakinan sementara
sebagai berikut:
Pertama,
dalam 1 Timotius 3:1-7 jelas bahwa seorang hamba Tuhan harus memiliki kualitas
rohani yang baik.
Kedua,
dari kesaksian Alkitab memberikan pandangan bahwa seorang hamba Tuhan harus
memiliki intensitas dan komitmen menjadi pelayan.
Ketiga,
untuk merumuskan konsep yang benar tentang karakter seorang hamba Tuhan yang
adalah dokter rohani dalam perumbuhan iman jemaat.
Keempat,
pentingnya kerja sama antara gembala, para pengerja gereja dan jemaat, demi
mencapai visi dan misi.
Kelima,
di dalam pelayanan, seorang hamba Tuhan harus memelihara kesucian hidup.
Ruang
Lingkup Penelitian
Dari
berbagai penjelasan yang telah diuraikan terlebih dahulu maka penulis akan
beroreantasi pada teks 1 Timotius 3:1-7, dimana penulis akan berusaha untuk
membatasi penulisan supaya tujuan yang dibahas dalam skripsi ini dapat dicapai,
dalam penelitian yang pertama bagaimana karakteristik hamba Tuhan sebagai
konselor dalam pertumbuhan iman jemaat. Dalam skripsi ini penulis akan
membuktikan dan memberikan argumentasi yang sesuai dengan kebenaran Alkitab dalam
1 Timotius 3:1-7 yang mana Tuhan menghendaki agar hamba Tuhan menjadi pelayan
yang berkualitas, sesuai syarat-syarat yang diajukan Paulus. Persyaratan ini
menginspirasi para hamba Tuhan bahwa, sebagai pelayan jemaat dituntut agar
benar-benar memiliki kepribadian yang baik dan kecakapan untuk melaksanakan
tugas yang sangat mulia dan berharga itu. Lebih dari itu seorang pelayan juga
dituntut memiliki reputasi yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Jika diperhatikan paling sedikit ada empat belas (14) syarat
yang dituntut dari seorang pelayan yaitu; tidak bercacat,
memiliki satu istri atau suami, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka
memberi tumpangan, cakap mengajar, bukan peminum, bukan pemarah melainkan
peramah, pendamai, bukan hamba uang, kepala keluarga yang baik, disegani dan
dihormati oleh anak-anaknya, bukan baru bertobat, mempunyai nama baik di luar
jemaat. Dengan demikian, penulis akan memberikan pengartian dari beberapa kata
kunci yakni:
Pertama,
“penilik jemaat” dalam bahasa Yunani evpi,skopoj (episkopos) yaitu seorang yang mempunyai kewajiban
pastoral; gembala, pengawas yang bertanggungjawab mengawasi pekerjaan jemaat.[13]
Penilik jemaat sekaligus menjadi gembala bagi saudara-saudaranya dalam Yesus
Kristus dan akan membimbing, menyokong, dan menolongnya, sebagaimana Yesus
adalah gembala yang baik akan membimbingnya.[14]
Kedua, “haruslah”, dalam bahasa Yunani dei (dei), yang
berarti harus, patut. Dalam Kamus Bahasa Indonsia “haruslah” artinya wajib,
mesti (tidak boleh tidak).
Ketiga, “tak bercacat” dalam bahasa Yunani avnepi,lhptoj (anepileptos)
yang artinya tak bercela; tak bercacat.[15] Tak
bercacat artinya tidak ada kekurangannya, tidak ada cacatnya,
lengkap dan sempurna.
Keempat, “dapat menehan diri” dalam bahasa Yunani nhfa,leoj (nephaleos),
yang berarti yang dapat menahan diri, yang jiwanya atau pikirannya tenang.[16]
Kelima, “bijaksana” dalam bahasa Yunani sw,frwn (sophron), yang
berarti bijaksana, hati-hati, menjaga diri; sederhana, murni.
Keenam, “sopan” dalam bahasa Yunani, ko,smioj (kosmios), yang
berarti sopan. Beradap tentang tingkalaku, tutur kata dan pakaian.
Ketujuh, “cakap mengajar” dalam bahasa Yunani didaktiko,j (didaktikos),
yang berarti yang pandai mengajar. Memiliki kemampuan dan kepandaian dalam
pengajaran.
Kedelapan, “bukan peminum” dalam
bahasa Yunani mh pa,roinoj (me paroinos), yang berarti jangan, bukan
peminum. Orang yang bukan penggemar minum minuman keras.
Kesembilan, “bukan pemarah”, dalam bahasa Yunani mh plh,kthj (me plektes),
yang berarti bukan pemarah, kasar atau tukang berkelahi.
Kesepuluh, mempunyai “nama baik” dalam bahasa Yunani marturi,a (marturia), yang berarti kesaksian nama baik, tidak jahat
tentang kelakukan budipekerti dan keturunan.
Metode dan
Prosedur Peneltian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan
metode penelitian kepustakaan. Maksudnya bahwa penelitian-penelitian melalui
buku-buku yang berkaitan dengan karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor
dalam pertumbuhan iman jemaat.
Pertama, penulis akan menggunakan literatur
atau pustaka yang beroreantasi seputar karakteristik hamba Tuhan sebagai
konselor dalam pertumbuhan iman jemaat.
Kedua, penulis tidak hanya menggunakan
metode study literatur tetapi tetapi juga menggali pemahaman yang baru melalui
penggalian Alkitab yang baik dan utuh.
Ketiga, penulis akan menggunakan buku-buku
pegangan yang membahas tentang karakteristik hamba Tuhan sebagai konselor dalam
pertumbuhan iman jemaat.
Keempat, Penulis akan menggunakan
komunikasi dan konsultasi dengan dosen pembimbing untuk memperoleh sejumlah informasi,
baik berupa pikiran, koreksi, arahan, untuk melengkapi dan memperbaiki tulisan
ini menjadi lebih baik.
Definisi
Istilah
Agar keseluruhan pokok dalam skripsi
ini dapat dimengerti dengan baik, maka penulis perlu mendefinisikan beberapa
istilah yang dipakai dalam penulisan skripsi ini.
Pertama, kata “Karakteristik”.
Karakteristik dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata dasar karakter
yang artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seorang dari yang lain; tabiat; watak. Jadi karakteristik adalah ciri-ciri
khusus.[17]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti: Sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Saunders, menjelaskan bahwa karakter adalah
sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang
dapat diamati pada individu. Gulo, menjabarkan bahwa karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau
moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap. Kamisa, mengungkapkan bahwa karakter adalah
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain, tabiat, watak.
Berkarakter
artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Wyne, mengungkapkan bahwa kata
karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to mark” yaitu
menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang
berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang
berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka menolong
dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat
kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang.
Alwisol,
menjelaskan pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah laku
dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun
implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian kerena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun
karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan sosial, keduanya
relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas
individu.[18]
Kedua, kata “hamba
Tuhan” budak, seorang budak. Artinya, orang yang memberikan
dirinya untuk orang lain atau bekerja untuk orang lain. Hamba Tuhan berarti
orang yang menjadi milik Allah, berbakti kepada Allah, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai panggilan hidupnya serta mengabaikan
kepentingan sendiri.[19]
Ketiga, kata “konselor” ialah anggota (staf) perwakilan di luar negeri,
kedudukannya di bawah duta besar dan bertindak sebagi pembantu utama (pemangku)
kepala perwakilan; orang yang
melayani konseling; penasihat; penyuluh.[20]
Keempat, kata “Pertumbuhan”. Pertumbuahan
adalah dari kata tumbuh (hidup) dan bertambah besar atau sempurna. Jadi
pertumbuhan adalah hal (keadaan) tumbuh; perkembangan (kemajuan).[21]
Kelima, kata “iman” dalam kamus bahasa
Indonesia berarti kepercayaan, berkenan, ketetapan hati, keteguhan hati.[22]
Brill dalam buku “dasar yang teguh” Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang
kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat, dan yang
menjadi dasar keyakinan adalah Firman Tuhan. Dalam terjemahani Ibrani “iman”
berarti” menyokong atau meneguhkan, sedangkan dalam terjemahan Yunani “iman”
atau “percaya” berarti berharap kepadanya atau bersandar kepadanya.[23]
Kalau melihat kata “iman” dan kata kerjanya “percaya” keduanya sering muncul dalam
Alkitab, yang merupakan istilah penting yang menggambarkan hubungan antara umat
atau seseorang dengan Allah. Khususnya dalam Perjanjian Baru, kata “iman” yang
dipakai merupakan terjemahan dari kata Yunani pi,stij (pistis), sedangkan kata kerjanya
“percaya” adalah terjemahan dari kata pisteu,w (pisteuo) yang
berarti keadaan yang benar dan dapat dipercaya atau diandalkan.
“Iman” menurut kepercayaan Kristen
dapat diartikan sebagai “percaya” terutama reliabilitas (prihal yg brsifat
andal) Allah. Pengertian moderen mengenai “iman” adalah semacam pengetahuan
yang lebih rendah atau penerimaan pendapat atau cerita, yang tidak sepenuhnya
dapat dibuktikan. Iman menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah, akidah
(keyakinan dasar) kepercayaan kepada Tuhan (berkaitan dengan agama); keyakinan
dan kepercyaan kepada Allah, Nabi, Kitab Suci, dsb.; Ketetapan; keteguhan hati.[24]
Keenam, kata “Jemaat”. Jemaat dalam kamus
lengkap bahasa Indonesia artinya himpunan umat (terutama dalam Kristen).[25]
Sistematika
Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini disusun
secara sisitimatis berdasarkan pembahasan yang tersusun secara kreatif agar
dapat dimengerti dengan maksud yang ditentukan dan yang diinginkan. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka penulisan skripsi ini djelaskan berdasarkan
dengan bab-bab tertentu.
Bab 1, adalah Pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang permasalahan, alasan pemilihan judul, problem
statement, perumusan masalah, tujuan penelitian, proposisi, ruang lingkup
penelitian, metode dan prosedur penelitian. Definisi instilah dan sistematika
penulisan.
Bab II, adalah Pengertian hamba
Tuhan dan peranannya terhadap jemaat, pengertian hamba Tuhan,
peranan hamba Tuhan, hamba Tuhan sebagai konselor, hamba Tuhan sebagai teladan,
hamba Tuhan sebagai pemimpin, hamba Tuhan sebagai agen perubahan.
Bab III, menjelaskan tentang tinjauan
teologis tentang karakteristik hamba Tuhan berdasarkan 1 Timotius 3:1-7.
Latar Belakang Kitap 1 Timotius, Penulisan Kitab 1 Timotius, Tahun Penulisan
Kitab 1 Timotius, Tujuan Penulisan Kitab 1 Timotius, Garis besar Kitab 1
Timotius dan Eksposisi 1 Timotius 3:1-7.
Bab IV, Implementasi bagi hamba
Tuhan di Gereja Kristen Injili Maranatha Argapura 1-3 Jayapura. Hamba
Tuhan harus memiliki kualitas rohani, hamba Tuhan harus memiliki reputasi yang
baik, hamba Tuhan harus memiliki tanggung jawab, mahasiswa teologi dan orang percaya.
Bab V, Penutup. Kesimpulan, saran
dan pustaka.
[1]Bd. J. Oswald
Sanders, Kepemimpinan Rohani (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1979), 21.
[2]Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda? pen., S.M. Siahaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), 8.
[3]John
Adair, Inspiring Leadership (London:
Thorogood, 2002), 344.
[4]Stewart Dinne, You Can Learn to Lead, pen., Arvin
Saputra (Yogyakarta: Andi, 2009), 61-2
[5]George
Barna, Leaders On Leadership (Malang:
Gandum Mas, 2002), 22-6.
[6]Peter Wongso, Thelogia Penggembalaan (Malang: Seminar
Alkitab Asia Tenggara, 1996), 27.
[7]Arun Widjaya, Teologi Kepemimpinan (Bekasi: ILB,
2013), 34.
[8]G Sudarmanto, Menjadi
Pelayan Kristus yang Baik (Malang: Departemen Multimedia
(bidang literatur) YPPII, 2009), 6.
[9]John E
Ingauf, Sekelumit Tentang Gembala Sidang
( Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001), 47-8.
[10]Jhon Macarthur, Kitap Kepemimpinan, pen., Djoni Setiawan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 184.
[11]Kenneth Boa, The Perfect Leader, pen., Bayu Sudi Gunawan (Malang: Gandum Mas, 2009),
34.
[12]J.L.Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 6.
[14]M. Bons-Strom, Apakah penggembalaan itu? (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2018), 23.
[15]Barcklay M. Newman JR, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian
Baru, pen., Jhon Miller (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 12.
[16]Ibid., 112
[17]Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 623.
[18]http://pustaka.pandani.web.id/2013/03/pengertian-karakter.html
[19]W. N. Mcelrath-Billy Mathias, Ensiklopedia Alkitab Praktis (Bandung:
Lembaga Literatur Babtis, 1978), 49.
[21]Poerwadarminto W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987), 1220.
[22]Muhhamad Ali, Iman, dalam Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
PT. Gramedia, t.t), 433.
[23]J Wesley Brill, Dasar yang Teguh (Bandung: Kalam Hidup, 2004),
214.
[24]W.R.F Browing, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 150.
[25]Layla, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Palanta, t.t), 262.
________________________________________________________________________
BAB II
PENGERTIAN HAMBA
TUHAN DAN PERANANNYA
Banyak
orang yang tidak mengerti arti dari hamba
pada zaman moderen sekarang. Pada zaman dahulu, dunia masi dalam zaman
perbudakan, dimana manusia dapat diperjual belikan, seorang hamba belian, tidak
berhak untuk memiliki, baik dirinya sendiri, istri dan anak-anaknya adalah
milik tuannya, yaitu orang yang membelinya. Hidupnya sepanjang masa hanya untuk
melayani pekerjaan yang diperintahkan oleh tuannya. Jika dia tidak menuruti
perintah tuannya akan mendapat hukuman. Bersyukur setelah manusia mengenal
Allah melalui Alkitab oleh pemberitaan Injil, maka manusia memperoleh hak
kebebasan dari perbudakan Iblis. Umat kristen adalah manusia yang mengaku
dirinya adalah umat Allah. Sebagai umat tebusan, baik dia pemimpin, pengusaha,
pekerja atau rakyat petani.[1]
Pengertian Hamba Tuhan
Hamba
Tuhan menurut pandangan Alkitab perjanjian baru, berasala dari kata δουλοω (douloõ)
melayani sebagai hamba (budak). Pada zaman Perjanjian Baru, seorang budak dapat
di beli atau dijual sebagai komoditi. David Watson menyatakan: “Seorang budak
adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri. Dalam
ketaatan penuh kerendahan hati ia hanya bisa berkata dan bertindak atas nama
tuannya. Dalam hal ini tuannya berbicara dan bertindak melalui dia”.
Benar-benar tak berdaya. Sebagai orang percaya berarti sebagai orang-orang yang
telah di merdekakan dari dosa dan menjadi hamba (doulos) kebenaran.
Kata
hamba dalam Perjanjian Lama yaitu ×¢ֶבֶד “eved” atau “ebed”, yaitu budak, hamba,
pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk
melaksanakan kehendak orang lain. Atau ia adalah pekerja milik tuannya. Diluar
Alkitab kata ×¢ֶבֶד “eved” berarti budak, hamba yang melayani raja; bawahan
dalam politik; keterangan tentang diri sendiri untuk menunjukkan kerendahan
hati; dan hamba-hamba dalam kuil-kuil kafir. Dalam hidup keagamaan Israel kata
itu dipakai untuk menunjukkan kerendahan diri seseorang dihadapan Allah. Jadi hamba Tuhan
berarti orang yang menjadi milik Allah, berbakti kepada Allah, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai panggilan hidupnya serta mengabaikan
kepentingan sendiri.[2]
Untuk menjadi
seorang hamba Tuhan yang berguna bagi Tuhan, maka seorang hamba Tuhan harus
mempunyai pusat atau tujuan dalam kehidupan yang bersifat luhur dan sesuai
dengan tujuan Tuhan. Seorang Ahli ilmu jiwa berkata, “Apabila motif seseorang
untuk menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan adalah sebagai suatu kompensasi,
demi menjadi seorang pemimpin yang tidak di peroleh dalam dunia dan mengimbangi
perasaan bersalah dalam hati nurani, akibatnya ialah dirinya menjadi pusat dari
tujuannya”. Dengan demikian ia tidak akan meninggikan Tuhan serta memuliakan
Allah.
Seorang hamba Tuhan harus bersandar akan anugerah Tuhan
untuk mengatasi segala kesulitan dan rintangan di dalam pelayanannya serta
bertekad menaati pengaturan Tuhan, dan senatiasa menaati apa yang dikatakan
Alkitab tentang dirinya.[3] Dan
Tuhan mempercayakan tugas mulia-Nya kepada orang percaya terutama kepada
hamba-hamba Tuhan demi melanjutkan karya Allah di dunia ini. Seperti yang telah
di Firmankan bahwa Injil Kerajaan itu akan diberiahukan di seluruh dunia, agar
sekalian bangsa dapat mendengar Injil, sesudah itu barulah tibah kesudahannya.[4]
Pelayanan yang dilakukan dengan penuh perhatian, sukacita,
totalitas, dan sepenuh hati, akan menjadikan pelayanan itu memiliki kekuatan
untuk menyentuh hati dan mempengaruhi
orang-orang yang di layani. Keindahan dalam pelayanan ada pada keindahan sifat
dan sikap untuk memberikan yang terbaik. Konsepsi para
hamba Tuhan tentang fungsinya dalam jemaat merupakan dasar motivasi kepelayanannya.
Kesadaran akan posisi hamba Tuhan selaku orang yang memiliki status sosial
rendah sesungguhnya akan mewarnai jiwa keselayanannya. Kita akan terlepas dari
arogansi, kesewenang-wenangan dan perasaan untuk berkuasa. Sesungguhnya
kekuatan spiritualitas para hamba Tuhan adalah dalam kerendahan hatinya di hadapan Tuhan dan juga
jemaat.
Istilah hamba Tuhan menyatakan apa
yang dirindukan seorang tuan dari seorang hamba yaitu ketaatan, kesetiaan dan
kesiapan. Dengan adanya ketiga hal ini dalam melakukan tugas pelayanan, seorang
hamba Tuhan melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati.
Sehingga ketika dia berbicara tentang hukum kesetiaan, maka seorang hamba harus
setia dalam perkara yang besar dan kecil, yang berarti seorang hamba harus
dapat dipercaya dan memiliki kredibilitas. Ketika di panggil menjadi hamba
Tuhan yang melayani sangatlah di perlukan sekali sebuah pemahaman yang baik dan
benar tentang tugas pelayanan yang terdapat dalam Alkitab.[5]
Seorang hamba Tuhan dipanggil untuk
melayani Tuhan dan pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan Tuhan yang di percayakan
kepadanya serta seorang hamba Tuhan hanya sebagai alat dalam tangan Tuhan.
Sebagai alat yang hidup, setiap hamba Tuhan memiliki kerinduan untuk dipakai
oleh Allah karena sebagai alat, hamba Tuhan hanya akan berguna jika dipakai
oleh Allah dan juga sebaliknya. Perlu juga di sadari bahwa pelayanan dan
pekerjaan yang di lakukan oleh seorang hamba Tuhan adalah pekerjaan rohani
sehingga setiap hamba Tuhan haruslah hidup rohani juga. Hal inilah yang membuat
seorang hamba Tuhan berbeda dengan jemaat.
Memperbaharui
diri untuk pembaharuan jemaat adalah tujuan akhir dari pembaharuan diri seorang
hamba Tuhan, yang dilakukan secara langsung bermuara pada terciptanya
pembaharuan jemaat (gereja). Jemaat sebagai Tubuh Kristus bukan hanya mengenal
dan memahami Kristus saja dalam hidupnya, tetapi juga perlu menjaga
keberimanannya kepada Kristus sebagai Allah. Dan hal ini hanya dimungkinkan
jika bimbingan secara rohani yang baik dari hamba Tuhan ada berlangsung
secara terus-menerus. Dalam hubungan ini seorang hamba Tuhan tidak semata-mata
melakukan tugas dan fungsinya yaitu berkhotbah di mimbar setiap minggunya, akan
tetapi perlu juga mengajar jemaat dengan berbagai hal yang penting dalam
kehidupannya (menjadi guru bagi jemaat), mulai dari hal yang bersifat rohani,
pendidikan, ekonomi dan juga hal lainnya.[6]
Dengan
fungsi tersebut, bukan saja dalam kehidupan pribadinya jemaat berkembang tetapi
juga dalam keikutsertaannya dalam kegiatan-kegiatan gerejawi. Hamba Tuhan selaku
penyambung lidah gereja dan jemaat seharusnyalah memperdengarkan firman Tuhan
kepada jemaat mengenai keadilan, kejujuran dan kesejahteraan yang harus dipelihara
oleh jemaat. Sehingga dalam setiap segi kehidupannya jemaat mampu untuk
bertindak dan berlaku adil bagi sesama dan juga orang lain. Dan dari hal tersebut
jemaat yang ada mampu menjadi jemaat yang benar-benar terbangun dari segi
kerohanian dan kehidupan menjadi jemaat yang misioner.[7]
Peranan
Hamba Tuhan
Kata
peranan dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya, tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dalam suatu peristiwa. Berbicara tentang peranan hamba Tuhan, termasuk
sesuatu yang kompleks, dalam hal ini para hamba Tuhan perlu mengetahui dan
mengerti dengan jelas apa yang diharapkan oleh Allah, anggota-anggota,
organisasi, dan oleh diri mereka sendiri.
Kehambaan menekankan presensia yang dinamis di tengah-tengah
mereka yang lain. Dengan demikian tidak bisa dikatakan pasif sama sekali karena
hamba Tuhan harus hidup berlaku adil,
mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah. Tugas
panggilan hamba Tuhan adalah kelanjutan dari misi Kristus yakni mengharuskan
gereja hidup berpadanan dengan Injil Kristus dan berdiri teguh dalam satu roh
dan satu tubuh, sehati sepikir berjuang untuk iman yang timbul oleh berita
Injil dan mengharuskan gereja saling memahami, memperhatikan dan melayani demi
kepentingan bersama.[8]
Peranan seorang hamba Tuhan yang dipanggil untuk
menggembalakan, ia sebenarnya bukan saja bertanggung jawab terhadap Tuhan dan
bertanggung jawab kepada gereja yang digembalakan tetapi ia juga bertanggung jawab
kepada ribuan jiwa yang belum di selamatkan, sebagai mana tanggung jawab
seorang hamba Tuhan ialah, melayani jemaat sebagai pelayan, memperlengkapi
anggota untuk melayani satu sama lain, kelompok maupun individu serta mewakili
jemaat bagi gereja maupun dunia. Dan melayani sebagai penasihat semua kelompok
dalam jemaat serta berperan sebagai pengawas dalam pelayanan.[9]
Sebagai Pelayan berarti tidak memerintah tetapi melayani.
Karena didalam gereja tidak ada istilah pendetakrasi, penatuakrasi atau
majeliskrasi melainkan kristokrasi. Tugas yang diberikan adalah melayani dan
melayani adalah kebalikan dari memerintah (Mat. 20:20-28; Mrk 10:35-45). Pada
waktu Yesus memerintah dibuat oleh orang-orang Farisi, Ia menghendaki supaya
murid-murid-Nya berbuat lain dari pada yang dibuat oleh orang-orang Farisi. Ia
melarang mereka untuk menyebut seorang dari mereka “guru”, karena mereka hanya
mempunyai satu Rabbi saja dan mereka semua adalah saudara (band. Mat. 23:8).
Dengan demikian, sebagai pelayan ditengah-tengah gereja, harus mampu memberikan
suatu keputusan, tetapi bukan atas prinsip dan kemauan sendiri, melainkan
dengan kehendak Yesus yang sesuai dengan Firman Tuhan (wibawa pelayan itu).
Berdasarkan hal-hal yang dijumpainya
dalam medan pelayanan yang cukup panjang, lebih dari 20 tahun, Trull dan Carter,
menyerukan pentingnya sebuah kode etik atau peraturan yang memandu perilaku
para pelayan Gereja atau “code of
conduct”. Namun, bagi keduanya, kode etik atau panduan perilaku lain
tidak harus menghilangkan kreativitas dan pengembangan otoritas kependetaan
atau pelayan gereja. Hal itu tidak bisa terlalu rinci dan kaku, atau sebaliknya
longgar dan tak ada petunjuk jelas. Mungkin lebih tepat adalah sebuah prinsip
yang bisa dikembangkan oleh para pelayan gereja secara kreatif.
Sebagai
prinsip dia harus cukup jelas, tetapi tidak harus mengatur secara detail
tentang perilaku para pelayan. Sebab, kehidupan pelayanan gereja adalah sebuah
ruang di mana kreativitas, kemandirian, dan kematangan personal dan moral
sangat diperlukan. Dengan prinsip itu, para pelayan akan terus didorong
mengembangkan pemikiran teologis dan etis yang berguna bagi pengembangan jemaat
dan pribadi demi pertumbuhan pelayanan gereja, baik untuk warganya dan
masyarakat yang lebih luas. Pendeta atau hamba Tuhan yang kreatif, mandiri,
dewasa secara etis dan moral akan mampu tidak hanya menolong jemaat menghadapi
kerasnya kehidupan dunia, tetapi juga mampu membawa gereja secara
organisasional dalam berdialog dengan masyarakatnya, sehingga gereja akan
selalu menjadi tempat bagi pencarian sumber moralitas dan etika bagi setiap
orang.
Hamba Tuhan bukan seorang event
organizer, mengatur berbagai acara yang wah. Dia bukan seorang CEO gereja, yang
bisa mengatur strategi bagaimana gereja bertumbuh. Dia bukan seorang
administrator ulung, yang kerjanya menangani administrasi. Dia adalah
seorang pelayan Firman, dengan belajar, menyampaikan Firman, berdoa dan
memimpin sakramen, sekalipun dia melakukan berbagai kegiatan, tapi tugas
utamanya adalah belajar firman Tuhan dan mengajarkan firman tersebut, berdoa
dan mengajak jemaat berdoa.[10]
Dalam surat Paulus kepada Timotius, ia menyerahkan tanggung jawab
kepada Timotius supaya melaksanakannya, selain mengajarkan ajaran yang sehat
dan memberitakan injil, juga harus mempertahankan iman jemaat. Ini adalah
kewajiban gembala atau hamba Tuhan untuk memelihara kebenaran atau doktrin
Injil yang diterima dan dianut di dalam gereja dan mempertahankannya terhadap
semua oposisi. Ini adalah salah satu ujung utama pelayanan, salah satu
sarana utama dari pelestarian iman yang disampaikan kepada orang-orang kudus (I
Tim 1:3. - 4, 4:6-7, 16, 6:20; II Tim 1:14, 2:25, 3:14-17).[11] Seorang gembala jemaat
harus mengatur sopan santun dalam kebaktian jemaat agar kebaktian berjalan
dengan teratur (I Kor. 14:26-40) serta menjalankan disiplin gereja. Yesus telah
memerintahkan bahwa apa bila seorang percaya tidak mau tunduk dan menaati
nasehat secara pribadi maka masalah itu harus diserahkan kepada gereja untuk
didisiplin (Mat. 18:17). Paulus secara tegas sekali meminta agar jemaat di
Korintus menjalankan disiplin jemaat (I Kor. 5:13).[12]
Hamba
Tuhan Sebagai Konselor
Kata konselor
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, anggota (staf) perwakilan di luar
negeri, kedudukannya di bawah duta besar dan bertindak sebagi pembantu utama
(pemangku) kepala perwakilan; orang yang melayani konseling; penasihat;
penyuluh. Dengan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konselor ialah orang
yang memilki tugas dan tanggung jawab dalam kegiatan
yang menguatkan, menghibur, yang dimintakan nasehat dan merunding dengan
seseorang atau usaha yang dilakukan untuk membantu orang lain agar ia dapat
menolong dirinya sendiri oleh proses perolehan pengertian tentang
konflik-konflik batiniahnya.
Seorang hamba Tuhan
memiliki banyak kesempatan untuk melayani manusia dan Allah, dia memiliki
sebuah kesempatan untuk mengenal Kristus sebagai Juruselamat pribadinya dan
berjalan bersama-Nya sebagai sahabat, dia memiliki sebuah kesempatan untuk
bergantung kepada Allah terhadap jawaban bagi semua kebutuhan manusia, dia
memiliki sebuah kesempatan untuk memberitakan hal-hal yang ajaib dan hal-hal
surgawi dari berita Injil, dia memiliki sebuah kesempatan untuk memenangkan
jiwa-jiwa bagi Yesus, dan dia memiliki sebuah kesempatan untuk melayani sebagai
seorang konselor bagi kebutuhan jemaat.
Ada beberapa fungsi dari seorang konselor
yaitu, menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding),
mendamaikan (reconciling) dan memelihara (nurturing). Dan seorang konselor
harus mengakui bahwa, pelayanannya dipercayakan oleh Allah sendiri yang mutlak
tergantung pada kuasa Roh Kudus serta didasarkan pada kebenaran Firman Allah.
Adapun bentuk-bentuk pelayanan yang harus diperhatikan yaitu, percakapan,
kunjungan rumah tangga, tempat-tempat penampungan, dan juga bentuk-bentuk
lainnya seperti; pelayanan pastoral dengan surat dan telepon.[13]
Tugas
utama seorang hamba Tuhan yang adalah konselor ialah melakukan “pastoral
konseling”. Kata Konseling berasal dari Bahasa Latin “consulere” berarti
memberi nasihat. Sedangkan kata bahasa Inggris yang menunjukkan untuk kata
konseling adalah consul yang
artinya wakil, konsul;counsult
yang artinya minta nasehat, berunding dengan; cosole yang
artinya menghibur dan consolide yang
artinya menguatkan. Bisa diartikan kata konseling adalah kegiatan sseorang yang
menguatkan, menghibur seseorang.
Konseling
sebenarnya merupakan salah satu teknik atau layanan di dalam bimbingan, tetapi
teknik atau layanan ini sangat istimewa karena sifatnya yang lentur atau
fleksibel dan komprehensif. Konseling merupakan salah satu teknik dalam
bimbingan, tetapi merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan
konseling dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap. Sikap
mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan dan perasaan, dan lain-lain.
Konseling memegang peranan penting dalam bimbingan (counseling is the hearth of
guidance), konseling sebagai pusatnya bimbingan (counseling is the centre of
guidance). Sebab dikatakan jantung, inti, atau pusat karena konseling ini
merupakan layanan atau teknik bimbingan yang bersifat terapeutik atau bersifat
menyembuhkan (curative).[14]
Adapun Dasar-
dasar bagi titik tolak konseling Kristen dapat dijelaskan selanjutnya sebagai
berikut: Sama seperti Allah sendirilah yang berinisiatif mencipta segala
sesuatu, menopang ciptaan-Nya dengan Perjanjian Berkat dan setelah Adam dan
Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah tetap berinisiatif “mencari” mereka untuk
membebaskan, maka konseling Kristen pun perlu menekankan bahwa proses pelayanan
konseling adalah “upaya” seorang hamba Tuhan
yang merupakan inisiatif untuk mencari dan menolong para konseli yang lemah
atau yang gagal.
Inisiatif
“mencari” menggaris bawahi bahwa
konseling Kristen harus bersifat dinamis dan proaktif. Di sini konseling
Kristen perlu menolak sikap menunggu dengan gaya pasif serta pesimistik.
Konseling Kristen yang berinisiatif mencari, menekankan bahwa ada kuasa Roh
Kudus sebagai dinamika yang menjamin bahwa ada saja jalan atau sikap positif
untuk mengatasi dan memenangkan masalah dalam proses konseling.
Istilah
Pastoral berasal dari “pastor” dalam bahasa latin atau dalam bahasa Yunani disebut
“poimen” yang artinya gembala.[15]
Berbicara tentang gembala, Thurneysen merumuskan,
“Penggembalaan merupakan suatu penerapan khusus Injil kepada anggota jemaat
secara pribadi, yaitu berita Injil yang dalam khotbah gereja disampaikan kepada
semua orang”. Herfst mengatakan
bahwa tugas penggembalaan itu ialah, “Menolong setiap orang untuk menyadari
hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada
Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri.” Sedangkan menurut Faber, penggembalaan itu ialah tiap-tiap
pekerjaan, yang di dalamnya si pelayan sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh
percakapannya atau khotbahnya, atas kepribadian orang, yang pada saat itu
dihubunginya.”[16]
Mengenai
Konseling Pastoral, Susabda dalam buku Pastoral Konseling mendefinisikan Pastoral
Konseling sebagai berikut, “Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik
(interpersonal reathionship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb)
sebagai konselor dengan konselinya (klien, orang yang minta bimbingan), dalam
mana konselor mencoba membimbing konselinya ke dalam suasana percakapan
konseling yang ideal (conducive atmosphere), yang memungkinkan konseli itu
betul-betul mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri,
persoalannya, kondisi hidupnya, dimana ia berada, dan sebagainya. Sehingga ia
mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan
mencoba mencapai itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah
diberikan Tuhan kepadanya.”[17]
Berdasarkan
uraian diatas Pastoral Konseling dapat berarti gembala atau hamba Tuhan yang
memberikan nasihat, penghiburan dan penguatan bagi warga gerejanya. Pelayanan
pastoral mempunyai sifat pertemuan yaitu: antara pastor atau hamba Tuhan dan
anggota jemaat yang membutuhkan bantuan dan pelayannya, pertemuan antara mereka
berdua dan Allah, yang sebenarnya yang memimpin dan memberi isi kepada
pertemuan mereka. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan
karya-Nya sebagai pastor sejati yang baik .
Ungkapan ini mengacu kepada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia
memberikan pertolongan terhadap para pengikut-Nya.
Hamba Tuhan Sebagai Pengkhotba
Khotbah termasuk dalam salah satu inti pelayanan
kristiani. Maksud khotbah yang sebenarnya tidak lain adalah membantu orang
untuk sampai pada pemahaman akan keadaan mereka sendiri dan keadaan akan dunia
mereka yang sedemikian rupa, sehingga mereka dapat bebas untuk mengikuti
Kristus yaitu menghayati hidupnya secara otentik. Pemahaman seperti inilah yang
mampu menghantarkan manusia kepada firman Allah, sehingga hidupnya pun dapat
diterangi oleh firman yang didengarnya. Berkhotbah adalah lebih dari pada sekedar
menceritakan kembali kisah-kisah Alkitab.
Lebih dari pada membawa iman pada masa lalu ke
masa sekarang. Bagaimana pun juga, pesan inti Injil tetap mengandung kebenaran
yang belum seutuhnya dinyatakan pada setiap orang. Firman Allah selalu datang
ke dunia , meskipun seringkali ditanggapi dengan ketidak acuhan dan
kejengkelan. Orang yang berkhotbah diharapkan untuk dapat menyingkirkan
halangan-halangan ini dan membawa orang atau jemaat kepada pemahaman yang benar
yang dapat membebaskan mereka. Dalam hal ini, seorang pengkhotbah dituntut
adanya keterbukaan dirinya untuk setiap dialog yang terjadi, meskipun tidak
jarang pula keterbukaan tersebut menyakitkan bagi diri pengkhotbah. Namun,
keterbukaan inilah yang menjadi inti spiritualitas pengkhotbah. Pengkhotbah
adalah orang yang bersedia memberikan hidupnya bagi umatnya. Melalui diri si
pengkhotbah, orang atau jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya
Allah dalam hidupnya sendiri.
Dalam dedicatory epistle bagi tafsiran surat Roma
yang ditulisnya, Calvin mengatakan bahwa tugas seorang hamba Tuhan dalam
menyampaikan Firman adalah sesuatu yang sangat mulia, kalau dia menyampaikannya
dengan jelas, tidak bertele-tele, dan tepat sebagaimana dinyatakan Alkitab.
Mengapa Calvin sangat mementingkan hal ini? Karena ini adalah cara jemaat Tuhan
bisa bertumbuh. Jemaat Tuhan tidak akan bertumbuh dengan proposisi-proposisi
rumit. Maka pengertian Calvin mengenai khotbah adalah adanya suatu konteks
sensibilitas, yaitu suatu kesadaran untuk berespons secara lincah terhadap
pendengar yang berbeda-beda pada saat yang berbeda-beda pula.
Musa
mengajarkan orang Israel, ia memberikan ispirasi dan mendorong umat itu melalui
pengajaran firman Allah dengan menyusun hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan
(Kel. 18:20). Sebuah gereja dapat berjalan di jalan Tuhan hanya jika gereja
tersebut di ajar secara tepat dan benar. Sebelum mengerakan dan mendorong umat
untuk maju, orang yang ditetapkan terlebih dahulu belajar menetapkan jalan,
membuat peta perjalanan. Dengan taat pada firman Allah, gereja mendapatkan
ketenangan dalam pertumbuhan.
Hamba
Tuhan yang ditetapkan harus menjadi seorang yang penuh firman, sungguh-sungguh
ditenggelamkan dengan firman Allah yang hidup dan mampu menyampaikannya. Dalam
Kisah Para Rasul 6:2, rasul-rasul menunjukan problem yang sedang kita hadapi
sekarang ini, yaitu terlalu banyak melakukan pelayanan meja dan kekurangan
waktu untuk pemberitaan firman. Memberi makan kepada jemaat dengan firman Allah
merupakan tugas dan tanggung jawab hamba Tuhan.[18]
Ibadah
adalah kata yang umum dan inklusif bagi berbagai peristiwa yang menegaskan
kehidupan ketika gereja menyelenggarakan pertemuan bersama guna mengekspresikan
iman mereka dalam puji-pujian, mendengarkan firman Tuhan, dan meresponi kasih
Allah dengan berbagai karunia dari kehidupan. Ibadah adalah sumber dasar bagi
segalanya dari gereja dan apa yang dilakukannya. Jika ibadah suatu gereja
kekurangan integritas, autentisitas, keramahan, vitalitas, dan keyakinan, bias juga
dikatakan hal-hal ini akan juga kurang dalam kehidupan yang lain.[19]
Pelayanan
sesungguhnya adalah menyampaikan berita Injil secara efektif. Tindakan
pelayanan ini mulai jika seorang hamba Tuhan atau pengkhotba mulai menyampaikan
kabar baik tersebut. Penyampaian berita Injil bukanlah sekedar pemberi informasih.
Agar komunikasi menjadi lebih efektif maka, Injil harus berbicara dalam hati
manusia dan diterapkan dalam kehidupannya. Salah satu cirri yang menonjol dalam
dari seorang pengkhotba ialah wewenangnya. Ia tidak berbicara atas namanya
sendiri, tetapi atas nama orang yang mengutus dia. Wewenang bukan hanya
terdapat dalam perkataannya, tetapi dalam kesanggupan untuk bertindak atas nama
oknum yang mengutusnya.
Melalui
khotba orang-orang dibawa kedalam kerajaan Allah, dan dengan mengajar, mereka
tetap teguh. Tanggung jawab seorang hamba Tuhan yang adalah pengkhotba, bukan
hanya berkhotba dan mengajar tetapi juga menerima khotba dan ajaran, agar
pengkhotba juga dapat dibangun dan diteguhkan oleh firman Allah. Dalam
penyampain firan Tuhan, kesaksian pribadi juga merupakn hal penting yang dapat
membangun iman jemaat. Salah satu contoh yaitu ketika Filipus menyampaikan
Injil kepada orang Etiopia, yang Filipus tidak langsung berbicara kepadanya
tentang Injil, akan tetapi sebaliknya ia mulai dengan pertanyaan yang maksudnya
“bolehkah saya melibatkan diri dalam kehidupanmu?” sebagai tanggapan terhadap
pertanyaan orang itu, Filipus mulai berbicara kepadanya tentang Kristus (Kisah
Para Rasul 8:31). Dengan ini maka, seorang hamba Tuhan dapat menyampaikan Injil
melalui kesaksian pribadinya.[20]
Hamba Tuhan Sebagai Teladan
Teladan
artinya sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk di contoh, tentang perbuatan,
kelakuan, sifat dan sebagainya. Pelajaran yang dapat dipetik, apabila
berkomitmen menjadi pelayan Tuhan seperti gembala, pendeta atau majelis adalah
sebagai berikut, yakni: Kehidupan mereka adalah cermin yang memantulkan
prinsip-prinsip ajaran Tuhan yang ingin diikuti pengikut atau jemaatnya, siap
menderita artinya menuntut ketekunan, kerendahan hati dan resiko, konsisten
antara tindakan dan ajaran Firman Tuhan sebagai petunjuk kehidupan orang
percaya.
Kristus
dalam menjelaskan mengenai proses pelayanan penggembalaan atas umat-Nya,
menekankan bahwa gembala atau hamba Tuhan harus dapat diteladani. Tuhan Yesus
tetap memposisikan diri-Nya selaku pemberi teladan, harus bisa
menunjukkan arah dan berani tampil sebagai figur pemberi teladan, haruslah terus
dan tetap menjadi penunjuk arah perjalanan kehidupan jemaat di dalam Kristus.[21]
Ia harus tahu kemana jemaat diarahkan, ia harus mempunyai perkiraan tujuan
akhir yang hendak dicapai, ia harus bisa memberi teladan yang baik. Rasul
Paulus menuturkan, “Sebab itu aku menasehatkan kamu: turutilah teladanku” (1 Kor.
4:16). Untuk menjadi teladan itu memang tidak mudah. Lebih mudah membuat suatu
contoh atau teladan dari pada harus menjadi contoh atau teladan. Menjadi contoh
atau teladan memang hal ini sulit, namun hal inipun sangat penting.
Kitab suci menekankan
bahwa seorang hamba Tuhan harus dipimpin oleh kehidupan pribadinya dan menjadi
contoh yang berharga bagi jemaatnya. Paulus tidak pernah berhenti
menyerukan hal itu, tanpa sebuah keegoisan, untuk medorong orang-orang yang
percaya agar mengikuti dia dalam contoh hidupnya. Dia menulis kepada jemaat
Korintus, “Jadilah pengikutku sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus”
(1 Kor. 11:1). Dia menulis kepada jemaat yang ada di Filipi: “Dan apa yang telah
kamu pelajari dan apa yang kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa
yang telah kamu lihat padaku lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera
akan menyertai kamu” (Fil. 4:9). Dia juga kepada jemaat Tesalonika, “Kamu
adalah saksi demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami
berlaku di antara kamu yang percaya” (1 Tes. 2:10).
Paulus mendesak Timotius
yang merupakan anaknya dalam pelayanan dengan kata-kata ini, “Jangan seorangpun
menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah teladan bagi orang-orang
percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam
kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu” (1 Tim. 4:12). Seorang pelayan
juga harus memiliki sebuah kesalehan (1 Tim. 4:12). Dia merupakan sebuah
model bagi jemaat. Dia harus menjadi corong iman (1 Tim. 1:13; Titus 2:1). Dia
harus memiliki kapasitas mental yang baik dan terlatih dalam pengetahuan Kitab
Suci (2 Tim. 2:15). Dia harus cakap mengajar orang (1 Tim. 3:2; 2 Tim. 2:2; 2
Tim. 2:24-25).[22]
Seorang Hamba Tuhan
bukan hanya ketika berada di atas mimbar tetapi akan lebih berkuasa, lebih
dinamis, lebih efektif juga didalam kehidupannya sehari-hari yang terlihat di
depan mata jemaatnya. Philips Brook berkata, “Yang paling utama dari semua
kuasa elemen yang membuat sukses, adalah saya harus meletakkan kepentingan
karakter dari pribadi yang benar, dan secara murni menekankan diri mereka atas
manusia yang bersaksi terhadap mereka.” Quintilian berkata bahwa pembicara yang
baik haruslah menjadi orang yang baik. Fransiskus dari Asisi membuat poin yang
sama ketika dia berkata, “Tidak ada gunanya pergi kesetiap tempat untuk
berkotbah kecuali kita berkotbah disaat kita sedang pergi.”
Stark, seorang ahli
sosioligi mengatakan, “Seorang pelayan harus bertanya pada diri sendiri,”
apakah yang merupakan tulah-tulah, wabah penyakit atau epidemic dari masa kini?
Tulah dan wabah penyakit ini bisa bersifat jasmani, psikologi atau bahkan
intelektual. Selanjutnya, bagaimana kita dapat tetap menjaga diri kita terbuak
dan terus memelihara hubungan dengan orang-orang yang terisolasi sedemikian
rupa? Ini merupakan tantangan yang sangat besar dan kesempatan yang luar biasa,
tetapi juga perlu strategi baru dan belas kasihan yang lebih besar.[23]
Hamba Tuhan Sebagai Pemimpin
Kepemimpinan
pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Dalam
hal ini, salah satu syarat bagi seorang hambaTuhan yang adalah pemimpin yaitu, dipenuhi
dengan Roh Kudus. meskipun pelayanan
yang akan mereka lakukan bukan pelayanan rohani. Mereka haruslah orang-orang
yang tulus hati, yang terkenal baik, yang bijaksana, yang penuh hikmat, yang
rohani dan yang penuh dengan Roh. Sifat rohani tidak mudah didefinisikan,
tetapi ada atau tidak adanya sifat ini mudah sekali dilihat. Orang yang penuh
dengan Roh dapat mengubah suasana melalui kehadirannya, karena ia mempunyai
pengaruh yang tidak disadarinya, yang menyebabkan Kristus dan hal-hal rohani
menjadi nyata untuk banyak orang.
Jelaslah
bahwa kepemimpinan sama sekali bukan tentang gaya atau teknik, melainkan
tentang karakter. Alkitab mencatat sejumlah gaya kepemimpinan yakni, Elia
adalah seorang nabi yang sering menyendiri; Petrus berwatak kasar; Yohanes
berhati lembut; Paulus adalah pemimpin yang dinamis, bahkan ketika ia
dibelenggu dengan rantai kemana-mana. Ia mempengaruhi orang terutama dengan
kata-katanya yang berwibawa, pada hal secara fisik ia tidak terlihat perkasa.
Mereka adalah orang-orang yang bertindak
secara nyata, yang memanfaatkan karunia masing-masing dengan cara yang
sangat berlainan.[24]
Walaupun
Paulus tidak secara eksplisit mengungkapkan memimpin dalam hal apa saja, tetapi
dari setiap ungkapan Paulus dapat dilihat bahwa kepemimpinan yang dimaksud
menyangkut kepemimpinan dalam hal organisasi, kerohanian jemaat bahkan keluarga
mereka sendiri. Dalam 1 Tesalonika 5:12 “Mereka yang memimpin kamu dalam Tuhan,” Paulus tidak
memakai gelar mereka, tetapi kemungkinan besar mereka adalah penatua-penatua
(presbuteroi), karena menurut Kisah Para Rasul, Paulus dan rekan-rekan
sekerjanya mempunyai kebiasaan untuk mengangkat penatua-penatua dalam setiap jemaat
yang mereka dirikan (Kis. 14:23). Para penatua diberikan tugas untuk memimpin
jemaat kepada kedewasaan, pemahaman akan firman Tuhan, karakter yang serupa
dengan Kristus dan kesalehan hidup. Para penatua bertanggung jawab dalam
hal ini.
Apabila
melihat konteks jemaat pada waktu itu, sistem manajemen mereka tentunya
tidak semoderen atau profesional sekarang, tetapi dapat diyakini bahwa
inti dari semua tugas para penatua supaya mereka menjadi pemimpin di kalangan
jemaat. Hal ini sangat perlu ditegaskan oleh Paulus mengingat bahwa
berbicara tentang gereja menyangkut dengan orang banyak yang perlu
dikelola. Walaupun secara organisasi bahwa yang sudah ada yang menjadi
pemimpin mereka yaitu Timotius atau Titus atau rekan Paulus yan
lain, mereka masih membutuhkan para penatua untuk menjadi pemimpin dalam
jemaat-jemaat. Mungkin saja di beberapa wilayah atau kelomok-kelompok
tertentu mereka membutuhkan seorang pemimpin yang tidak akan mungkin dijangkau
oleh Titus atau Timotius.[25]
Hamba
Tuhan haruslah memimpin dengan hati gembala di mana ini berbicara tentang
melayani, menuntun, mengarahkan, menantang, dan membantu untuk bertumbuh. Sudah
dibuktikan bahwa orang yang dipimpin tidak dapat digerakkan dimotivasi oleh
sebuah birokrasi atau prosedur sebagaimana teori manajemen. Orang hanya
digerakkan oleh visi, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan keyakinan tentang diri
(Robert J. Stevens). Hal ini diperkuat juga oleh tokok kepemimpinan D’Souza,
yang mengatakan tentang kepemimpinan gembala sebagai berikut:
Bagi pemimpin-gembala, produknya
adalah para pengikut. Bukan keuntungan , bukan pangsa pasar. Para pengikut itu
sendiri yang menjadi tujuan dan produk dari upaya pemimpin gembala atau hamba
Tuhan. Dan karena itu, ketika dombanya tetap hidup menghadapi berbagai bahaya
dalam perjalanan, ketika mereka bertambah kuat, gembala dengan setia menunaikan
tugasnya. Domba memang harus dibimbing, didorong, dan dimotivasi untuk mencapai
kinerja terbaik.[26]
Tren
kepemimpinan telah berkembang sangat pesat dan dapat dengan mudah dipelajari
secara mandiri. Bahkan nilai dan prinsip biblika telah mewarnai semua lini
prinsip ilmu kepemimpinan. Namun dalam lini praktika, gereja diperhadapkan
dengan kompleksitas kultural, masalah sosial, dan konteks yang sangat beragam.
Saat ini pemimpin tidak boleh berhenti dengan penerapan kepemimpinan dalam
kehidupan. Ada banyak keunikan yang akan ditemukan di lapangan. Seperti
kata Clinton, pemimpin sedang memasuki “university of life”, di mana penerapan
nilai kepemimpinan tidak pernah berhenti. Nilai-nilai itu harus terus digali.
Salah
satu hal yang menjadi solusi dalam kepemimpinan sat ini adalah perlunya
pengembangan kepemimpinan yang berhati gembala. Nilai ini bersumber dari Yesus
sendiri lewat hidup dan pengajaran-Nya. Prinsip itu didasarkan kepada
kebaikan, ketulusan hati, kecakapan, dan kesetiaan dalam kebenaran. Prinsip ini
kekal, namun penerapannya membutuhkan waktu dan kerja keras di dalam konteks
masyarakat pascamodernitas ini.
Hal ini ditegaskan dengan pernyataan
D’Souza tentang hasil dalam menerapkan pemimpin-gembala, “Oleh karena itu,
gembala adalah model bagi para pemimpin dari segala organisasi, termasuk
perusahaan industri dan komersial. Pemimpin dituntut untuk bertindak sebagai
gembala sejati atas organisasinya, yang pertama-tama dan terutama dilihat
sebagai komunitas manusia. Dengan demikian, pemimpin semacam ini akan
memperoleh loyalitas dan komitmen dari para pegawai dan pelanggan, dan pada
gilirannya akan meraih apa yang tidak pernah dapat diperintahkan oleh pemimpin
lain.[27]
Hamba Tuhan Sebagai Agen Perubahan
Hamba Tuhan yang mencoba untuk menerapkan
prinsip-prinsip pertumbuhan gereja ke dalam gereja mereka, dengan sendirinya
berfungsi sebagai agen-agen perubahan. Itu artinya mereka harus berhadapan
dengan sebuah kelompok social (jemaat) yang selama bertahun-tahun sudah
mengembangkan tradisi kehidupan gereja tertentu. Tradisi-tradisi tersebut
secara tidak langsung sudah menjadi bagian dari identitas diri mereka. Beberapa
diantaranya sangat susah diubah tetapi semua itu perlu di ubah supaya gereja
biasa bertumbuh.
Namun
untuk setiap perubahan yang drastis seorang hamba Tuhan perlu mengambil paling
sedikit empat langkah yaitu, sebagai berikut:
Pertama,
bagikan visi. Visi yang dimaksud ialah ke arah mana Allah menghendaki gereja
tersebut. Visi itu harus dikomunikasikan kepada jemaat dengan cara tertentu
yang membuat mereka bersemangat dan rela untuk melakukan bagian mereka
masing-masing guna mewujudkan visi itu. Jalur komunikasi yang tepat bias
berbeda dalam setiap gereja, namum mimbar selalu konstan, jadi sebelum
mengumumkan sasaran pastikan fondasi pekerjaan sudah di pasang dengan benar.
Kedua,
akumulasikan umpan balik (berupa komentar-komentar). Ada pepatah yang
mengatakan terdapat hikmat di dalam kumpulan para penasehat. Jika Allah sudah
memberikan sebuah visi, biasanya visi itu masih dalam bentuk janin dan oleh
sebab itu, masih memerlukan banyak perbaikan dan perkembangan sebelum menjadi
kenyataan. Disini sesorang hamba Tuhan memerlukan nasehat dari jemaat, tidak
Cuma memerlukan ide mereka saja, tetapi juga supaya mereka merasa mereka
pemilik visi tersebut. Jadi, berikan
prioritas yang tinggi untuk membuak saluran-saluran umapan balik.
Promosikan
keharmonisan di dalam diri. Hamba Tuhan yang adalah seorang agen perubahan,
harus menyadari bahwa semua orang dalam gereja akan jatuh di sekitar sebuah
spectrum dari yang radikal melalui yang progresif dan yang konservatif sampai
yang tradisionalis pada ekstrim yang lain. Jika seorang hamba Tuhan mengetahui
posisi orang-orang yang akan di hadapi, pengetahuan itu akan membantu untuk
menentukan pendekatan macam apa yang perlu dilakukan.
Keempat,
kenali pewaktuan yang tepat. Ketika seorang agen perubahan sudah tahu bahwa dia
sudah memperoleh kepemilikan sasaran dari para anggota, itu berarti seorang
agen tersebut sudah mendapatkan lampu hijau untuk maju terus kedepan. Dan jika
mereka sudah merasa bahwa mereka bagian dari proses perubahan tersebut, dan
jika mereka sudah sungguh-sungguh menangkap visi itu, maka hamba Tuhan yang
adalah agen perubahan tersebut sudah bias menggerakan mereka untuk
menyumbangkan waktu, tenaga dan biaya untuk perubahan yang dimaksud.[28]
[1]Petrus Tony Randoe, Pola Hidup Umat Allah (Jakarta: Yayasan
Alsuka, 1997), 284.
[2]W. N. Mcelrath Dan Billy Mathias,
Ensiklopedia Alkitab Praktis (Bandung:
Lembaga Literatur Babtis, 1978), 49
[3]Peter Wongso, Theologia Penggembalaan (Malang: Seminar
Alkitab Asia Tenggara, 1983), 4.
[4]Stephen Tong, Teologi Penginjilan (Surabaya: Momentum
LRII, 1988), 50-6.
[5]J.L.Ch.
Abineno, Melayani dan Beribadah Di Dalam
Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 24.
[6]Malcom Brownlee, Pengambilan
Keputusan Etis (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1984), 17.
[7]J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 1986), 24.
[9]Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda? pen., S.M. Siahaan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008), 11.
[10]Joe
E. Trull Dan James E. Carter, Etika
Pelayanan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 100-15.
[11]Suhento Liauw, Doktrin Gereja Alkitabiah
(Jakarta; GBIA Graphe, 1996), 131.
[12]Warren
W. Wiersbe, Setia Di Dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup,
1981), 17.
[13]J.L.CH.
Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan
Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 29-1.
[14]J.L.CH. Abineno,
Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
6-8.
[15]Art
Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 10.
[17]Yakub
Susabda, Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas, 2006), 13.
[18]Frank
Damazio, Memimpin Dengan Roh
(Yogyakarta: PBMR Andi, 2004), 75-6.
[19]David
R. Ray, Gereja Yang Hidup (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), 10.
[20]Jasse
Miranda, Gereja Kristen Dalam Pelayanan
(Malang: Gandum Mas, tt), 201-02.
[21]Set
Msweli Dan Donald Crider, Gembala Sidang
Dan Pelayanannya (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 38-3.
[22]George
Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru,
pen., Urbanus Selan Dan Henry Lantang, 2 Jil. (Bandung: Kalam Hidup, 1999),
318-22.
[23]Jonh
E Phelan Jr, Gereja Dalam Era Postmoderen,
pen., Paulus Trimanto Wibowo (Yakin: Surabaya, 2002), 43-5.
[24]Jhon Macarthur, Kitab Kepemimpinan, Peny.,Nino Oktorino
Dkk, Pen., Djoni Setiawan, 2 Jil. (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 2: 206.
[25]Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 90.
[26]Kouzes,
James M. dan Barry Z. Posner. The
Leadership Challenge, Pen., Revyani Sjahrial (Jakarta: Erlangga, 2004), 67.
[27]Ralph
M. Riggs, Gembala Sidang yang
Berhasil (Malang: Gandum Mas, 1984),
16.
[28]C.
Peter Wagner, Memimpin Gereja Anda Agar
Bertumbuh (Jakarta: Harvest Publication House, 1995), 199-01.
________________________________________________________________________
BAB
III
TINJAUAN
TEOLOGIS TENTANG KARAKTERISTIK HAMBA TUHAN
BERDASARKAN 1
TIMOTIUS 3:1-7
Firman Tuhan
merupakan prinsip dasar pelayanan bagi seorang hamba Tuhan dan juga orang
percaya, yang terpanggil untuk melanjutkan misi Yesus Kristus di dunia. Dimana
Alkitab harus dipelajari dengan benar oleh setiap orang percaya bahkan para
hamba Tuhan, terutama dalam surat-surat penggembalaan (1 dan 2 Timotius, Titus
dan Filemon), karena surat-surat ini membahas hal-hal tentang gereja dan
organisasi ditilik dari sudut pandang hamba Tuhan.[1] Pengenaan
istilah pastoral menurut Carson, Moo dan Morris, istilah “pastoral”
(penggembalaan) dikenakan kepada surat 1, 2 Timotius dan Titus.
Bardot dan Anton mengatakan
bahwa, surat ini ditujukan kepada dua orang (Timotius dan Titus) yang
menjalankan tugas mereka sebagai pastor. Sedangkan menurut Freed, penggenaan
istilah pastor itu sejak abad ketiga belas atau empat belas. Terlepas dari
perbedaan pendapat itu, yang jelas mereka sepakat bahwa istilah pastoral
dikenakan kepada ketiga surat ini karena ketiganya ditujukan kepada para pastor
(latin) yang artinya “gembala” yang melaksanakan tugas-tugas pengembalaan di
dalam jemaat.[2]
Latar Belakang Kitab 1 Timotius
Surat 1 dan 2
Timotius dialamatkan kepada Timotius, yang disebut dalam 1 Timotius 1:2, gnh,sioj te,knon evn
pi,stij “gnesios teknon en
pistis” (anak yang sah di dalam iman), dan dalam 2 Timotius 1:2, avgaphto,j te,knon “agapetos
teknon” (anak yang kekasih).[3]
Timotius dilahirkan di Listra dari seorang ayah Yunani dan ibunya seorang Kristen
Yahudi yang saleh (2 Tim. 1:3, 5) tetapi mempunyai nama Yunani yaitu Eunike.
Timotius dididik dalam adat istiadat Yahudi dan diajari kitab suci sejak masih
kanak-kanak. Paulus menjadikan Timotius sebagai muridnya dalam perjalanannya
yang kedua (Kis. 16:1-3) dan sejak itu Timotius selalu menyertainya kemana pun
ia pergi.
Timotius turut mengabarkan Injil di Makedonia
dan Akhaya serta membantu Paulus waktu ia mengajar di Efesus selama tiga tahun,
dimana ia menjadi orang yang sangat mengenal kota itu serta kebutuhan-kebutuhan
jemaat disana. Timotius pun merupakan salah seorang delegasi yang ditunjuk ke
Yerusalem (Kis. 20:4) dan mungkin menyertai Paulus dalam perjalanan kembali ke
kota. Ia berada di Roma bersama Paulus pada masa pemenjaraannya yang pertama,
karena namanya muncul dalam surat Kolose 1:1 dan Filemon pasal 1. Setelah
Paulus dibebaskan Timotius mengadakan perjalanan kembali bersamanya dan rupanya
ditinggalkan di Efesus untuk menjernihkan kekacauan yang telah berkembang
disana, sedangkan Paulus melanjutkan kunjungannya ke gereja-gereja di
Makedonia.[4]
Pada Akhir hidup
Paulus, Timotius mendampinginya di Roma (2 Tim. 4:11, 21), dan ia sendiri juga
dipenjarakan (Ibr. 13:23), tetapi dibebaskan kembali. Timotius adalah orang
yang dapat dipercaya namun kurang bersemangat, ia terkesan sebagai seseorang
yang belum dewasa meskipun ia pasti telah berusia sekurang-kurangnya tiga puluh
tahun ketika Paulus menugaskan dia untuk memimpin gereja di Efesus (1 Tim.
4:12), ia penakut ( 2 Tim. 1:6, 7) dan sering terganggu pencernaannya (1 Tim.
5:23). Surat ini memakai nama Timotius, dimaksudkan untuk membesarkan hati dan
meneguhkan dia untuk menerima tugas berat yang dilimpahkan Paulus kepadanya.[5]
Surat 1 dan 2
Timotius serta Titus selalu dianggap sekelompok surat yang terpisah, yang
berbeda dari surat-surat Paulus yang lain. Kanon Muratori menyebutkan bahwa,
surat-surat ini ditulis dari perasaan cinta kasih pribadi sehingga surat-surat
ini lebih bersifat pribadi. Namun, dapat diketahui bahwa sekalipun bersifat
pribadi, surat-surat ini memiliki arti penting dan begitu relevan dengan
persoalan-persoalan mendesak, dalam 1 Timotius 3:15, maksud itu di paparkan.
Surat ini ditulis untuk Timotius tentang bagaimana orang harus hidup sebagai
keluarga Allah yakni jemaat Allah yang hidup. Karena itu, surat-surat ini bukan
hanya memiliki kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan gerejawi.
Tahap demi tahap
surat-surat ini mendapat sebutan surat-surat pastoral. Tentang penulisan surat
1 Timotius, Aquinas mengatakan bahwa, “Surat ini seperti suatu kaidah pastoral
yang dikirim oleh rasul Paulus kepada Timotius.” Dalam surat yang pertama ia
memberikan pengajaran kepada Timotius mengenai aturan gerejawi, sedangkan dalam
suratnya yang kedua ia berurusan dengan penggembalaan yang akan menjadi sangat
penting, bahkan demi pemeliharaan jemaat ia harus bersedia menerima kemartiran.
Selanjutnya surat-surat ini berkenan dengan pemeliharaan dan organisasi jemaat
Allah, yang membicarakan tentang bagaimana berperilaku sebagai anggota keluarga
Allah dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana rumah Allah harus
diatur, seperti apa seorang pemimpin dan gembala jemaat itu serta bagaimana
menghadapi ancaman-ancaman yang membahayakan kesucian iman serta kehidupan
Kristen.[6] Karena
gereja adalah umat Allah yang baru atau kumpulan orang-orang percaya (ekklesia).[7]
Penulisan Kitab 1 Timotius
Mengenai penulisan surat ini, ada
banyak para ahli yang memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada tiga macam
pendapat yang berbeda-beda mengenai ketulenan surat-surat pastoral ini yaitu:
Pendapat pertama, “ada penafsir-penafsir
yang menyangsikan pendapat bahwa Paulus pernah menulis surat-surat ini,” dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, alasan-alasan menyangkut
waktu. Yang dimaksud disini ialah bahwa
surat-surat pastoral tidak cocok dengan kitab-kitab yang lain dalam Perjanjian
Baru, terutama Kisah Para Rasul. Memang tidak dapat disangkal bahwa Kisah Para
Rasul atau pun kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru tidak melaporkan tentang
Timotius dan Titus yang diutus untuk melayani di Efesus (1 Tim. 1:1-3; 2 Tim.
1:1-2) dan Kreta (Tit. 1:4-5). Hal ini hanya mungkin bila mana Paulus
dilepaskan dari penjara di Roma (bnd. Kis 28) dan masih melayani beberapa
tahun. Masalah yang kedua adalah bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ada laporan
tentang pembebasan Paulus dari penjara itu, tidak ada satu kata pun dalam Kisah
Para Rasul, bahkan dalam surat-surat penggembalaan pun tidak ada, paling-paling
ada tanda-tanda dalam surat-surat yang ditulis pada waktu Paulus dalam penjara
di Roma (bnd. Fil. 1:19, 25, 2:24; Fil. 22), yang jelas ialah pandangan bahwa
Paulus dilepaskan dari penjara tidak bertentangan dengan Perjanjian Baru
seluruhnya.
Masih perlu
ditambahkan bahwa, tradisi gereja mula-mula mendukung pembebasan Paulus.
Klement dari Roma mengatakan bahwa, “setelah Paulus memberitkan Injil baik di
Barat maupun di Timur, ia dihormati oleh semua orang. Dia melayani sampai ke
ujung bumi sebelum dia mati syahid di bawah pemerintahan Kaisar Nero.” Klement
sendiri tinggal di Roma. Untuk dia bukan Roma yang menjadi ujung bumi, oleh
sebab itu ada kemungkinan besar bahwa yang di maksud dengan ujung bumi adalah
Spanyol. Dalam surat Roma menjelaskan bahwa, Paulus mempunya rencana untuk
melayani sampai ke Spanyol (Rom. 15:24). Namun dalam Kisah Para Rasul, tidak
ada laporan tentang pelayanan sampai ke Spanyol. Itu berarti hanya bilamana
bahwa, Paulus dilepaskan dari penjara yang dilaporkan dalam Kisah Para Rasul
28, masih ada waktu untuk menempuh perjalanan ke Spanyol.
Kedua, alasan-alasan menyangkut struktur
gereja. Yang diutamakan oleh teolog-teolog yang menganut teori ini adalah bahwa
struktur gereja yang digambarkan dalam surat-surat penggembalaan sudah lebih
berkembang dari pada yang biasanya pada abad pertama. Alasan ini tidak bisa
dibenarkan sama sekali. Sudah pada perjalanan misi yang pertama, Paulus
menetapkan penatua-penatua bagi jemaat-jemaat yang dibukannya (Kis. 14:23).
Dalam (Fil. 1:1) juga disebut tentang para jemaat dan diaken. Dalam surat-surat
penggembalaan pun hanya jabatan-jabatan itulah yang disebut (bnd. Tit. 1:5-7),
memang jabatan-jabatan ini diuraikan panjang lebar dalam surat-surat penggembalaan,
tetapi mengingat bahwa surat-surat ini dialamatkan kepada dua hamba Tuhan yang
belum begitu berpengalaman dalam pelayanan jemaat dan harus membutuhkan banyak
nasihat, maka sudah sewajarnya bilamana soal-soal itu diurakan lebih dalam
dalam surat-surat penggembalaan.
Ketiga, alasan-alasan dogmatis. Ada
penafsir-penafsir yang berkata bahwa Paulus pasti tidak mau membuang waktu
dengan menulis surat-surat yang mengatur struktur gereja. Paulus begitu
menantikan kedatangan Tuhan Yesus untuk kedua kalinya. Alasan ini pun sulit
diterima karena Paulus dimana-mana memikirkan masa depan jemaat dan selalu ada
orang-orang Kristen dinasihatkan untuk dengan setia melakukan pekerjaan
masing-masing sampai kedatangan Tuhan, biarpun kedatangan-Nya jauh atau dekat
(bnd. 2 Tes. 3:6), yang dapat dipastikan adalah bahwa tidak ada segi-segi
dogmatis dalam surat-surat ini yang bertentangan dengan surat-surat Paulus
lainnya.
Keempat, alasan-alasan yang menyangkut
gaya bahasa dan istilah-istilah yang digunakan. Tidak dapat disangkal bahwa ada
istilah-istilah dalam surat penggembalaan yang tidak terdapat dalam surat-surat
Paulus lainnya, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa ada jangka waktu lima belas
sampai tujuh belas tahun, antara surat Galatia dan 2 Timotius. Dalam waktu yang
sedemikian lama pasti ada perkembangan dalam bahasanya, sehingga surat-surat
ini bukanlah surat-surat yang dogmatis atau teoritis sifatnya, tetapi pastoral.
Dari lain segi juga ada banyak istilah dan kata yang merupakan khas Paulus, maka
itu penulis mengambil kesimpulan bahwa alasan-alasan yang diberikan untuk ketulenan surat-surat
penggembalaan tidak mempunyai dasar.
Pendapat kedua, ada penafsir-penafsir
yang mengatakan bahwa hanya fragmen-fragmen saja yang berasal dari tangan
Paulus, kemudian fragmen-fragmen itu dikumpulkan
dan disusun oleh orang lain yang tidak diketahui namanya, namun teori ini tidak
dapat dibuktikan sama sekali. Memang ada surat-surat palsu yang beredar pada
waktu itu (bdk. 2 Tes. 2:2 ), tetapi tidak ada kejelasan mengenai
fragmen-fragmen yang berasal dari Paulus. Para teolog yang menganut teori ini
memberi usul yang berbeda-beda. Teori ini dianggap sebagai ciptaan otak para
teolog yang tidak mau percaya apa yang
ditulis, tetapi mau mempersoalkan segala
sesuatu.
Pendapat ketiga, ada penafsir-penafsir
yang berpendapat bahwa surat-surat pastoral merupakan buah pena Paulus. Dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, kesaksian surat-surat
penggembalaan sendiri. Semua menyebut Paulus
sebagai penulis (1 Tim. 1:1, Tit. 1:1).
Kedua, Gereja mula-mula mengakui dengan suara bulat bahwa Paulus adalah
penulis surat-surat penggembalaan. Baik Polykarpus, Ignatius dan Klemens dari
Roma mengakui surat-surat ini. Sama halnya dengan Kanon Muratoris.
Ketiga, ada hal-hal yang sulit dimengerti
bilamana tidak ditulis oleh Paulus, yaitu: 1 Timotis 1:5, “antara orang
berdosa, Pauluslah yang paling berdosa.” Jika orang lain yang menulis dengan
memakai nama Paulus, maka tidak mungkin menyinggung masalah itu. Dalam 1
Timotius 5:23, nasihat ini bersifat pribadi dan hanya dapat dimengerti bilamana
Paulus yang menulis kepada teman sekerjanya yaitu Timotius. Dalam 2 Timotius.
4:13, permintaan Paulus supaya jubahnya dibawa, pernyataan ini bersifat pribadi
dan hanya dapat dimengerti bilamana Paulus sendiri yang menulis.[8] Kesimpulannya
ialah bahwa penulis Surat 1 Timotius adalah Rasul Paulus.
Tahun Penulisan
Untuk tahun
penulisan surat 1 Timotius, memang agak sulit untuk di tentukan secara tepat. Namun
ada beberapa argumentasi yang dapat memberikan indikasi tentang tahun penulisan
ini yaitu, jika Paulus melayani di Asia Kecil sebelum ke Spanyol, maka 1
Timotius ditulis di Makedonia sekitar satu tahun setelah dia dibebaskan, yaitu
pada tahun 63. Setelah itu surat Titus menyusul beberapa waktu kemudian,
sekitar tahun 64. Sesudah itu dia ke Spanyol, dan sekembalinya dari sana Paulus
ditawan di Roma. Itu berarti bahwa 2 Timotius ditulis sebelum dia mati syahid
pada tahun 66. Kalau mengikuti pandangan bahwa Paulus ke Spanyol lebih dulu,
maka angka-angka tahun harus digeser satu sampai dua tahun, yaitu: 1 Timotius
ditulis pada tahun 65, sedangkan Titus tahun 66 dan 2 Timotius tahun 67.[9]
Tujuan Penulisan
Timotius adalah
seorang pemimpin jemaat walaupun ia masih muda, sehingga rasul Paulus menulis
surat 1 Timotius ini dengan tujuan, untuk mendidik Timotius supaya dapat
memimpin jemaat dan melakukan tugasnya dengan baik.[10] Surat
ini juga menyinggung bahaya tendensi-tendensi Yahudi dan Gnostik.[11]
Selain itu nasihat tertulis guna membimbingnya untuk menata jemaat, Paulus juga
tampaknya merasa Timotius memerlukan dorongan untuk teguh dan tidak malu karena
Injil. [12] Menasihati
Timotius sendiri mengenai kehidupan pribadi dan pelayanannya, mendorong Timotius
untuk mempertahankan kemurnian Injil dan standarnya yang kudus dari pencemaran
oleh guru palsu dan memberikan pengarahan kepada Timotius mengenai berbagai
urusan dan persoalan gereja di Efesus.
Garis
Besar Surat 1 Timotius
Pertama, perlunya pengajaran yang benar (1
Tim. 1:1-20). 1:1-2, tentang salam. Paulus menyurati Timotius yang ia sebuat
sebagai anak yang sah dalam iman. 1:3-11, tentang peringatan yang tepat waktu.
1:12-17, tentang kesaksian pribadi. 1:18-20, tentang tugas yang serius.
Kedua, perlunya doa (1 Tim. 2:1-15).
2:1-8, tentang orang Kristen yang berdoa. 2:9-15, tentang pelayanan kaum
wanita.
Ketiga, perlunya kepemimpinan (1 Tim. 3:
1-16), membicarakan tentang syarat-syarat yang diperlukan dari seorang pemimpin
Kristen.
Keempat, perlunya kearifan rohani (1
Tim. 4:1-16). 4:1-6, untuk memberikan peringatan kepada orang lain, sedangkan
4:7-16, untuk melatih disiplin diri.
Kelima, perlunya petunjuk-petunjuk
praktis (1 Tim. 5:1-25), tentang bagaimana menghadapi kelompok yang berbeda.
Keenam, perlunya sikap-sikap yang benar
(1 Tim. 6:1-21). 6:1-2, tentang tuan dan hamba, 6:3-21 tentang berbagai
petunjuk.[13]
Eksposisi 1 Timotius 3:1-7
Dalam teks surat
1 Timotius 3:1-7, penulis akan berusaha menjelaskan baik secara induktif maupun
deduktif, berdasarkan kebenaran firman Tuhan tentang karakteristik hamba Tuhan
sebagai konselor bagi pertumbuhan iman jemaat dan implementasinya bagi para
hamba Tuhan di Gereja Kristen Injili (GKI) Maranatha Argapura 1-3 Jayapura
Papua.
Karakteristik
Hamba Tuhan (Penilik Jemaat)
“Penilik jemaat” dalam bahasa Yunai ko,smioj (episkopos), merupakan kata benda
yang berarti pengawas, penilik; terutama digunakan dengan mengacu pada fungsi
pengawasan yang dilakukan dalam sebuah gereja atau jemaat, yang juga berarti, seseorang
yang mempunyai kewajiban pastoral yaitu gembala, pengawas yang bertanggungjawab
mengawasi pekerjaan jemaat.[14]
Penilik jemaat sekaligus menjadi gembala bagi saudara-saudaranya dalam Yesus
Kristus dan akan membimbing, menyokong, dan menolongnya, sebagaimana Yesus
adalah gembala yang baik akan membimbingnya.[15]
Menurut Perjanjian Baru, istilah “penilik jemaat”, “gembala sidang” dan
“penatua” mempunyai arti yang sama. Penilik jemaat berarti “pengawas”,
sedangkan “penatua” adalah terjamahan dari kata Yunani “presbutes”, yang berarti “orang yang sudah tua”, dalam 1 Timotius
4:14, bukan menunjukkan kepada suatu dedominasi, melainkan kepada “jabatan
penatua” dari suatu jemaat yang ditetapkan Timotius.
Penatua dan
penilik jemaat adalah dua nama untuk jabatan yang sama (Tit. 1:5, 7), adalah
orang-orang yang dewasa dalam hikmat dan pengalaman rohani. Dan “gembala
sidang” berarti orang yang memimpin dan memelihara kawanan domba Allah.[16]
Ungkapan dalam 1 Timotius 3:1, tentang “penilik jemaat”, disampaikan oleh rasul
Paulus kepada Timotius sebagai pemimpin jemaat. Kepadanya ia mengingatkan
bahwa, keinginan untuk menjadi pejabat
merupakan sebuah pelayaan terutama untuk melayani Tuhan dan jemaat dan
itu adalah hal yang indah, tetapi hal itu belum cukup karena pengetahuan dan
keahlian saja belum dapat memberikan kewenangan kepada seseorang untuk menjadi
pejabat. Dan yang sangat menentukan adalah “panggilan”, yang melalui pemilihan,
peneguhan, dan pengangkatan. Calvin mengatakan bahwa jabatan gerejawai
merupakan jabatan yang terhormat (1 Tes. 5:12-13).[17]
Oleh karena itu seorang hamba Tuhan yang mau melayani haruslah memiliki sifat dan
karakter sebagai berikut:
Tak Bercacat
“Tak bercacat” dalam bahasa Yunani avnepi,lhptoj (anepileptos), adalah kata sifat
yang artinya tak bercela; tak bercacat tidak pernah tertangkap melakukan
kesalahan atau terbukti tidak bersalah.[18] Tak
bercacat artinya tidak ada kekurangannya, tidak ada cacatnya, lengkap
dan sempurna. Secara harafiah, ungkapan ini berarti tidak ada apapun yang harus
di perbaiki, yaitu seharusnya dalam kehidupannya sama sekali tidak ada yang
dapat digunakan oleh iblis atau orang yang belum di selamatkan untuk mengkritik
atau menyerang jemaat.[19]
Hal ini berhubungan dengan perilaku yang sudah terbukti benar, yang tak
bercacat dalam kehidupan pernikahan, rumah tangga, sosial, dan usaha. Seorang
penilik jemaat sebaiknya jangan sampai dituntut telah melakukan kemesuman atau
perbuatan yang tidak senonoh. Sebaliknya, dia harus mempunyai reputasi tidak
bercela di hadapan orang yang di dalam dan di luar gereja.
Kata “tak
bercacat” digunakan untuk suatu kedudukan yang tidak mungkin dilawan, suatu
kehidupan yang tidak mungkin dicela, suatu seni atau teknik yang demikian
sempurna sehingga tidak ditemukan suatu kesalahanpun di dalamnya.[20] Seorang
yang tak bercacat memiliki moral yang baik dan reputasi kerohanian yang baik.[21] Namun
perlu digarisbawahi bahwa apa yang dimaksud Paulus bukan berarti para penatua
bukanlah orang berdosa, tetapi dalam perjuangan mereka dengan secara serius dan
bertanggung jawab di dalam anugerah Tuhan untuk tidak hidup sembarangan,
melainkan betul-betul menjaga akan karakter mereka sesuai dengan pengajaran
firman Tuhan.
Oleh karena itu,
dalam kepribadian seorang hamba Tuhan, khususnya para pejabat gereja harus
rendah hati dan dapat mendengar pendapat orang lain, ini suatu syarat penting
bagi gembala. Melihat betapa Paulus menganggap pentingnya ajaran yang murni
bagi tugas pembinaan jemaat di bidang iman maupun kelakuan hidup. Oleh sebab
itu tugas seorang penatua adalah disamping memerintah jemaat, mengelolah
rumah-tangga Allah, ia juga mengajar, menasehati dan menjaga kemurnian ajaran
di dalam jemaat, maka ia tidak boleh cacat secara moral atau etis.
Dapat
Menahan Diri
“Dapat menahan diri” dalam bahasa Yunani adalah nhfa,leoj (nephaleos), merupakan kata sifat yang berasal dari kata “nepho” berarti “menjadi sadar”, baik,
tidak mabuk, bebas dari pengaruh negatif (minuman keras); secara kiasan berarti
berhati-hati, bebas dari pengaruh kehidupan buruk. Dan juga “dapat menahan
diri” bisa juga berarti tidak minum anggur atau minuman keras, namun agaknya
ungkapan ini digunakan sebagai suatu kiasan untuk menggambarkan kelakuan yang
tidak melanggar batas-batas kesopanan, terutama dalam hal tingkah laku dan
kerohanian.[22] “Dapat menahan diri” berarti
mampu mengendalikan diri.
Hal ini sangat penting dapat diwujudkan oleh para hamba Tuhan. Paulus
menjelaskan tentang hal ini dengan menggunakan analogi dari seorang pelari
dalam suatu lomba, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan
semua peserta turut berlari tetapi hanya seorang saja yang menjadi pemenang?
karena itu berlarilah sebegitu rupa, sehingga kamu memperolehnya.”[23]
Kemudian Paulus
menekankan nilai-nilai abadi dari penguasaan diri dan pengorbanan pribadi demi
suatu hasil yang akan diperoleh. “Sebab itu aku tidak akan berlari tanpa tujuan
dan aku bukan petinju yang sembarang memukul tetapi aku melatih tubuhku dan
menguasai seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain,
jangan aku sendiri ditolak” 1 Korintus 9:26-27. Sebagai pengatur rumah Allah,
yang mempunya kerinduan memimpin orang lain atau jemaat sangat penting dan
wajib menahan diri atau menguasai
dirinya.
Bijaksana
“Bijaksana” dalam bahasa Yunani sw,frwn (sophron), merupakan kata sifat, dari
kata “soos”, (suara, aman) dan kata
“phren” adalah (pandangan atau sikap batin tentang apa yang yang
mengatur kehidupan) “pheren” akar
kata dari “diafragma”, (organ dalam otot yang mengatur kehidupan fisik,
mengontrol pernapasan dan detak jantung).
Jadi, sw,frwn (sophron) berarti, orang
yang tidak memerintahkan dirinya sendiri, melainkan diperintahkan oleh Allah, selalu berhati-hati, menjaga diri; sederhana,
murni.[24] Kata
“bijaksana” menurut terjamahan King James Version adalah “sober” yang artinya,
ketertiban, waras, dalam indera seseorang; membatasi keinginan dan dorongan
seseorang, mengendalikan diri. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
“bijaksana” artinya, selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan
pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti dsb)
apabila menghadapi kesulitan.[25]
Sopan
“Sopan” dalam bahasa Yunani, ko,smioj (kosmios), adalah kata sifat yang
berarti tertib, berbudi luhur, layak, sederhana, tertata baik. Beradap tentang
tingkahlaku, tutur kata dan pakaian. Wiersbe, mengungkapkan bahwa, “Seorang
gembala sidang harus teratur dalam pikiran dan kehidupannya, juga dalam
pengajaran dan pemberitaannya. Kata Yunani yang diterjemahkan menjadi “sopan”
dalam ayat ini sama artinya dengan kata “pantas” dalam 1 Timotius 2:9, yang
menunjuk kepada pakaian perempuan. Pusat perhatian ayat ini diletakan pada
keteraturan serta keadaan yang bebas dari kekacauan pikiran. Sedangkan kata “sopan” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia artinya, hormat dan takzim, tertip menurut adat yang baik: dengan
mempersilahkan tamunya duduk; kepada orang tua kita wajib berlaku; beradap
tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian dan sebagainya; tahu adat, baik budi
bahasanya ia berlaku amat kepada kedua orang tuanya, baik kelakuannya (tidak
lacur, tidak cabul).[26]
Cakap
Mengajar
“Cakap mengajar” dalam bahasa Yunani didaktiko,j (didaktikos), merupakan kata sifat yang berarti mampu mengajar, pandai
mengajar atau memiliki kemampuan dan kepandaian dalam pengajaran. Disini pandai
mengajar menekankan tugas pemimpin jemaat sebagai orang yang mampu mengajarkan
ajaran yang benar serta membuktikan kesalahan ajaran-ajaran sesat. Ungkapan ini
digunakan lagi dalam 2 Timotius 2:24. Cara lain untuk mengungkapannya ialah
“mampu mengajarkan orang percaya dengan baik”. Kata mengajar διδάσκo (didasko),
mengandung arti, mengabarkan, memanggil untuk mengambil keputusan menyapa orang
dengan kehendak Allah bagi mereka secara utuh.[27]
Disini penulis
menguraikan pembahasan di atas bahwa seorang hamba Tuhan harus bisa mengajar
sesuai dengan pengajaran Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru yang menjelaskan
peran Yesus sebagai guru (Mat. 12:28; 22:16, 24, 36). Sebagai pengajar Tuhan
Yesus sangat menguasai peran-Nya sebagai guru yang sangat baik (Yoh. 13:13;
Kis. 7:59; 19:5, 13, 17).[28]
Harianto mengatakan bahwa sebagai pengajar, harus menjadi orang yang memiliki
rasa takut akan Tuhan karena teori belajar yang efektif yaitu, masuk dalam
proses pembelajaran Allah dan bukan dalam teori belajar di luar Allah.[29]
Kemampuan
dalam mengajarkan firman Tuhan merupakan salah satu penekanan Paulus apabila
seseoran ingin menjadi penatua. Henry’s dalam komentarnya
mengatakan, “ Oleh karena itu khotba seorang uskup yang digambarkan
paulus, harus mampu dan bersedia untuk berkomunikasi dengan orang lain tentang
pengetahuan yang Allah berikan kepadanya, orang yang cocok untuk mengajar dan
siap untuk mengambil semua kesempatan harus menyampaikan hal tentang kerajaan
sorga kepada orang lain. “ Therefore this is a preaching
bishop whom Paul describes, who is both able and willing to communicate to
others the knowledge which God has given him, one who is fit to teach and ready
to take all oppurtnities of giving instructions, who is himself well instructed
in the things of the kingdom of heaven, and is communicative of what he
knows to others.[30]
Perhatian
utama dari Paulus ialah orang-orang yang memegang jabatan harus menunjukkan
teladan yang baik bagi orang-orang lain. Mereka harus pandai mengajar,
karena peranan mereka adalah untuk meneruskan apa yang telah diajarkan kepada
mereka sendiri (band. 2 Tim. 2:2).[31]
Memang dalam beberapa surat-surat Rasul Paulus sepertinya pekerjaan para rasul
adalah mengajar dan berkhotbah seperti yang terjadi di dalam Gereja mula-mula,
tetapi apabila lebih dipertajam lagi untuk melihat surat-surat penggembalaan
Paulus bahwa tugas seorang penatua dan diaken tidak hanya bersifat
organisatoris dan pelayanan praktis, tetapi mereka juga punya tanggung jawab
untuk mempertanggungjawabkan iman mereka di hadapan jemaat atau orang-orang
yang dilayanai.
Soal
pengajajaran itu tidak terlepas pada khotbah-khotbah di depan umum, tetapi
meliputi juga peneguran secara pribadi.[32] Para
penatua diharapkan sanggup mempertanggung jawabkan imannya kepada setiap
orang yang dijumpai. Mereka harus sungguh-sungguh berpegang pada kebenaran
firman Allah, mampu dan siap mengajarkan kebenarannya kepada orang lain, dan
dapat menghentikan ajaran-ajaran yang mematikan dari guru-guru palsu.[33]
Konteks
pelayanan Paulus pada saat itu sangat dibutuhkan seorang pengajar karena para
pemimpin gereja masih kekurangan dalam hal kuantitas. Oleh sebab itu pentingnya
seorang penatua mampu mengajarkan firman Tuhan baik itu kepada orang Kristen
maupun yang non-Kristen. Walaupun seolah-olah Paulus tidak mengharuskan
seseorang bisa mengajar (bnd. 1 Tim. 5: 17), tetapi paling tidak bahwa seorang
penatua mampu mengkomunikasin Injil yang dia dapatkan untuk diteruskan kepada
orang lain.
Bukan
Peminum
“Bukan peminum” dalam bahasa Yunani mh, mh pa,roinoj (me paroinos). Alkitab
Penuntun Hidup Berkelimpahan memberikan penjelasan bahwa,
“frasa ini (Yun. me paroinon, dari me berarti “tidak” dan paranois, kata majemuk yang berarti
“pada, dengan,dekat anggur”) yang diterjemahkan secara harfiah berarti “tidak
dekat atau dengan anggur”, “tidak bersama dengan anggur”. Di sini Alkitab
menuntut bahwa seorang penilik jemaat tidak boleh minum anggur yang memabukkan,
tergoda atau terbujuk olehnya, atau makan minum bersama dengan
pemabuk-pemabuk.”[34]
pa,roinoj (paroinos)
yang merupakan kata sifat, yang artinya mabuk, suka bertengkar. Jadi mh, pa,roinoj
(me paroinos) berarti, orang yang bukan penggemar minum minuman
keras.
“Peminum” bisa diungkapkan menjadi pemabuk (BIS),
mabuk merupakan salah satu kebiasaan buruk masyarakat waktu itu. Dalam dunia
Perjanjian Baru. Oleh karena itu seorang penilik jemaat harus memberi contoh
yang baik dalam segala hal kepada jemaat, tidak boleh seorang peminum.[35] Paulus
menekankan pentingnya reputasi penatua di Efesus di hadapan orang-orang
dunia. Yang menjadi penekanan Paulus bukan saja agar para penatua itu
memiliki nilai-nilai Kristiani. Lebih dari itu, ia ingin agar hidup para
pemimpin Kristen di Efesus merefleksikan idealisme tertinggi dari moralisme
Yunani pada saat itu. Yang Paulus kehendaki adalah agar kesaksian hidup
mereka dapat menjadi standar moral dan teladan bagi orang-orang dunia.[36] Oleh
sebab itu seorang penatua tidak boleh seorang pemabuk minuman keras.
Bukan
Pemarah
“Bukan pemarah” dalam bahasa Yunani, mh plh,kthj
(me plektes), yang berarti bukan pemarah, kasar atau suka
bertengkar. Kata plh,kthj (plektes) adalah kata benda yang menggambarkan
sifat orang yang cepat marah dan yang tidak ragu-ragu menggunakan kekerasan
terhadap orang yang mengganggunya atau orang kontroversial, petarung. Jadi mh, plh,kthj ( me plektes) artinya orang yang
bukan pemarah melainkan peramah, sabar atau cermat dan tidak suka bertengkar.[37] Karakter
seorang penatua tidak boleh suka bertengkar. Seperti yang diungkapkan oleh
Blaiklock bahwa, “Orang yang bisa meninju atau memukul
hambanya tidak layak menjadi pekerja Kristen. Ia bukan penyombong yang
suka berkelahi, ia bukanlah jagoan yang angkuh atau cepat membalas dendam.”[38]
Jadi seorang penatua harus bisa mengendalikan diri pada saat berkonflik dan
senantiasa memiliki hati yang pendamai bukan pemarah.
Tidak
Sombong
“Tidak sombong”
mh, tufo,w
( me tuphoo), menggunakan
kata “tuphoo” berasal
dari kata kerja “ tufo,w”
(tupho), yang artinya ”pudar nyala
apinya” (Mat. 10:20), harfiah “berasap”. Sombong ibarat asap yang membumbung ke
atas atau tinggi hati.[39]
Kata “tuphoo”diterjemahkan di
bagian lain dalam Alkitab LAI sebagai berlagak tahu (1 Tim. 6:4), dan tidak
berpikir panjang (2 Tim. 3:4).[40]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia “sombong” artinya,
menghargai diri secara berlebihan, congkak. Maka kata “tidak sombong” artinya
renda hati, sederhana, lemah-lembut atau bersahaja.[41]
Disini penulis menyimpulkan bahwa seorang hamba Tuhan seharusnya tidak angkuh,
congkak, melainkan rendah hati dan selalu bersahaja dan bersikap lemah-lembut
terhadap jemaat serta masyarakat umum dalam kehidupan sosial.
Mempunyai
Nama Baik
“Mempunyai nama baik” dalam
bahasa Yunani marturi,a (marturia)
merupakan kata benda yang berarti kesaksian, bukti nama baik, reputasi, tidak
jahat tentang kelakukan budipekerti dan keturunan. Syarat terakhir bagi orang
yang ingin menduduki jabatan dalam jemaat adalah “hendaklah ia juga mempunyai
nama baik diluar jemaat”. Yang dimaksud dengan diluar jemaat kemungkinan besar
adalah dikalangan orang-orang bukan Kristen. BIMK, menerjemahkannya menjadi “ia
haruslah orang yang mempunyai nama baik dalam masyarakat.” Kelakuan seorang
penilik jemaat haruslah sedemikian baiknya, supaya orang-orang bukan Kristen
pun terkesan oleh kelakuannya yang tak bercela dalam bahasa tertentu bisa
menyusun ulang menjadi “dia haruslah orang yang dihargai atau disukai oleh
orang-orang yang tidak percaya pada Yesus.”
Jika orang itu tidak memenuhi syarat ini ada
kemungkinan digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis. Ia akan digugat oleh
orang lain diluar jemaat yang mungkin akan mengatakan hal-hal yang jelek tentang
para pemimpin jemaat, misalnya menuduhnya sebagai orang munafik. Digugat orang,
tidak berarti bahwa orang itu di bawa ke pengadilan tetapi orang lain “mengatakan
hal yang buruk tetang dia”. Bisa juga digunakan kiasan “supaya ia tidak
kehilangan integritas di hadapan orang lain.[42] Jadi
penulis menyimpulkan bahwa marturi,a (marturia)
artinya, bukti yang memberikan kesaksian terhadap kelakuan seseorang.
Sumber Pembentukan Karakter Hamba Tuhan
Berbicara
mengenai karakteristik, merupakan pokok penting yang harus dimiliki oleh
seorang hamba Tuhan atau orang percaya dalam sebuah wadah pelayanan atau
gereja. Adapun karakter tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan
memiliki sumber pembentukan yaitu berasal dari Roh Kudus dan Firman Tuhan atau
Alkitab.
Roh Kudus
Roh Kudus
merupakan penolong yang dijanjikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam 1
Korintus 1:26 adalah bukti tentang berubahnya orang-orang yang telah menerima
Roh Kudus di dalam hati mereka karena percaya kepada Yesus, oleh karena itu Roh
kudus merupakan sumber pembentukan karakter orang percaya. Sebagai orang
percaya, Roh kudus mempunyai peran penting dalam menumbuhkan kerohanian di
dalam setiap aspek kehidupan. Tanpa Roh Kudus, hidup orang percaya tidak
mempunyai arti sama sekali. Karena Roh Kuduslah orang percaya dapat
mengenal Allah Bapa dan Yesus Kristus. Orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah
orang yang hidupnya telah diubah oleh pengaruh Roh Kudus dan firman, sehingga
dia menjadi orang yang suka akan kekudusan. Karena dipenuhi Roh Kudus, dengan
sendirinya orang tersebut tidak menyukai hal yang palsu, yang tidak benar, yang
tidak suci, dan yang menyeleweng, karena Roh Kudus memenuhi dirinya, maka tidak
ada sesuatu yang tidak kudus boleh berada di dalam dirinya.[43]
Dipenuhi
Roh Kudus sebenarnya adalah suatu kondisi di mana oknum Roh Kudus mengambil
peranan berdaulat untuk menguasai seluruh hidup manusia. Roh Kudus adalah oknum
ketiga dalam Allah Tritunggal. Ia adalah Pemberi Hidup, yang melepaskan manusia
dari kuasa kematian dan kuasa dosa (Rom. 8:2), mempersiapkan orang
untuk masuk kehidupan baru, dengan cara menginsyafkan orang itu (Yoh.16:8), Roh Kudus memimpin kepada kebenaran
(Yoh. 16:13), Roh Kudus mengajar dan mengingatkan (Yoh. 14:26, Luk. 12:12), Roh Kudus membantu pertumbuhan
rohani orang percaya (Ef. 3:16-19). Orang yang menyebut diri
mengabarkan kebenaran, tapi tidak menitikberatkan Roh Kudus dan pimpinannya dan
orang yang mengaku diri dipenuhi Roh Kudus, tetapi berita yang disampaikan
tidak sesuai dengan firman, semuanya sia-sia.
Orang yang
dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang menitikberatkan kehendak dan pimpinan Roh
Kudus atas dirinya serta menyampaikan berita yang sesuai dengan Alkitab. Hal
ini dimaksudkan ialah agar gereja dapat dipimpin dan diatur, dengan
mempergunakan segala karunia dan segala kekuatan bagi pembangunan dan
pertumbuhan gereja, baik secara jasmani maupun rohani.[44]
Orang yang dipenuhi Roh kudus adalah
orang yang berani, yang tidak takut menjalankan kehendak Allah.[45]
Sebelum seseorang
dipenuhi Roh Kudus, dia merasa terkejut dan takut ketika melihat
penganiaya-penganiaya mendekati dirinya. Seperti murid-murid Yesus Kristus yang
mengunci semua pintu karena takut. Tetapi setelah mereka dipenuhi Roh Kudus,
mereka justru membongkar pintu, membuang kunci, dan pergi ke mana saja, tanpa
merisaukan apakah masih dapat pulang atau tidak. Pemimpin-pemimpin yang saleh,
tidak hanya menghadapi perlawanan dari luar golongan orang yang setia, tetapi
juga dari dalam. Yang paling menyakitkan bagi para pemimpin Kristen atau para
hamba Tuhan ialah orang-orang yang menyebut dirinya Kristen.
Roh Kudus
menolong orang yang percaya supaya ia dengan penuh kuasa dapat meneruskan
kepada orang-orang lain kebenaran yang diajarkan oleh Roh Kudus kepadanya (1
Kor. 2:1-5; 1 Tes. 1:5; Kis. 1:8).[46] Bahwa
setiap orang percaya kepada Yesus akan diberikan kuasa oleh Roh Kudus untuk
dapat bersaksi kepada orang lain tentang Yesus, karena dalam pemberitaan Injil
ataupun saat bersaksi sebenarnya orang tersebut sedang berperang dengan kuasa
roh-roh yang lain. Perlu adanya oknum atau pribadi yang mampu untuk
mengalahkan kuasa-kuasa itu, dan Roh Kuduslah yang bisa untuk mematahkan kuasa
roh-roh yang jahat. Semua orang selalu memerlukan pertolongan Roh
Kudus.
Jika Roh Kudus
memenuhi seseorang, maka orang itu akan menyatakan hidup dengan etika yang
baru, yaitu etika dari Roh Kudus. Hal ini tidak bisa dipalsukan. Bukan saja
demikian, orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang penuh dengan cinta
kasih Allah Alkitab mengatakan, dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka
(Matius 7:20), yaitu menghasilkan buah-buah Roh (Gal. 5:22-23) ini adalah bukti
atau fakta yang tidak bisa dipalsukan[47]
Roh Kudus tidak
akan memperbolehkan seseorang hidup bagi dirinya sendiri, karena kasih Kristus
akan mendorongnya, sehingga dia mau hidup bagi Dia yang sudah mati dan bangkit
baginya. Paulus di dalam Filipi 2:13 berkata, “Karena Allahlah yang mengerjakan
di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab, yang
merupakan sikap yang paling penting dalam karakter seorang pemimpin atau pejabat
gereja. Winston berkata, “Harga dari sebuah kebesaran adalah tanggung jawab
(the price of greatness is responsibility)”. Dalam hal itu, pemimpin harus
bertanggung jawab kepada diri sendiri, pada pekerjaannya, pada harta yang
diterimanya, dan kepada orang yang dipimpinnya, dengan demikian ia bisa menularkan
prinsip itu kepada orang lain atau jemaat.[48]
Alkitab
Alkitab adalah
firman Allah yang harus dijunjung tinggu oleh setiap orang percaya terutama
seorang hamba Tuhan. Ketika Alkitab sudah berbicara, dia akan berhenti. Di
antara pengertian yang berbeda-beda, di antara ajaran yang simpang siur, dan
doktrin yang berbeda-beda tekanannya, biarlah Alkitab yang memberikan
pengertian yang seimbang dan stabil. Jangan menambahkan isi Alkitab dengan
konsili-konsili, atau doktrin-doktrin, atau tradisi-tradisi yang ada di dalam
buku manusia. Seorang hamba Tuhan harus menjujung tinggi Alkitab sebagai Firman
Allah yang tertulis, dengan cara menafsirkan Alkitab tersebut dengan
prinsip-prinsip yang sehat. Langkah yang paling sederhana ialah menerapkan
metode penafsiran yang kembali kepada maksud penulis yang orisinal, yaitu
melihat latar belakang Kultural, historis, gramatika, dan sebagainya.
Mengetahui maksud penulis yang mula-mula pada apa yang dikatakan Alkitab, sama
dengan menemukan maksud yang normative dari Alkitab.[49]
Alkitab adalah Firman Allah, merupakan perkataan
Allah, di mana Allah berbicara kepada manusia secara tertulis. Alkitab adalah
Firman Allah yang menjadi otoritas dan satu-satunya landasan praktik kehidupan
percaya. Oleh karena itu, selain berdoa, orang Kristen juga perlu membaca,
mempelajari dan melakukan semua yang tertulis dalam Alkitab (2 Tim. 3:16). Mengapa orang
Kristen harus membaca Alkitab? Karena Alkitab adalah hembusan Allah yang
bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, mendidik
orang dalam kebenaran.
Mengajar. Alkitab merupakan sarana
utama untuk mempelajari pengenalan akan
Allah. Tanpa suatu pemahaman mengenai firman Allah tidak mungkin seorang
Kristen atau hamba Tuhan mengetahui bagaimana ia harus dengan suatu sikap
menyenangkan Tuhan. Menyatakan kesalahan.
Firman Tuhan adalah cermin bagi orang percaya, sehingga dengan firman Tuhan
tersebut setiap orang percaya atau hamba Tuhan dapat melihat dan mengetahui
posisi dirinya yang sebenarnya. Memperbaiki
Kelakuan, sebagai sarana yang digunakan untuk meluruskan kembali orang
Kristen pada kebenaran.
Alkitab
pertama-tama menegur pembaca atas dosa-dosa, lalu Alkitab menunjukkan bagaimana
cara menghadapi dosa supaya ia dapat kembali berjalan dengan Allah. Mendidik dalam kebenaran. Dalam hal
ini bermanfaat untuk melatih setiap orang percaya dalam jalur kebenaran. Sarana
yang digunakan orang percaya untuk dibentuk di jalan yang benar dalam hidupnya.
Selain itu, Alkitab juga adalah sumber sukacita dan penghiburan,
senjata yang digunakan dalam peperangan rohani, sumber pengetahuan yang benar
tentang Allah yang akan membuat manusia bertumbuh dewasa baik secara rohani
maupun jasmani.
Lingkungan dan Budaya
Lingkungan amat
penting bagi kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena
lingkungan memiliki daya dukung, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Arti penting lingkungan bagi
manusia adalah sebagai berikut: Lingkungan merupakan tempat hidup manusia,
berada, tumbuh, dan berkembang di atas bumi sebagai lingkungan, lingkungan
memberi sumber-sumber penghidupan manusia, lingkungan mempengaruhi sifat,
karakter, dan perilaku manusia yang mendiaminya, lingkungan memberi tantangan
bagi kemajuan peradaban manusia dan manusia memperbaiki, mengubah, bahkan
menciptakan lingkungan untuk kebutuhan dan kebahagiaan hidup.[50]
Lingkungan
memberikan makna atau arti penting bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya, namun ada banyak ragam problem sosial yang terjadi dan dihadapi
masyarakat, sesuai dengnan faktor-faktor penyebabnya seperti, faktor ekonomi,
faktor biologis, faktor psikologis, faktor kebudayaan dan pendidikan, sehingga
mengakibatkan interaksi dalam lingkungan sosial memudar, lingkungan dengan
kesejahteraan tidak terjamin.[51]
Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai
aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa,
adatistiadat dan sebagainya, oleh karenanya masyarakat (dalam arti
luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks
keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus
pula berjalan satu dengan yang lainnya.[52]
Dalam
berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui
masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya
saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau
norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Komunikasi dan budaya
mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya
menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun
turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti
yang dikatakan Edward bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah
komunikasi.[53]
Penulis mengambil
kesimpulan bahwa, pentingnya peranan komunikasi, lingkungan dan budaya maupun
sebaliknya, maka perlu sebagai hamba Tuhan mempelajari situasi dan budaya
dimana jemaat atau tempat dia melayani, serta menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan tersebut, sebagai salah satu cara dalam membentuk karakter yang
posoitif yang dapat membangun pertumbuhan, baik dalam hal sosial, masyarakat
bahkan jemaat sekalipun. Sehingga di dalam kehidupan bermasyarakat dan
beragama, hamba Tuhan tersebut dapat mencerminkan karakteristik Kristus yang
sebenarnya.
[1]J.
Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab: Roma
Sampai dengan Wahyu, peny., G.M.A Nainggolan Dan H.A. Oppusunggu, pen.,
Sastro Soedirdjo, 4 Jil. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012), 4:157.
[2]Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 242-43.
[3]
Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru,
pen., Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 243.
[4]Adina
Chapman, Pengantar Perjanjian Baru
(Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004), 114.
[5]Merril
C. Tenney, Survei Perjanjian Baru
(Malang: Gandum Mas, 2013), 414-15.
[6]J.Wesley
Brill, Tafsiran surat Timotius
dan Titus (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1996), 9-1.
[7]George
Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru,
pen., Urbanus Selan dan Henry Lantang, 2 Jil. (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
1999), 2: 326.
[8]Ola
Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Malang: YPPII, 1999), 218-21.
[9]M.E.
Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian
Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 61-2.
[10]E.
Chauke dan B. Beckelhymer, Penyelidikan
Perjanjian Baru, pen., Norman Hasse (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999),
24.
[11]Klaus
Koch, Kitab yang Agung, pen., S.M.
Siahaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 130.
[12]Donald
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru,
pen., Hendry Ongkowidjojo, 3 Jil. (Surabaya: Momentum, 2010), 1: 228.
[13]Jhon
Balchin dkk, Inti Sari Alkitab,pen,
Retnawaty Rimba (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,1994), 96.
[15]M.
Bons-Strom, Apakah Penggembalaan Itu? (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2018), 23.
[16]Warren
W. Wiersbe, Setia di dalam Kristus,
(Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), 43-4.
[17]J.L.Ch.
Abineno, Penatua: Jabatan dan Pekerjaannya (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), 13.
[18]Barcklay
M. Newman JR, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru, pen., Jhon Miller
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 12.
[19]Ibid.,
44.
[22]Daniel
C. Arichea dan Howard A. Hatton, Surat-Surat
Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus (Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2004), 64.
[23]John
Stott, Sepanjang Tahun Menelusuri Alkitab,
pen., Lilian Tedjasudhana Dan Yu Un Oppusunggu (Jakarta: Yayasan Bina Kasih,
2010), 383.
[24]B.F.
Drewes, Dkk, Kunci Bahasa Yunani
Perjanjian Baru, 2 Jil. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2: 216.
[25]Dendy
Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 190.
[26]Ibid.,
1330.
[27]John
M. Nainggolan, Guru Agama Kristen Sebagai
Panggilan dan Profesi (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 80.
[28]Dien
Sumiyatininggsih, Mengajar dengan Kreatif
dan Menarik (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), 46.
[29]Harianto
Gp, Pendidikan Agama Kristen dalam
Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini (Yogyakarta: Andi Offset, 2012),
213.
[35]R.
Budiman, Tafsiran Alkitab Surat-surat
Penggembalaan 1, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 27.
[37]A.M.
Stibbs, Tafsiran Alkitab Masa Kini, pen.,
A. Lumbatobing, 3 Jil. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 3: 693.
[39]Daniel
C. Arichea dan Hoard A. Hatton, Surat-Surat
Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus (Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2004), 68.
[41]Dendy Sugono, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), 1328.
[42]Daniel
C. Arichea dan Howard A. Hatton, Surat-Surat
Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus (Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2004), 68.
[43]Billy
Graham, Roh Kudus, pen., Susi
Wiridinata (Bandung: Yayasan Literatur Babtis, 1986), 44-1.
[44]Harun
Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003), 394.
[45]Eddy
Leo Dan Budi Setiawan, Saya Pengikut
Kristus Pemenang (Jakarta: Metanoia Publising, 2011), 57.
[46]R. Soedarma, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 212.
[47]Jhon M. Drescher, Melakukan
Buah Roh (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2008), 12.
[48]Daniel
Ronda, Leadership Wisdom (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2011), 42-3.
[49]Daniel
Lucas Lukito, Pengantar Teologia Kristen
1 (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 51.
[50]Edmund Leach, Culture
and Communication: The Logic by Which
Symbols are Connected (Cambridge University Press, 1976), 29.
[51]Alo Liliweri, Gatra-gatra
Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 32.
[52]Iris Varner dan Linda Beamer, Intercultural
Communication in The Global Workplace
(Mcgraw: Hill International, 2005), 107.
[53]Deddy Mulyana, Komunikasi antar Budaya: Panduan
berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, pen.,Jalaluddin
Rakhmat (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996),
94.
_________________________________________________________________________________
BAB IV
IMPLEMENTASINYA
BAGI PARA HAMBA TUHAN

Peta
yang mungkin menunjang perilaku profesional pelayan adalah kode etik. Meskipun
kode etik demikian tidak dengan sendirinya membuat orang beretika, ia bisa
memberi tuntunan. Kode etik mengembangkan tanggung jawab pribadi dengan cara
mendorong para pelayan mempertimbangkan etika dalam pelayanan. Kredibilitas
para hamba Tuhan bergantung pada kemampuan untuk mengontrol prilaku etis mereka
sendiri. Reasons, dalam kajian yang menyeluruh
tentang fungsi kode dalam etika pelayanan gereja, mengatakan bahwa,
“Pelayan bisa membedakan kesukaran-kesukaran etis yang khas profesinya dan
memanfaatkannya secara Alkitabia adalah hal yang sangat penting.”[1]
Pada masa kini keruntuhan moralitas dan
munculnya penyesat-penyesat dari para hamba Tuhan tersebut lebih
disebabkan oleh minimnya besic teologi dan rapuhnya dasar bangunan
rohaninya, karena hamba Tuhan tersebut tidak berpendidikan teologi yang
resmi, akibatnya karakter dari gembala atau para hamba Tuhan
tersebut terkadang tidak mencerminkan gambaran yang baik. Sebaliknya ada yang sudah
memiliki dasar rohani yang kokoh, jelas dan benar namun dalam pelaksanaannya
kehilangan keseimbangan sehingga mulai menyesatkan jemaat. Seperti
apa yang dikatakan oleh Sumarto, “Bahwa peran pendidikan teologi sangat besar yang
dapat membentuk karakter para hamba
Tuhan tanpa mengesampingkan peran orang tua dalam mentranformasikan karakter
dasar dan perkembangan kepribadian. Penulis mengamati banyak para hamba Tuhan
gagal di tengah jalan bukan karena kurang memenuhi abilitas tuntutan akedemis,
tatapi karena karakternya yang lama kumat lagi.[2]
Penggembalaan jemaat merupakan
pelayanan dalam gereja sesuai pembangunan tubuh Kristus demi terwujudnya gereja
yang dewasa dan sempurna. Karena itu diperlukan pemantapan visi dan misi,
keterampilan serta memiliki karakteristik yang benar dalam menjalankan
pelayanan di berbagai bidang pelayanan, termasuk kepemimpinan dalam gereja.
Sopater mengatakan bahwa, “Pemimpin gereja yang bertumbuh bukan saja memahami
teologia, tetapi juga perlu memahami faktor kepemimpinan.”[3] Dalam mengatasi persoalan di atas,
diperlukan adanya peran seorang hamba Tuhan dalam memimpin, yang sesuai dengan
kondisi dan keinginan sidang jemaat, seperti yang dikatakan oleh Thoha bahwa,
“Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengadaptasikan gaya agar
sesuai dengan situasi tersebut.”[4]
Petrus dan Paulus keduanya telah meninggalkan model atau
teladan kepemimpinan gembala pada orang percaya, yang seharusnya menjadi model
bagi para hamba Tuhan zaman ini. Paulus dalam suratnya (Kis. 20:28) mengatakan,
”Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang
ditetapkan Roh Kudus untuk menilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang
diperolehnya dengan darah Anak-Nya sendiri”. Dan surat Petrus (1 Pet.
5:2, 3, 4) mengatakan, ”Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu,
tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu, maka kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak
dapat layu. Dengan melihat uraian ini, maka seorang hamba Tuhan harsu menjadi
teladan bagi jemaatnya, yang mana para hamba Tuhan atau pejabat gereja pun
harus memiliki kualitas rohani.
Hamba Tuhan Harus Memiliki Kualitas Rohani
Ada tiga komponen yang digariskan dalam Matius 16:24
sebagai syarat kelayakan sebagai pengikut Kristus, yaitu “menyangkal diri,” “memikul salib” dan “mengikut
Dia.” Jadi orang yang merasa dirinya terpanggil untuk menjadi seorang hamba
Tuhan, hendaknya ia harus yakin bahwa pada saat ia mulai melakukan pelayanan
itu, ia bukan hanya dilengkapi secara pendidikan saja, melainkan diperlengkapi
dengan perlengkapan rohani yang berasal dari Allah.
Salah
satu sifat yang terpenting yang diberikan Allah kepada para hamba Tuhan yang
terpanggil ialah kesanggupan untuk mengasihi semua orang, termasuk bagi
orang-orang yang tidak membalas kasihnya itu.[5] Seorang
hamba Tuhan pun harus yakin akan keselamatanya sendiri. Ia harus yakin bahwa ia
telah diselamatkan, karena seorang hamba Tuhan tidak akan bekerja bagi Allah
jika ia tidak yakin akan hal ini.[6]
Hamba Tuhan dipanggil bukan hanya untuk melayani jabatan jemaat atau gereja,
tetapi melayani Tuhan. Semua pelayanan harus berdasarkan anugerah Tuhan, namun
kenyataannya banyak orang sibuk melayani gereja, tetapi belum tentu mereka
benar-benar melayani Tuhan dan yang harus di utamakan dalam pelayanan adalah
bagaimana hubungan hamba kepada Tuhan. Sehingga di dalam pelayanan, seorang
hamba tidak sia-sia, tetapi dapat menghasilkan buah yang banyak, dan dapat
membawa berkat kepada banyak orang.[7]
Karakter moral dan rohani yang teruji dan
terbukti benar dari hamba Tuhan yang menjadi pemimpin dalam gereja merupakan
hal yang terpenting dan terutama, jika dibandingkan dengan kemampuan
berkhotbah, kemampuan administrasi atau prestasi akademis. Penekanannya ialah
pada kelakuan yang bertekun dalam kebijaksanaan ilahi, dan kekudusan pribadi.
Sejarah rohani, setiap orang yang menginginkan jabatan hamba Tuhan dalam gereja
harus diuji terlebih dahulu. Demikianlah Roh Kudus telah menetapkan standar
yang tinggi bahwa calon itu harus orang percaya yang dengan tabah setia kepada
Yesus Kristus dan prinsip-prinsip kebenaran-Nya dan dengan demikian dapat
menjadi teladan kesetiaan, kebenaran, kejujuran dan kekudusan.
Seorang
hamba Tuhan harus menjadi serupa
dengan Kristus sesuai dengan kehendak Allah. Dalam Roma 8:29, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka
juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya,
supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung diantara banyak saudara.” Dalam proses
ini terjadi pembentukan karakter, dan pembentukan karakter
itu hanya bisa terjadi dengan senantiasa mengaplikasikan atau mempraktekkan firman Tuhan dengan disiplin yang tinggi. Bukti dari karakteristik yang seharusnya dihasilkan oleh seorang hamba Tuhan adalah seperti yang tertuang dalam Galatia
5:22-23 sebagai buah Roh yaitu kasih,
sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah
lembutan, penguasaan diri. Dalam surat rasul Paulus
kepada jemaat di Filipi (Fil. 2:1-11)
rasul Paulus mengharapkan karakter ini bertumbuh dalam
jemaat tersebut, secara khusus pada ayat 5 dikatakan: “Hendaklah kamu dalam hidup bersama,
menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus.”
Hamba Tuhan yang memiliki kualitas rohani, yang
penulis maksudkan di sini bukan berarti bahwa, kemampuan melayani adalah
segala-galanya bagi seorang hamba Tuhan. Rasul Paulus dalam hal ini
menyadari bahwa kemampuan pelayanan ini mendahului akan panggilan mereka
sebagai pelayan melalui pemilihan atau penetapan dari para gembala atau
jemaat. Kualifikasi pelayanan yang dimaksud adalah:
Pertama,
mampu mengajar (1 Tim. 3: 2). Kemampuan dalam mengajarkan firman Tuhan
merupakan salah satu penekanan Paulus apabila seseorang ingin menjadi pelayan
jemaat. Henry’s dalam komentarnya mengatakan, “Oleh karena itu khotba seorang
uskup yang digambarkan paulus, harus mampu dan bersedia untuk berkomunikasi
dengan orang lain tentang pengetahuan yang Allah berikan kepadanya, orang yang
cocok untuk mengajar dan siap untuk mengambil semua kesempatan harus
menyampaikan hal tentang kerajaan sorga kepada orang lain.” (Therefore this is
a preaching bishop whom Paul describes, who is both able and willing to
communicate to others the knowledge which God has given him, one who is fit to
teach and ready to take all oppurtnities of giving instructions, who is himself
well instructed in the things of the kingdom of heaven, and is
communicative of what he knows to others).[8]
Konteks
pelayanan Paulus pada saat itu sangat dibutuhkan seorang pengajar karena para
pemimpin gereja masih kekurangan dalam hal kuantitas. Oleh sebab itu
pentingnya seorang penatua mampuh mengajarkan firman Tuhan baik itu kepada
orang Kristen maupun yang non-Kristen. Walaupun seolah-olah Paulus tidak
mengharuskan seseorang bisa mengajar (bnd. 1 Tim 5: 17), tetapi paling
tidak bahwa seorang penatua mampu mengkomunikasin Injil yang dia dapatkan untuk
diteruskan kepada orang lain. Oleh karena itu seorang hamba Tuhan, harus
sanggup atau mampu memberikan pengajarn yang benar kepada jemaat demi
pertumbuhan jasmani dan rohani kearah yang lebih dewasa.
Kedua, berpegang
kepada kebenaran (1 Tim. 3:9; Tit. 1:9). Seorang pejabat gereja haruslah
sanggup untuk berdiri dan berpegang kepada kebenaran baik itu dalam hal
bersikap maupun berargumentasi dengan jemaat. Jikalau para hamba Tuhan tidak
memiliki dasar atau teologi yang kokoh, bisa saja jemaat akan kebingungan dan
berbalik kepada pemahaman mereka yang dahulu. Seorang hamba Tuhan harus
sanggup berpegang kepada kebenaran, tidak mudah diombang-ambingkan oleh
bidat-bidat atau pengajaran yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Paulus dan rasul-rasul yang lain.
Ketiga,
sebaiknya bukan petobat baru (1 Tim. 3:7). Seorang hamba Tuhan bukanlah seorang
pemula, bukan orang baru yang masih muda, atau seseorang yang baru saja
memiliki iman. Ia juga bukan baru dalam pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman
dan tidak berpengalaman dalam hal firman Tuhan.[9] Hal
ini sangat erat sekali dengan situasi jemaat pada saat itu. Apabila petobat
baru yang akan menjadi penatua mungkin saja mereka masih labil dan belum terlalu
paham dalam hal pengajaran firman.
Oleh
sebab itu sedapat mungkin mereka yang menjadi pelayan gereja bukanlah petobat
baru, supaya pelayanan lebih maksimal. Tetapi apabila di zaman sekarang
tentunya mengalami dinamika yang mungkin saja kualifikasi ini perlu
pengimplementasian yang bijaksana dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, karakternya secara moral
dan rohani harus mencerminkan ajaran Kristus dalam Matius 25:21, “Bahwa menjadi
setia dalam perkara kecil akan membawa kepada posisi tanggung jawab dalam
perkara yang besar.”
Hamba Tuhan Harus Memiliki Reputasi yang Baik
Syarat-syarat
yang diajukan Paulus, menginspirasi setiap orang percaya terutama bagi para
pejabat gereja, bahwa sebagai pelayan jemaat dituntut agar benar-benar memiliki
kepribadian yang baik dan kecakapan untuk melaksanakan tugas yang sangat mulia
dan berharga itu. Lebih dari itu seorang pelayan juga dituntut memiliki
reputasi yang baik di tengah-tengah masyarakat bahkan jemaat. Jika di
perhatikan paling sedikit ada empat belas syarat yang dituntut dari seorang
pelayan yaitu, tidak bercacat atau bercela, memiliki satu istri atau suami,
dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar,
bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang,
kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya, bukan baru
bertobat dan mempunyai nama baik di luar jemaat.[10]
Rasul
Paulus mengajukan syarat-syarat di atas bukan sekadar untuk menjadi wacana
apalagi untuk menghakimi orang lain. Sebab itu pertanyaan yang harus diajukan
apa dan bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh orang percaya atau hamba
Tuhan untuk mencapai kualitas yang diharapkan itu. Disini setiap orang para
pejabat gereja disadarkan minimal ada tiga hal yaitu:
Pertama,
kesungguhan (intensitas) menjadi pelayan. Hanya dengan kesungguhanlah seorang
hamba Tuhan dapat terus membangun dan mengembangkan kepribadian dan kecakapan
sebagai seorang pelayan. Kesungguhan itu terkait erat dengan komitmen (janji,
tekad). Komitmen itu sendiri sama dengan hutang yang harus dibayar, kewajiban
yang harus dilaksanakan dan janji yang harus ditepati.
Kedua,
usaha atau treatment. Tidak ada seorangpun yang dapat menjadi pelayan yang baik
dan cakap tanpa upaya atau treatment. Kepribadian dan kecakapan bukan sesuatu
yang otomatis atau given (diberikan dalam bentuk jadi), namun harus dibentuk
dan dilatih. Disini para hamba Tuhan disadarkan bahwa harus senantiasa belajar
atau berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi pelayan. Tidak ada pelayan yang
boleh merasa diri sudah mapan dan sempurna sehingga tidak perlu lagi berubah
dan dibaharui. Tidak ada kata tamat atau final untuk belajar.
Ketiga,
kerjasama. Tuhan memanggil untuk melayani, bukanlah seorang diri
melainkan bersama banyak orang. Sebab itu hamba Tuhan diajak memahami pelayanan
sebagai panggilan bersama. Itu artinya dia harus bekerjasama dan bersinergi
agar dapat menghasilkan pelayanan yang terbaik, dan juga harus membangun organisasi yang
benar-benar efisien dan efektif mewujudkan pelayanan itu.[11] Orang
bijak mengatakan yang paling mudah adalah mengubah diri sendiri, selanjutnya
mengubah lingkungan. Namun yang paling sulit adalah mengubah orang lain,
apalagi dalam jemaat dimana banyak sanksi tidak dapat diberikan secara tegas
dan keras. Namun sebagai pelayan harus dapat mengubah orang lain melalui
keteladanan dan kharisma atau wibawanya. Disinilah pentingnya empat belas
persyaratan yang diajukan Paulus di atas. Seperti halnya kepada Timotius
sendiri, Rasul Paulus meminta dia agar menjadi teladan minimal dalam lima hal
yaitu, perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. Sebab tanpa
keteladanan itu seorang pelayan atau hamba Tuhan tidak akan dapat melayani
apalagi mempengaruhi orang lain menjadi baik.
Menjadi
seorang hamba Tuhan berarti menjadi pemimpin rohani bagi jemaat, dengan
demikian hamba Tuhan haruslah orang yang terhormat (1 Tim. 3:8). Sebagaimana
Paulus memberikan penekanan kepada kualifikasi karakter kepada seorang penatua,
hal ini ditujukan juga kepada seorang diaken. Oleh karena itu sorang pejabat gereja harulah orang
yang terhormat. Kata terhormat di sini tidaklah menunjukkan bahwa
diaken harus gila hormat, tetapi hendaknya memiliki karakter moral dan
spiritual yang mendapat penghargaan dan pengakuan dari orang lain. Mereka
tidak mudah dicela karena memiliki karakter yang dapat
dipertanggungjawabkan.Kata “terhormat” bisa juga diartikan “terkenal baik” (bnd.
Kis. 6:3). Seorang hamba Tuhan juga
seharusnya tidak bercabang lidah (1 Tim. 3:8). Seorang pelayan gereja
harus mampu mengendalikan perkataannya dan tidak sembarangan berbicara. Ia
bukan seorang yang suka bergunjing dari rumah ke rumah, bukan seorang yang suka
menyebarkan gosip. Ia
bukan seorang yang suka mengatakan sesuatu kepada seorang anggota jemaat,
kemudian mengatakan sesuatu yang lain kepada anggota jemaat yang lain.[12]
Hamba Tuhan Harus Memiliki Tanggung Jawab
Seringkali di dalam
Alkitab, kehidupan orang Kristen dan kesaksian dihubungkan dengan sebuah
perjuangan. Paulus menulis kepada Timotius,”Tugas ini kuberikan kepadamu,
Timotius anakku, sesuai dengan apa yang telah dinubuatkan tentang dirimu,
supaya dikuatkan oleh nubuat itu engkau memperjuangkan perjuangan yang baik
dengan iman dan hati nurani yang murni” (1 Tim. 1:18). Dalam Efesus 6:17
menjelaskan persenjataan lengkap dari prajurit Kristen dengan setiap detailnya.
Dengan terang Paulus berdasarkan pengalaman mewaspadai serangan gencar dari
musuh Allah. Dia sendiri telah bertarung sebagai petarung Allah yang baik (2
Tim. 4:7).
Ketika Yesus menghadapi serangan yang sengit terhadap misi penyelamatan-Nya,
Dia memanggil keluar, memerintahkan dan mengorganisasikan sebuah kelompok yang
Dia sebut sebagai dua belas rasul, untuk memberitakan terang dan kebenaran yang
mampu menahan serangan jahat dari iblis. Kedua belas rasul ini dengan semangat disebut
sebagai misionaris seperti Paulus dan Barnabas yang membangun dan mengorganisir
gereja-gereja di seluruh wilayah Roma. Tanpa kelompok yang diorganisir itu
(gereja-gereja) maka iman dapat tenggelam ke dalam samudra sekularisme.
Jika kehidupan Kristen dihubungkan oleh
Alkitab sebagai sebuah perjuangan, maka angkatan perang dari prajurit Kristus
harus diatur dengan kekuatan penuh, dari pimpinan pendeta hingga pelayan yang
sederhana dalam peloton-peloton iman. Hamba Tuhan harus memiliki sebuah
barisan, rasa patriotik dan kasih. Pendeta harus merupakan pemimpin
rohari dari jemaat. Salah satu tugas hamba Tuhan ialah berkotbah kepada jemaat
dan bertintak sebagai moderator serta melaksanakan berbagai tugas yang menjadi
bagiannya, karena kehidupan rohani jemaat bertumbuh dari pengetahuan akan
kehendak Allah, yang merupakan standar pertumbuhan kehidupan rohani.[13]
Pendetalah yang memberitakan dan
menerangkan iman Kristen kepada anggota jemaat. Dia wajib memberi teladan tentang
sikap hidup dan kelakuan Kristen. Pendeta mewakili jemat dan bertanggungjawab
atas pelaksanaannya jadi pertaliannya dengan jemaat sangat erat. Tuhan Yesus
mengibaratkan perhubungan itu dengan seorang gembala dan domba-dombanya.
Sebagai seorang pendeta atau gembala bukan saja mengantar kawanan dombanya
melainkan juga memberi makan kepadanya, ia membelanya bahkan ia rela
menyerahkan hidupnya sendiri guna mereka. Paulus menyinggung pula hal ini dalam
surat-suratnya sambil menegaskan bahwa ia mau memberikan seluruh pribadinya
bahkan sekalipun untuk kepentingan jemaat jika dituntut Tuhan. Oleh karena itu,
jabatan pendeta menurut wujudnya dan di dalam prakteknya pekerjaannya berlainan
benar dari segala pangkat yang lain dalam masyarakat. Jabatan itu mempercayakan
kepada dia tanggungjawab dan fungsi pemimpin yang tidak ada taranya.
Petrus berkata dalam suratnya
di 1 Petrus 5:1-4 menjelaskan dengan tegas
bahwa “Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, gembalakanlah kawanan
domba Allah yang ada padamu sesuai dengan kehendak Allah, jangan karena mau
mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.” Gembala bertugas
menggembalakan domba, dalam hal yang sederhana menggembalakan domba adalah
memberi makan dan menjaga domba itu secara aman. Demikian pula dalam pendeta
atau pastor menggembala jemaatnya, yang dibutuhkan adalah memberikan makanan
rohani yaitu firman Tuhan.
Fungsi gembala jemaat ialah memimpin
anggota jemaat untuk menjadi dewasa dalam firman Tuhan agar bisa mengambil
keputusan yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan serta membangun jemaat.[14] Dalam surat rasul Paulus kepada
jemaat di Roma mengatakan bahwa Paulus mempunyai keyakinan yang
kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap
orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani (Rom.
1:16). Sebutan Injil dalam I Timotius 1:11, yaitu Injil yang mulia dari Allah
yang memberi berkat mendorong Paulus untuk menceritakan kesaksian pribadinya
sendiri. Ia adalah bukti terbaik untuk menyatakan bahwa Injil kasih karunia
Allah itu sungguh-sungguh mengubah hidupnya (Kis. 9:1-22; 22:1-21).
Gembala merupakan pelayan Tuhan yang
telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan dan juga memiliki hati
yang rindu untuk melayani jiwa-jiwa yang belum diselamatkan dan ingin melihat
orang-orang yang belum diselamatkan berubah dan berbalik kepada Kristus.
Gembala jemaat harus memilki keyakinan akan pengajaran atau Injil yang
disampaikan kepada jiwa yang sesat. Paulus
menjelaskan bahwa keselamatan itu bukan untuk dia sendiri, tetapi juga untuk
semua orang yang menerima Yesus Kristus (1 Tim. 1:15). Jika Tuhan Yesus dapat
menyelamatkan Saulus dari Tarsus, orang yang paling berdosa, tentu Ia juga
dapat menyelamatkan siapa saja.[15]
Mempertahankan iman jemaat. Dalam
surat Paulus kepada Timotius, ia menyerahkan tanggung jawab kepada Timotius
supaya melaksanakannya, selain mengajarkan ajaran yang sehat dan memberitakan Injil
serta harus mempertahankan iman jemaat. Ini adalah kewajiban gembala untuk
memelihara kebenaran atau doktrin Injil yang diterima dan dianut di dalam
gereja dan mempertahankannya terhadap semua oposisi. Ini adalah salah satu
ujung utama pelayanan, salah satu sarana utama dari pelestarian iman yang
disampaikan kepada orang-orang kudus (1 Tim. 1:3. - 4, 4:6-7, 16, 6:20; 2 Tim.
1:14, 2:25, 3:14-17).
Hamba Tuhan harus mempertahankan iman
jemaat. Mempertahankan iman jemaat adalah hal yang sangat perlu diperhatikan
oleh pelayan Tuhan atau gembala. Oleh sebab itu gembala harus benar-benar
memperhatikan setiap iman jemaatnya, karena dalam jemaat lokal anggota memiliki
latar belakang yang berbeda-beda baik dalam pengetahuan kebenaran maupun
pendidikan.[16]
Mendisplinkan Jemaat. Seorang gembala
jemaat harus mengatur sopan santun dalam kebaktian jemaat agar kebaktian
berjalan dengan teratur (1 Kor. 14:26-40) serta menjalankan disiplin gereja.
Yesus telah memerintahkan bahwa apa bila seorang percaya tidak mau tunduk dan
menaati nasehat secara pribadi maka masalah itu harus diserahkan kepada gereja
untuk di disiplinkan (Mat. 18:17). Paulus secara tegas sekali meminta agar
jemaat di Korintus menjalankan disiplin jemaat (1 Kor. 5:13). Tujuan untuk
mendisiplinkan jemaat yaitu: Untuk membawa kemuliaan kepada Allah dan meningkatkan
kesaksian kawanan domba, untuk memuliakan Allah dan membangun anggota jemaat
yang telah jatuh dalam dosa (Mat.18:15; 2 Tes. 3:14-15), untuk menghasilkan
iman yang sehat, satu suara dalam doktrin (Tit. 1:13; 1 Tim. 1:19-20), dan untuk
menetapkan contoh bagi seluruh tubuh dan mempromosikan rasa takut yang saleh (1
Tim. 5:20).[17]
Gembala jemaat atau hamba Tuhan,
janganlah menjadi orang pengejar status. rasul Paulus
mengatakan,”Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan
pada Apolos, karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya
ungkapan, Jangan melampaui yang ada tertulis, supaya jangan ada di antara kamu
yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang
lain” (1 Kor. 4:6).
Gembala jemaat harus mengajar umat Allah
melalui perkataan dan perbuatan. Alkitab berkata bahwa, ”Karena itu jagalah
dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus
menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan
darah Anak-Nya sendiri” (Kis. 20:28).
Mahasiswa Teologia
Pendidikan
merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat
berperan dalam membentuk baik buruknya setiap pribadi menurut ukuran normatif. Pendidikan
teologi pada dasarnya pendidikan yang menghasilkan rohaniawan. Aspek kehidupan
rohani menjadi salah satu aspek penting, tentunya selain aspek akademis dan
pelayanan, dalam proses pendidikan. Aspek-aspek tersebut diharapkan, dengan
kurikulum, pola pembinaan, lingkungan sekolah dan sebagainya, dapat
menghasilkan lulusan yang memiliki pemahaman, karakter dan keterampilan yang
baik, sehingga siap dan mampu berkarya di ladang pelayanan. Beda
sekolah, beda pula sistem, dasar teologia, metode pembelajaran, model pembinaan
dan nilai-nilainya. Namun ada satu hal yang sama, yaitu keinginan untuk dapat
menghasilkan lulusan yang baik dan siap melayani.
Namun
di ladang pelayanan ada banyak persoalan timbul, bahkan ditimbulkan oleh para
lulusan seminari tersebut. Mereka terkait dengan beragam persoalan, seperti
masalah kejujuran, integritas, keteladanan, komitmen pelayanan dan sebagainya.
Dengan kata lain, semua hal yang terkait dengan masalah moral. Selain itu,
dinamika dan perkembangan di masyarakat dewasa ini berdampak pula pada
pendidikan secara umum, dan teologi secara khusus. Tilaar, menggambarkan
kondisi tersebut mengatakan bahwa, “Akuntabilitas pendidikan tinggi yang
diagung-agungkan merupakan akuntabilitas dari pemegang modal. Pendidikan tinggi
jadinya dijadikan arena pengembangan sikap persaingan yang diminta oleh dunia industri,
tidak mengherankan apabila tidak ada korelasi antara output pendidikan tinggi
dengan perbaikan moral di dalam masyarakat.”[18]
Setiap
sekolah teologi, dari latar denominasi atau warna teologi apapun, tentu
mempunyai sejumlah lulusan. Dengan berjalannya waktu dan jika ketidakpuasan
gereja terhadap tindakan dan unjuk kerja rohaniwan lulusan dari sekolah teologi
yang sama terulang kembali, maka tidak heran jika tindakan dan unjuk kerja
rohaniwan itu tidak hanya diidentifikasi gereja sebagai kelemahan dari
rohaniwan yang bersangkutan, tetapi lebih dari itu sebagai hasil dari proses
pendidikan sekolah teologinya. Pertanyaannya sekarang adalah tindakan dan unjuk
kerja apa saja dari para rohaniwan yang tidak sesuai dengan harapan gereja dan
dapat dikembalikan sebagai hasil proses pendidikan semua sekolah teologi?
Berdasarkan pengamatan Weld di lapangan dan dilihat dari perspektif
pendidikan sekolah teologi memiliki beberapa kelemahan. Pertama, sekolah
teologi tidak mampu memasok rohaniwan yang dibutuhkan gereja. Kedua, biaya
penyelenggaraan pendidikan terlalu besar. Ketiga, tidak sambungnya pelayanan
lulusan seminari dengan jemaat atau budaya setempat. Keempat, tidak memadainya
penyeleksian calon pembelajar seminari, karena para lulusannya ketika melayani
di gereja tidak dapat menunjukkan dirinya sebagai seorang yang berjiwa gembala
yang dibutuhkan oleh gereja. Hal ini dikaitkan dengan terlalu mudahnya lulusan
yang masuk ke gereja untuk melayani. Menurut kutipan Weld dari tulisan Konsultasi
Teologi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, indikasi dari kelemahan keempat di
atas adalah, ”Walaupun para pendeta telah diperlengkapi baik secara akademis,
persiapan itu tidak memampukannya untuk memberi sumbangsih bagi kehidupan
spiritual dan teologi jemaat yang dilayaninya.”[19]
Moralitas
pada masa kini dianggap masalah personal. Pilihan-pilihan moral diserahkan
kepada tiap pribadi. Di era pascamodern, pemikiran tersebut mendapat
pembenarannya dimana pola relasi tidak lagi terstruktur, tiap orang secara luas
dapat menemukan orang yang sesuai dengan pribadinya, sehingga pola komunikasi
sejajar. Dan dalam kesejajaran tiap pendapat menjadi penting. Lyotard, jauh
sebelumnya telah mengatakan, “Each self exists in a fabric of relations that is
now more complex and mobile than ever befor one is always located at a post
through which various kinds of messages pass. No one, not even the least
privileged among us, is ever entirely powerless over the messages that traverse
and position him at the post of sender, addressee, or referent.”[20]
Bila
konteks masyarakat dan pemikiran yang berkembang sudah sejauh ini, bagaimana
pendidikan teologi mempersiapkan para peserta didiknya sedemikian rupa agar
memiliki karakter kristiani yang jelas? Institusi pendidikan teologi merupakan
institusi akademik. Kurikulum disusun agar mahasiwa dapat memiliki pengetahuan
yang cukup untuk dipakai dalam pelayanan nantinya. Penekanan pada kemampuan
akademik bukan hanya menjadi tuntutan sekolah namun juga tuntutan jemaat. Hal
itu tidaklah berlebihan bila melihat perkembangan jemaat saat ini, dimana latar
belakang pendidikan dan wawasan jemaat, terutama di perkotaan, sudah demikian
maju. Hal ini membuat kebutuhan terhadap kualitas akademik para pelayanan juga
semakin meningkat.
Meskipun
sekolah-sekolah teologi sudah meningkatkan kemampuan akademik para peserta
didiknya, misalnya dengan menambah pelajaran atau subyek yang aktual di
masyarakat, keluhan terhadap para lulusan sekolah teologi tetap banyak. Pilimon
mengatakan bahwa, “Pada umumnya, sekolah-sekolah teologi mendapat kritikan
antara lain, tidak mempunyai arah, pengajarnya bersaingan, kurikulumnya tidak
relevan dengan kehidupan nyata, penyiapan pelayanan para lulusannya buruk. ”Tong,
juga mempertanyakan kualitas pendidikan teologi dalam bentuk keprihatinan. Ia
mencatat ada enam keprihatinan dalam pendidikan teologi yaitu, keprihatinan
terhadap kualitas dasar dalam pendidikan teologi, keprihatinan terhadap
kualitas ketahanan dan keandalan produk, keprihatinan estetika dalam pendidikan
teologi, estetika yang dimaksud Tong, menyangkut pembangunan kepribadian,
karakter, kesalehan, moralitas, dan spiritualitas, keprihatinan atas kualitas
fleksibilitas dan adaptabilitas, keprihatinan terhadap kualitas ketahanan uji
dan keprihatinan kualitas pelayanan.[21]
Secara
internal, pendidikan teologi harus terus mengevaluasi seluruh proses yang
terkait dengan pembentukan para pelayan Tuhan yang siap melayani
di ladang-Nya. Persiapan dan pembentukan yang mereka terima tidaklah serta
merta dipahami dan diterima secara sama, apalagi dalam aplikasinya di lapangan
atau ladang pelayanan. Perlu melihat kecenderungan yang berkembang di luar
pendidikan teologi yang secara tidak kentara telah memberikan dampak yang besar
terhadap pemikiran yang berkembang di lembaga pendidikan teologi. Susabda, bahkan
telah melihat bahwa spirit pascamodern telah masuk ke pemikiran para hamba
Tuhan. Dan menurutnya ada tiga hal yang mencirikan spirit pascamodern dalam
diri hamba Tuhan, yaitu, playing God (Allah hanyalah simbol). Seluruh
rencana dan keputusan sebenarnya dibuat sendiri oleh hamba-hamba Tuhan dengan
pertimbangan kebijaksanaannya sendiri, mereka tidak mempunyai modal yang cukup
untuk menemukan titik integrasi antara core belief dengan realita praktis pelayanan
dan kesaksiannya. Self fulfillment in the ministry. Hamba-hamba
Tuhan era postmodern menemukan self fulfillment di
dalam pelayanan-pelayanan itu sendiri dan ambivalency. Kehilangan konsistensi
dalam kehidupan, kesaksian dan pelayanannya sehingga pilihannya adalah
pluralis, inklusif atau eksklusif.[22]
Ketiga
hal tersebut turut membentuk moralitas para hamba Tuhan. Pendidikan dan
pembentukan yang mereka terima seringkali hanya menjadi dekorasi dalam
pelayanan, karena yang sebenarnya menentukan siapa hamba Tuhan itu sebenarnya
adalah dirinya sendiri. Moralitas bukanlah pilihan-pilihan yang didasarkan pada
selera jemaat, masyarakat atau pribadi, bukan proyek pencitraan diri hamba
Tuhan atau lembaga pendidikan teologi dan bukan suatu pengetahuan semata yang
harus dipahami. Namun moralitas menyangkut totalitas pribadi seseorang. Penulis
setuju dengan Wolterstorff yang mengatakan, “Tujuan dari pendidikan Kristen
adalah untuk mengilhami anak dengan pandangan dunia dan kehidupan Kristen“ (The
goal of Christian education is to imbue the child with a Christian world-and-life
view).[23]
Kehidupan
kristiani atau moralitas seseorang merupakan konsep yang dihidupi, karena itu
proses belajar harus menekankan bagaimana mengaitkan apa yang dipelajari
tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penting memilih dan
menyeleksi materi-materi yang tepat bagi mahasiswa sehingga tetap relevan dan
aktual, agar mahasiswa tidak diindoktrinasi dengan permasalahan-permasalahan
yang tidak pernah akan mereka hadapi, atau dengan kata lain, menurut
Wolterstorff, dipropaganda.
Orang Percaya
Bagi
orang Kristen sejati atau orang percaya, tidak ada perpisahan antara kehidupan
dalam dunia sakral dan dunia sekuler. Sejarah menyaksikan bahwa sejak orang Kristen
mengenal Tuhan dan menerima Yesus sebagai Juruselamat satu-satunya, dia juga
dipanggil untuk menerima perannya sebagai garam dan terang bagi dunia di
sekitar dirinya berada. Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai suatu
alienasi antara seorang Kristen dengan dunianya, sehingga seolah-olah dirinya
merasa hidup dalam menara gading atau timbul kecondongan ekstrim lain, yaitu
meleburnya seseorang tanpa bekas hingga kehilangan jati dirinya ke dalam suatu
lingkungan duniawi tanpa memberikan warna apapun.
Ada beberapa ahli yang mengungkapkan
suatu tolok ukur terhadap diri seseorang yang dikategorikan sebagai seorang
pribadi yang sehat. Carter, menyatakan bahwa seorang yang memiliki kepribadian
dewasa memiliki lima ciri yaitu, pandangan yang realistis tentang diri dan
orang lain, seseorang memiliki dimensi yang melibatkan suatu objektifikasi diri
(self-objectification).[24] Allport menyebut ciri ini sebagai
capable of self- objectification and of insight in humor. Biasanya kelebihan
seseorang senantiasa berhubungan erat dengan minat karena keduanya saling
mendukung. Allport menyatakan bahwa seseorang yang dewasa juga memiliki persepsi,
keterampilan yang realistik. Sedangkan orang yang kurang dewasa memiliki suatu
kecenderungan kekeliruan dalam menilai apa yang menjadi kelebihan dan
kelemahannya, bisa dalam bentuk penilaian yang melebihi kemampuan sebenarnya
ataupun sebaliknya, memiliki penilaian yang berada di bawah kemampuan dirinya.[25]
Agar dapat menilai dirinya dengan tepat maka
dibutuhkan suatu perspektif ilahi. Allah memandang setiap manusia sebagai
seseorang yang membutuhkan keselamatan karena telah jatuh dalam dosa (Rom.
3:23), sehingga ia menjadi ciptaan baru dengan suatu pola hubungan yang baru
dengan Allah, orang lain dan bahkan dirinya sendiri (2 Kor. 5:17). Salah satu
aspek dalam kemampuan seseorang mengenali dirinya dan orang lain adalah dengan
mengenali apa yang menjadi trait dirinya, kualitas karunia rohani serta tempat
serta perannya dalam suatu tubuh Kristus, yaitu jemaat (1 Kor. 12:14-25).
Karakter adalah bahasan yang penting,
tetapi jarang dibicarakan dan telah diabaikan, bahkan dikalangan Kristen
sekalipun. Dua kemungkinan alasan pengabaian ajaran ini yaitu, yang pertama,
bahasan ini dianggap kurang manarik dibanding dengan tema doktrinal lainnya dan
yang kedua tidak semua orang suka membahas karakter karena ini menyangkut
wilayah kepribadian seseorang yang dianggap tidak boleh diusik. Akibat dari
pengabaian ini banyak orang Kristen yang tidak mengetahui ajaran tentang
karakteristik yang sebenarnya, padahal Wofford, telah mengamati bahwa “Bagi
setiap orang Kristen, tidak ada atribut yang lebih penting ketimbang karakter.”
Selanjutnya Wofford, menjelaskan bahwa “Dalam pengajaran-Nya, Yesus sangat
menekankan karakter para murid-Nya.[26]
Surat Paulus kepada Timotius dan
Titus juga berbicara mengenai karakter. Karakter itu meliputi kualitas seperti,
integritas, kemurnian moral, kelemah lembutan dan kesabaran. Setiap pribadi
dikenali melalui sifat-sifat (karakter) yang khas baginya. Pembentukan pribadi
mencakup kombinasi dari beberapa unsur yang tidak mungkin dapat dihindari yaitu,
unsur hereditas, unsur lingkungan dan kebiasaan. Unsur hereditas adalah
unsur-unsur yang dibawa (diwariskan) dari orang tua melalui proses kelahiran,
seperti keadaan fisik, intelektual, emosional, temperamen dan spiritual, unsur
lingkungan mempunyai peranan dan pengaruh yang besar dalam membentuk karakter
dari pribadi seseorang. Unsur lingkungan disini meliputi lingkungan keluarga,
lingkungan tradisi dan budaya, serta lingkungan alamiah (tempat tinggal), dan
unsur kebiasaan adalah suatu tindakan atau tingkah laku yang terus menerus
dilakukan menjadi suatu keyakinan atau keharusan. Kebiasaan-kebiasan ini akan
turut membetuk karakter seseorang.[27]
Beberapa dari karakter Kristen yang disebutkan
dalam Alkitab harus di kembangkan dan di tampilkan oleh setiap orang Kristen
yaitu, integritas (Tit. 1:7-9), kerendahan hati (Mat. 5:1-7; Mrk. 10:14-15; 1
Tim. 3:6), kasih dengan segala karakteristiknya (Mat. 22:37-39; 1 Kor.13),
melayani dan menolong (Luk. 10:25-37), kekuatan dan kebenaran batiniah (Luk.
11:37-53; 12:15; Yoh. 16:33), hubungan yang erat dengan Kristus (1 Tim. 6:11; 2
Tim. 2:22; Yoh. 15:1-8), sukacita (Yoh. 17:13), kekudusan (Yoh. 17:16; 2 Tim.
2:22), damai ( 2 Tim. 2:22), sabar dan tekun (1 Tim. 6:11; 2 Tim. 3:10), lemah
lembut (1 Tim. 6:11; 2 Tim. 2:25), penguasaan diri (1 Tim. 3:2; Tit. 1:8), tidak
tamak dan tidak suka bertengkar (1 Tim. 3:2-3; 6:10-11), serta kualitas lainnya
dalam 2 Petrus 1:5-8, seperti : kebajikan, pengetahuan, ketekunan, dan
kesalehan.
Sebagai orang Kristen atau orang
percaya, harus mampu mengembangkan dan membuat sifat-sifat itu menjadi semakin
nyata di dalam setiap kehidupan, maka hal itu akan menjadi kesaksian hidup bagi
orang lain tetapi juga menyenangkan hati Tuhan. Kabar baiknya ialah, Allah
ingin agar orang percaya berkembang sepenuhnya dalam iman dan pengharapan, bertumbuh
dan dewasa (sempurna) sama seperti Bapa surgawi (bnd. Mat. 5:48). Karakter Kristen dibentuk
sebagai hasil perjumpaan dengan kebenaran alkitabiah yang menembus ke dalam
hati. Hal itu hanya mungkin terjadi jika seseorang belajar firman Allah,
merenungkan firman Allah itu dengan segala makna dan penerapannya. Merupakan
fakta yang terbukti bahwa doktrin (pengajaran firman Tuhan) mempengaruhi
karakter. Apa yang dipercayai seseorang sangat besar mempengaruhi perbuatannya.
Jika seseorang menerima dan mengikuti ajaran yang sehat maka ajaran itu akan
menghasilkan karakter ilahi dan karakter Kristus. Paulus memberikan nasihat
kepada Timotius dengan mengatakan, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah
ajaranmu” (1 Tim. 4:6,13,16).
[1]Joe E. Trull dan James E. Carter,
Etika Pelayan Gereja, pen., N. Susilo
Rahardjo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 280.
[2]Petrus Octavianus, Dipanggil untuk Melayani ( Malang: Departemen
Literatur YPPII, 1998), 261.
[3]Sularso Sopater,
Pertumbuhan Gereja (Yogyakarta: Andi, 1994), 29.
[5]Robert Cowles, Gembala Sidang (Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2000), 7-8.
[6]Seth Msweli dan Donald Crider, Gembala Sidang dan Pelayanannya
(Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 12.
[7]G.D. Dahleburg, Siapakah Pendeta Itu? (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993), 23-4.
[13]Peter Wongso, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini (Malang:
Departemen Literatur Saat, 2001),69-1.
[14]Suhento Liauw, Doktrin Gereja Alkitabiah (Jakarta:
GBIA Graphe, 1996), 131.
[15]Warren W. Wiersbe, Setia di dalam Kristus (Bandung;
Yayasan Kalam Hidup, 2000), 14-9.
[16]G. Riemer, Jemaat yang Presbiteral (Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF, 1995),
65.
[17]Robert Cowles, Gembala Sidang (Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2000), 86-7.
[18]H.
A. R. Tilaar, Manifesto Pendidikan
Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta:
Kompas, 2005), 144.
[19]W.
C. Weld, The World Directory of
Theological Education by Extension (South Pasadena: William Carey Library,
1973) , 8-20.
[20]Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report Knowledge, pen., Geoff Bennington dan Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 15.
[21]Joseph
Tong, Pentingnya Kualitas dalam
Pendidikan Teologi (Jurnal Teologi Stulos, 2003), 68-4.
[22]Yakub
Susabda, Hamba Tuhan di Era Post-Mo dalam God’s Fiery Challenger for Our Time, peny., Benyamin F. Intan
(Jakarta: Reformed Center for Religion and Society, 2007), 399-02.
[23]Nicholas P. Walterstorff, Educating for Life: Reflections on Christian
Teaching and Learning, peny., Gloria Stronks dan Clarence W. Joldersma
(Grand Rapids:Baker Academic, 2002), 175.
[24]J.D.
Carter, Healthy Personality: dalam
Baker Encyclopedia of Psychology, peny., David G.
Benner (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1993), 498-04.
[26]J.C.
Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, pen.,Penerbit (Yokyakarta:
Yayasan Andi, 2001), 115-16.
[27]Yakoep
Ezra, Succes Througgh Character, pen., Arvin Saputra (Yogyakarta:Andi , 2006), 19.
_____________________________________________________
BAB V
PENUTUP
Meneladani
apa yang Paulus tuliskan kepada Timotius, sehubungan dengan kualifikasi tentang
karakteristik berupa syarat-syarat dalam pelayanan gereja kepada para hamba
Tuhan, maka ini harus mejadi perjuangan bagi setiap hamba Tuhan di gereja masa
kini. Gereja harus kembali kepada prinsip-prinsip tentang pengaturan
kepenatuaan dan kediakenan bahkan keseluruhan pejabat gereja. Sehubungan dengan
kualifikasi yang dituliskan oleh Paulus tentunya dapat dikontekskan dengan
keadaan sekarang.
Kesimpulan
Dalam
gereja Perjanjian Baru di zaman rasul-rasul, para penatua memiliki peranan yang
amat penting dalam kehidupan bergereja. Para rasul sangat menyadari khususnya
Rasul paulus membutuhkan rekan sekerja untuk menata dan menggembalakan jemaat. Namun
demikian, tantangan untuk menerapkan pemikiran paulus ke dalam kehidupan
bergereja saat ini tidaklah mudah. Tetapi gereja harus berjuang dan
mengembalikan fungsi, kriteria penatua dan diaken yang berdasarkan pada
landasan firman Tuhan. Salah satu unsur yang Paulus tekankan dalam penatua dan
diaken adalah keteraturan pelayanan dalam mengkader rekan-rekan sekerja untuk
meneruskan apa yang menjadi visi misi pelayanan yang diberikan kepadanya oleh
Tuhan.
Jabatan
penatua dan diaken memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan dan
gereja. Paulus sama sekali tidak pernah membeda-bedakan hal
tersebut. Dalam hal fungsi mereka berbeda tetapi dalam hal status memiliki
kesederajatan. Mereka semua harus memiliki standar kualifikasi apabila
terpilih sebagai penatua atau diaken, dan kualifikasi yang dimaksud pada
intinya harulah memiliki kehidupan karakter dan moral sesuai dengan kehendak
Tuhan. Oleh sebab itu gereja harus meneladani apa yang telah diarahkan
oleh Paulus sehubungan dengan prinsip-prinsip pemerintahan, penggembalaan
dan pertumbuhan gereja.
Yesus juga meninggalkan model kepemimpinan atau gembala
di dalam kehidupan para rasul. Sebanyak tiga kali dalam satu
percakapan yang singkat, Yesus memerintahkan Petrus “gembalakanlah
domba-domba-Ku, perhatikanlah domba-domba-Ku, dan berilah makan
domba-domba-Ku.” Maksud dari perkataan Yesus adalah supaya Petrus
mengambil gaya kepemimpinan spiritual Yesus. Yesus telah memberi
model gaya gembala dalam kepemimpinan dan semua ini adalah yang para murid
gunakan di dalam kehidupan kepemimpinan mereka dan juga sebagai model bagi yang
lainnya.
Kristus dalam menjelaskan mengenai proses
pelayanan penggembalaan atas umat-Nya menekankan bahwa gembala harus dapat
diteladani. Tuhan Yesus tetap memposisikan diri-Nya selaku pemberi
teladan. Para gembala atau pelayan jemaat harus bisa menunjukkan arah dan
berani tampil sebagai figur pemberi teladan. Para hamba Tuhan selaku abdi
Allah, haruslah terus dan tetap menjadi penunjuk arah perjalanan kehidupan
jemaat di dalam Kristus.
Panggilan
dan tugas seorang pejabat gerejawi, baik secara pribadi maupun bersama-sama
dalam kemajelisan dapat dikatakan sebagai berikut:
Mengepalai Jemaat
Seorang
hamba Tuhan bersama rekan sepelayanannya bertugas memimpin jemaat Tuhan (1 Tes.
5: 12; 1 Tim. 5: 17). Mereka juga harus mengatur rumah Allah (Titus 1: 7). Di
sini Paulus memakai kata “Oikonomos” yang dapat berarti bendahara atau pemimpin
usaha, sebagai pemimpin jemaat. Pejabat gerejawi harus dapat mendorong warga
gereja melaksanakan tri-tugas panggilannya yaitu bersekutu, bersaksi dan
melayani baik secara pribadi maupun bersama-sama.
Melayani jemaat secara Pastoral.
Dalam
Kisah Rasul 20: 28, Paulus menasehati para penatua jemaat Efesus, “karena
itu jagalah dirimu karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk
menggembalakan jemaat Allah,” maksud dari menilik di sini bukanlah memeriksa
dan mengawasi atau mencari-cari kesalahan, pengertian yang sebenarnya ialah
mempedulikan atau memperhatikan jemaat. Tugas ini harus dilaksanakan secara
pastoral, seperti seorang gembala ternak memperlakukan kawanan domba. Jadi
maksud Paulus tidak lain adalah agar setiap pelayan Tuhan memelihara dan
menggembalakan jemaat, sebagaimana layaknya gembala yang sejati mencari domba
yang sesat, terluka dan sakit, begitu pula seorang penatua harus memperhatikan
warga jemaat yang Tuhan percayakan kepadanya.
Pemeliharaan
pastoral memberi dampak lain di dalam tugas seorang hamba Tuhan yaitu harus
menasihati berdasarkan ajaran yang sehat, ajaran yang sesuai dengan kesaksian
Alkitab (Tit. 1: 9). Hal menasihati tidak saja dilakukan kepada mereka yang
telah salah langkah, melainkan secara umum menyatakan kepemimpinan rohani
kepada jemaat, khususnya bagaimana jemaat harus bertindak dalam kehidupan
sehari-hari, yang dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung kepada
warga jemaat yang bersangkutan atau melalui sikap hidupnya sehari-hari. Jika
perlu, seorang hamba Tuhan dapat menegur anggota jemaat yang melakukan
kesalahan, namun perlu di ingat bahwa teguran itu harus bersifat korektif,
memperbaiki sesuatu yang keliru.
Menjaga kemurnian ajaran.
Sebagai
Rasul, Paulus berulang kali mengingatkan jemaat-jemaatnya akan bahaya ajaran
sesat yang siap mengancam kehidupan beriman gereja dan warganya (Kis. 20: 29;
Tit. 1: 9,10). Apakah kriterianya jika suatu ajaran itu dikatakan benar dan
murni? Suatu ajaran dapat dikatakan murni dan benar apabila selaras dengan
pemberitaan Kristus dan rasul-rasul seperti yang tercatat dalam Alkitab. Oleh
sebab itu, seorang hamba Tuhan di tuntut untuk memahami kebenaran firman Tuhan
serta berpegangan pada ajaran gerejanya yang berpadanan dengan firman Tuhan itu
sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar ia sendiri tidak terombang-ambing oleh
rupa-rupa angin pengajaran dan menjadi batu sandungan baik bagi gereja,
warga jemaat maupun sesama rekan sepelayanannya.
Karakteristik Seorang Hamba Tuhan
Paulus
dengan tegas memberikan syarat-syarat bagi mereka yang akan diangkat sebagai penatua
dalam 1 Timotius 3: 2-7 dan Titus 1: 6-9. Dari kedua bagian Alkitab ini
menceriterakan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh mereka yang dipilih
menjadi penilik (penatua) jemaat atau pejabat gereja yaitu:
Pola kehidupan Hamba Tuhan
Seorang
penatua hendaknya tidak bercacat, artinya kelakuannya tidak boleh memberi
alasan bagi orang lain untuk memfitnah atau melontarkan kritik yang pedas. Oleh
karena itu seorang hamba Tuhan jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain,
melainkan kehidupan seorang hamba Tuhan harus dapat menjadi contoh bagi
jemaatnya. Seorang hamba Tuhan juga hendaknya dapat mampu menahan diri dan
mengalahkan hawa nafsu yang dapat merusak hubungan dengan orang lain serta
mampu mengendalikan diri, bijaksana dalam mengambil kebijakan dan sopan santun dalam
tutur kata dan hendaknya bukan seorang peminum (pemabuk), bukan pemarah
melainkan peramah, pendamai dan bukan hamba uang dan seorang hamba Tuhan juga haruslah
seorang yang cinta damai dan suka akan kerukunan, pandai mengajar dan dapat
memberikan pengajaran yang benar kepada jemaat berdasarkan firman Tuhan
(Alkitab), serta memiliki reputasi yang baik, entah di dalam jemaat maupun di luar
jemaat (dalam masyarakat umum).
Dari
daftar persyaratan ini tidak seharusnya membuat seorang hamba Tuhan ciut atau
berkecil hati, meskipun dalam prakteknya mungkin tidak ada orang yang mampu memenuhi
seluruh persyaratan itu tetapi itu tidak berarti segala persyaratan itu dapat
diabaikan begitu saja. Persyaratan ini dicantumkan Paulus untuk memperlihatkan
bahwa jabatan seoarang hamba Tuhan bukanlah jabatan sembarangan dan dapat
disepelekan dalam pelaksanaannya. Perlu diingat bahwa jabatan gerejawi tidak
berdasar kepada kebaikan atas prestasi dari mereka yang memangkunya, itu semua
karena kasih-Nya yang memberikan kesempatan untuk menjadi pimpinan dalam
jemaat. Kalau Tuhan memilih seseorang maka Ia akan melengkapi dan memampukan
orang tersebut di dalam pelayanannya. Dan seorang hamba Tuhan pun harus
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Sifat-sifat seorang hamba Tuhan
Ada
beberapa sifat yang harus nampak dalam kehidupan pelayanan seorang pejabat
gerejawi. Hal ini patut diperhatikan sebagai cermin bagi seorang hamba Tuhan yaitu:
Mengenai Kesetiaan
Setia
artinya tetap dan teguh hati, taat atau patuh atau berpegang teguh. Galatia 5:
22-23 menyebut kesetiaan sebagai salah satu buah-buah Roh. Kata setia merupakan
terjemahan dari kata “pistis”. Kata “pistis” selain dapat
diterjemahkan dengan arti kesetiaan dapat juga diterjemahkan dengan iman, kedua
kata ini saling berkaitan dan melengkapi. Tindakan iman dapat terjadi kalau
dilandasi oleh kesetiaan dan kesetiaan dapat terwujud apabila dilandasi oleh
iman.
Kerendahan Hati
Rendah
hati artinya tidak sombong atau angkuh, tidak meninggikan diri sendiri
dan merendahkan orang lain. Dalam diri manusia terdapat suatu bahaya besar yang
berakar dalam hati dan siap muncul dalam diri manusia apabila memangku suatu
jabatan yaitu kesombongan. Sifat rendah hati harus menjadi bagian dari
kehidupan seorang pejabat gerejawi karena sebenarnya Tuhan tidak menyukai orang
yang sombong dan tinggi hati (Maz. 101: 5).
Menjaga Rahasia
Jabatan
Seorang
pejabat gerejawi sering mendengar masalah anggota jemaat, lebih-lebih pada saat
berkunjung ke rumah anggota jemaat ia dapat mendengar hal-hal yang sifatnya
rahasia, yang orang lain sama sekali tidak boleh mengetahuinya, sebab ada
anggota jemaat tertentu yang ingin mendapat nasehat, penghiburan, hikmat dan
lain-lain. Oleh karena itu sebagai pejabat gerejawi harus setia memegang teguh
rahasia pribadi orang lain yang diceritkan kepadanya. Suatu kesalahan besar
apabila seorang pejabat gerejawi menceritakan hal seperti itu kepada
orang lain, walaupun itu kepada istri atau suaminya sendiri. Sikap yang buruk
ini dapat merusak suasana keterbukaan yang ada antara seorang anggota jemaat
dengan seorang penatua atau pendeta bahkan pejabat gereja lainnya. Maka itu
seorang hamba Tuhan harus menjaga kehormatan dan nama baik anggota jemaat dan
juga kehormatan serta nama baik jabatan gerejawi yang Tuhan percayakan kepadanya.
Kooperatif
Seorang
pejabat gerejawi harus menyadari bahwa dalam kepemimpinan jemaat ia tidak
bekerja sendiri. Ia merupakan bagian dari satu tim yang bekerja dan berjalan
bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Ingat pepatah, “Bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh”, (bnd. Maz. 133; 1 Kor. 12: 12-31), tidak ada pekerjaan
yang terasa berat apabila dikerjakan bersama-sama. Sikap kooperatif membuat
suasana pelayanan menjadi nyaman dan penuh kegembiraan. Dalam sikap yang
kooperatif ini tidak akan ada seorang pun yang berusaha menonjolkan diri atau
membiarkan rekan sepelayanannya bekerja sendiri.
Terus Belajar
Mengembangkan Diri
Banyak
kelemahan pejabat gerejawi di sini. Mereka tidak mau terus belajar dan
menguasai hal-hal baru bagi peningkatan pelayanannya. Sebagai pejabat gerejawi,
tidak boleh berpuas diri dengan apa yang telah di kerjakan. Banyak belajar membuat
seorang hamba Tuhan bertumbuh dan berbuah semakin lebat bagi Kristus dan
jemaatnya. Mendapat panggilan dan kepercayaan Tuhan untuk memimpin jemaat-Nya adalah
suatu hal yang istimewa, sebab tidak semua orang dipercayakan Tuhan menjadi
pelayan jemaat-Nya. Oleh sebab itu, tugas seorang hamba Tuhan yaitu menunaikan
tugas panggilannya, selaku pejabat gerejawi dengan penuh kesetiaan,
tanggung jawab, kerendahan hati, terus belajar mengembangkan diri dan kerja
sama yang baik dengan sesama rekan sepelayanan, dengan menunjukan karakteristik
yang sudah dipaparkan terlebih dahulu diatas, sehingga jemaat dapat bertumbuh
bukan saja secara kuantitas melainkan secara kualitas baik menyangkut hal
jasmani maupun rohani.
Saran
Untuk
mengakhiri karya ilmia ini, penulis memberikan beberapa saran kepada para hamba
Tuhan, para pelajar di Sekolah Tinggi Teologi dan orang percaya.
Pertama,
kepada para hamba Tuhan. Tren kepemimpinan hamba Tuhan telah berkembang sangat
pesat dan dapat dengan mudah dipelajari secara mandiri, bahkan nilai dan
prinsip biblika telah mewarnai semua lini prinsip ilmu kepemimpinan, namun
dalam lini praktika, gereja diperhadapkan dengan kompleksitas kultural, masalah
sosial, dan konteks yang sangat beragam. Oleh karena itu diharapkan kepada para
hamba Tuhan agar menjadi teladan bagi jemaatnya terutama melalui kehidupan
praktis berdasarkan Firman Tuhan, karena dari kehidupan praktis itulah yang
menunjukan dan membuktikan integritas sebagai seorang pelayan Tuhan yang
terpanggil.
Kedua, Kepada para pelajar. Sekolah Teologi adalah tempat
pertama untuk calon hamba-hamba Tuhan yang akan masuk ke dalam dunia pelayana
yang sesungguhnya, disinilah mereka mengalami proses pembentukan karakter dan
mempertajam panggilan Allah. Oleh karena itu, diharapakan kepada para pelajar
agar tidak berhenti belajar dan mempraktekan kebenaran firman Tuhan secara
induktif, baik dikampus Sekolah Tinggi Teologi itu sendiri maupun di dalam
masyarakat luas, sehingga keterlibatan dalam dunia pelayanan dan kehidupan
bermasyarakat tertentu tidak mendapatkan kritik atau sindiran yang merusak
citra kampus Teologi dan diri sendiri.
Ketiga, kepada orang percaya. Dunia adalah tempat bersosialisasi,
terutama dilingkungan tempat orang percaya tersebut berada, yang mana dalam
kehidupan sosial dan masyarakat terdiri dari berbagai ragam, suku, agama dan
budaya. Maka itu, dengan penulisan skripsi ini diharapkan kepada semua orang
percaya agar tetap eksis serta menunjukan dedikasinya kepada Tuhan Yesus
Kristus yang adalah dasar iman, dengan mempraktekan atau menunjukan kehidupan Kekristenan
yang sebenarnya berdasarkan firman Tuhan dan bukan sekedar rutinitas belaka.
SEMUA KARENA ANUGERAH
SEMOGA SKRIPSI INI DAPAT BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA
TUHAN YESUS MEMBERKATI
AMIN
KEPUSTAKAAN
Abineno, J.L.Ch. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012.
_________,
Melayani dan Beribadah di dalam Dunia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974.
_________,
Penatua: Jabatan dan Pekerjaannya. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011.
Arichea,
Daniel C. dan Howard A. Hatton, Surat-surat
Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2004.
Balchin,
Jhon dkk. Inti Sari Alkitab.
Diterjemahkan oleh Retnawaty Rimba. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab,1994.
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001.
Baxter,
J. Sidlow. Menggali Isi Alkitab: Roma
Sampai dengan Wahyu. Disunting oleh G.M.A Nainggolan dan H.A. Oppusunggu
Sastro Soedirdjo, 4 Jil. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012.
Beek, Art Van. Pendampingan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Blaiklock,
E.M. Surat-surat Penggembalaan. Malang:
Gandum Mas, 1981.
Boa,
Kenneth. The Perfect Leader. Diterjemahkan
oleh Bayu Sudi Gunawan. Malang: Gandum Mas, 2009.
Bons-Storm, M. Apakah Penggembalaan itu? Jakarta: Gunung Mulia, 2012.
Brill,
J.Wesley. Tafsiran surat
Timotius dan Titus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1996.
_________, Dasar yang Teguh. Bandung: Kalam Hidup, 2004.
Brownlee, Malcom. Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 1984.
Budiman,
R. Tafsiran Alkitab Surat-surat
Penggembalaan 1, II Timotius dan Titus. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1984.
Calvin,John. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000.
Carter,J.D. Healthy Personality:
dalam Baker
Encyclopedia of Psychology. Disunting oleh David G. Benner. Grand Rapids, Michigan: Baker Book
House, 1993.
Chapman,
Adina. Pengantar Perjanjian Baru. Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2004.
Chauke,
E. dan B. Beckelhymer. Penyelidikan
Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Norman Hasse. Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 1999.
Conner,
Kevin J. Jemaat dalam Perjanjian
Baru. Malang: Gandum Mas, 2004.
Cowles, Robert. Gembala
Sidang. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000.
Dahleburg, G.D. Siapakah
Pendeta Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Daniel C.
Arichea dan Howard A. Hatton, Surat-surat
Paulus Kepada Timotius dan Kepada Titus. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2004.
Damazio, Frank. Memimpin
dengan Roh. Yogyakarta: PBMR Andi, 2004.
Dinne, Stewart. You Can Learn to Lead. Diterjemahkan
oleh Arvin Saputra. Yogyakarta: Andi, 2009.
Drescher, Jhon M. Melakukan Buah Roh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Duyverman,
M.E. Pembimbing Ke dalam Perjanjian Baru.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Ezra, Yakoep. Succes Througgh Character. Diterjemahkan
oleh Arvin Saputra. Yogyakarta:Andi , 2006.
Gibbs, Eddie. Kepemimpinan Masa Mendatang.
Diterjemahkan oleh Tonggor Maruliasih Siahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Gp,
Harianto. Pendidikan Agama Kristen dalam
Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini. Yogyakarta: Andi Offset, 2012.
Graham,
Billy. Roh Kudus. Diterjemahkan oleh
Susi Wiridinata. Bandung: Yayasan Literatur Babtis, 1986.
Guthrie,
Donald. Pengantar Perjanjian Baru.
Diterjemahkan oleh Hendry Ongkowidjojo, 3 Jil. Surabaya: Momentum, 2010.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Hakh,
Samuel Benyamin. Perjanjian Baru. Bandung:
Bina Media Informasi, 2010.
Hearth,W.
Stanley.
Psikologi yang Sebenarnya. Yogyakarta:
ANDI, 1997.
Henry, Matthew. Matthew Henry’s Commentar. Massachusetts:
Hendrickson Publishers, 1991.
Ingauf, John
E. Sekelumit Tentang Gembala Sidang.
Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001.
James, E. Carter
Joe E. Trull. Etika Pelayanan Gereja.
Diterjemahkan oleh N. Susilo Rahardjo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Jr,
Jonh E Phelan. Gereja dalam Era
Postmoderen. Diterjemahkan oleh Paulus Trimanto Wibowo. Yakin: Surabaya,
2002.
Koch,
Klaus. Kitab yang Agung.
Diterjemahkan oleh S.M. Siahaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Ladd,
George Eldon. Teologi Perjanjian Baru.
Diterjemahkan oleh Urbanus Selan dan Henry Lantang. Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 1999.
Latuihamallo,
Prof. Dr. P.D. Berakar di dalam Dia dan Dibangun diatas Dia. Diterjemahkan oleh
Robert P. Borrong Dkk. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
Leach,
Edmund. Culture and Communication: The Logic by Which Symbols are Connected. Cambridge
University Press, 1976.
Leo,
Eddy dan Budi Setiawan. Saya Pengikut
Kristus Pemenang. Jakarta: Metanoia Publising, 2011.
Liauw, Suhento.
Doktrin Gereja Alkitabiah. Jakarta: GBIA Graphe, 1996.
Liliweri, Alo. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Lukito,
Daniel Lucas. Pengantar Teologia Kristen
1. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002.
Lyotard,
Jean-Francois. The Postmodern Condition: A Report Knowledge.
Diterjemahkan oleh Geoff Bennington dan Brian Massumi. Minneapolis: University
of Minnesota Press, 1989.
Macarthur,
John. Kitab Kepemimpinan. Disunting
oleh Nino Marxsen, Willi. Pengantar
Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014.
_________,
Kitap Kepemimpinan. Diterjemahkan
oleh Djoni Setiawan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Miranda,
Jasse. Gereja Kristen dalam Pelayanan.
Malang: Gandum Mas, t.t.
M,
Kouzes, James dan Barry Z. Posner. The
Leadership Challenge. Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial. Jakarta:
Erlangga, 2004.
Msweli,
Set dan Donald Crider. Gembala Sidang dan
Pelayanannya. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002.
Mulyana, Deddy. Komunikasi
antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang berbeda budaya.
Diterjemahkan oleh Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996.
Nainggolan,
John M. Guru Agama Kristen Sebagai
Panggilan dan Profesi. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.
Octavianus, Petrus. Dipanggil untuk Melayani. Malang: Departemen
Literatur YPPII, 1998.
Randoe, Petrus Tony. Pola Hidup Umat Allah. Jakarta: Yayasan Alsuka, 1997.
Ray, David R. Gereja
yang Hidup. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Riemer, G. Jemaat
yang Presbiteral. Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF, 1995.
Riggs, Ralph M. Gembala
Sidang yang Berhasil. Malang: Gandum Mas,
1984.
Ronda, Daniel. Leadership
Wisdom. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2011.
Sendjaya.
Kepemimpinan Kristen. Yogyakarta:
Kairos Books, 2004.
Soedarma, R. Ikhtisar
Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Sopater,
Sularso. Pertumbuhan Gereja. Yogyakarta:
Andi, 1994.
Stamps, Donald C. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Malang:
Gandum Mas, 1994.
Stibbs,
A.M. Penulis 1, 2 Timotius dan Titus dalam Tafsiran
Alkitab Masa Kini. Diterjemahkan A. Lumbatobing, 3 Jil. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2013.
Storm, M. Born. Apakah Penggembalaan Itu? Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2011.
Stott,
John. Sepanjang Tahun Menelusuri Alkitab.
Diterjemahkan oleh Lilian Tedjasudhana dan Yu Un Oppusunggu. Jakarta: Yayasan
Bina Kasih, 2010.
Strauch, Alexander. Biblical
Eldership. Colorado: Lewis and Roth Publishers, 1994.
_________, Kepenatuaan atau Kependetaan. Yogyakarta: ANDI, 1999.
_________, Kepenatuaan atau Kependetaan. Yogyakarta: ANDI, 1999.
Sudarmanto, G. Menjadi Pelayan Kristus yang Baik. Malang:
Departemen Multimedia
YPPII, 2009.
Sumiyatininggsih,
Dien. Mengajar dengan Kreatif dan Menarik.
Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Susabda, Yakub. Pastoral Konseling. Malang:
Gandum Mas, 2006.
_________,
Hamba Tuhan di Era Post-Mo dalam God’s
Fiery Challenger for Our Time. Disunting oleh Benyamin F. Intan. Jakarta:
Reformed Center for Religion and Society, 2007.
Tenney, Merril C. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2013.
Thoha, Miftah. Manajemen dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Tilaar, H. A. R. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme
dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas, 2005.
Tomatala,
Yakob. Anda juga Bisa Menjadi Pemimpin Visioner.
Jakarta: YT Leadership Foundation, 2005.
_________, Kepemimpinan
yang Dinamis. Malang: Gandum Mas, 2002.
_________,
Kepemimpinan Kristen. Jakarta: YT Leadership
Foundation, 2002.
Tong,
Joseph. Pentingnya Kualitas dalam
Pendidikan Teologi. Jurnal Teologi Stulos, 2003.
Tong, Stephen. Teologi
Penginjilan. Surabaya: Momentum LRII, 1988.
Trull,
Joe E. dan James E. Carter. Etika
Pelayanan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Tulluan, Ola. Introduksi
Perjanjian Baru. Malang: YPPII, 1999.
Varner,
Iris dan Linda Beamer, Intercultural Communication in The Global Workplace. Mcgraw: Hill International, 2005.
Verkuyl, J. Etika
Kristen Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Wagner,
C. Peter. Memimpin Gereja Anda Agar
Bertumbuh. Jakarta: Harvest Publication House, 1995.
Walterstorff,
Nicholas P. Educating for Life: Reflections on Christian
Teaching and Learning. Disunting oleh Gloria Stronks dan Clarence W.
Joldersma. Grand Rapids:Baker Academic, 2002.
Walz, Edgar. Bagaimana Mengelola Gereja Anda?
Diterjemahkan oleh S.M. Siahaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Weld,
W. C. The World Directory of Theological
Education by Extension. South Pasadena: William Carey Library, 1973.
White,
John. Kepemimpinan yang Handal.
Diterjemahkan oleh Margaret D. Gunawan. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2001.
Widjaya,
Arun. Teologi Kepemimpinan. Bekasi:
ILB, 2013.
Wiersbe,
Warren W. Setia di dalam Kristus. Bandung: Kalam Hidup, 1981.
_________,
Setia di dalam Kristus. Bandung: Yayasan
Kalam Hidup, 2000.
W.
N, Mcelrath dan Billy Mathias. Ensiklopedia
Alkitab Praktis. Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1978.
Wofford, J.C. Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan.
Diterjemahkan oleh Penerbit. Yokyakarta: Yayasan Andi, 2001.
Wongso,
Peter. Theologia Penggembalaan. Malang:
Seminar Alkitab Asia Tenggara, 1983.
_________,
Tugas Gereja dan Misi Masa Kini. Malang:
Departemen Literatur Saat, 2001.
KAMUS
Ali,
Muhhamad dan Iman. Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia, t.t.
Browing,
W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
Drewes,
B.F. Dkk. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian
Baru, 2 Jil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Layla, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia. Palanta, t.t.
JR,
Barcklay M. Newman. Kamus Yunani-Indonesia
untuk Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh Jhon Miller. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012.
W.J.S,
Poerwadarminto. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Sugono, Dendy. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Wojowasito, S. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,
Indonesia-Inggris. Malang: Hasta, 1980.
INTERNET
http://kgpmmesiasranomut.blogspot.com/2012/01/1-timotius-31-13.html http://www.sarapanpagi.org/sombong-congkak-kesombongan-study-kata-vt166.html
Jangan Lupa Kunjungi Juga Web dibawah ini ya: